"Astaga putraku! lihat lah ... ini masih pagi tapi dia sudah berduaan dengan kembang desa itu," gerutu Mamak yang sedari tadi mencari Luhut.
Ternyata sang putra mahkota lagi asik pacaran didekat peternakan ayam.
"Luhut!" teriak Mamak memanggil lagi.
Wanita tua itu sudah jalan tergesa-gesa menuju peternakan ayam dibelakang rumahnya tempat putra dan calon menantu sedang memadu kasih.
"Mak, jangan teriak-teriak. Luhut juga dengar Mamak manggil," kata Luhut yang terganggu dengan suara cempreng Ibunda Ratu alam halu.
"Dengar apanya ha?! Dari tadi Mamak sudah seratus kali memanggilmu. Mau menyuruh sarapan. Namun, ternyata kamu disini menikmati sarapan buatan calon menantuku," ucap Mamak masih mengomel dengan suara lantang.
Jika sudah seperti ini maka bisa dipastikan satu kampung dapat mendengar.
"Mak ..." ucap Naina tersenyum lembut selembut sutra menyapa sang calon mertua.
"Calon menantuku ... tidak perlu lah kamu memanjakan si Luhut sampai seperti ini," ucap Mamak pada Naina dengan suara yang cukup lembut berbeda pada waktu beberapa saat lalu saat memanggil putranya.
"Tidak apa-apa, Mak. Naina tidak keberatan. Itung-itung ini pelajaran sebelum menjadi istri sah, Bang Luhut."
Dari sorot matanya tampak Naina berkata sangat tulus.
"Terserah kalian saja. Kalau begitu Mamak mau masuk dulu." Mamak berbalik hendak melangkahkan kakiknya pulang.
Namun wanita tua itu teringat sesuatu.
"Jangan melakukan sesuatu yang membuat orang tua malu." Mamak berkata sambil menatap tajam pada putranya.
"Kami tidak pernah melakukan apapun, Mak," kata Luhut santai karena memang ia tidak pernah macam-macam dengan Naina.
"Tidak pernah bibirmu jontor! Kamu kira Mamak tidak melihatmu mencium si Naina tadi ha?!" kata Mamak tepat sasaran.
Wanita tua yang awalnya ingin kembali kerumah kini sudah berdiri tegak, berkacak pinggang dengan tatapan tajam menghadap putranya.
"Hanya kening ... tidak akan hamil," kata Luhut santai belum sadar akan raut murka Mamaknya.
"Cium kening memang tidak hamil tapi, kalau nafsumu menjalar bagaimana?" tanya Mamak .
Emosi wanita tua itu sudah diubun-ubun.
"Tidak akan, Mak. Luhut dan Naina berjanji tidak akan melakukan sesuatu yang membuat orang tua malu," ucap Luhut tulus dari hati yang paling dalam membuat kadar merah dalam tubuh wanita tua itu menghilang.
Sejak dulu jika putranya sudah berjanji maka tidak pernah melanggar.
Entah apa yang ada pada diri Luhut. Namun, setiap melanggar janji yang diucap Luhut akan jatuh sakit sampai tak bisa berjalan dari situlah ia bersumpah akan menepati janji.
"Naina, katakan pada orang tuamu bulan depan keluarga kami akan datang melamar. Aku tidak bisa membiarkan kalian berdua seperti ini terus," kata Mama akhirnya membongkar rahasianya dengan Bapak.
Sudah lama Mamak dan Bapak merencanakan pernikahan Luhut dan Nina.
Namun, ada pria kota yang lebih dulu melamar putrinya membuat orang tua itu menunda.
Mengutamakan kepentingan Uli terlebih dulu tapi, alam berkata lain tiba-tiba saja terjadi sebuah masalah yang diciptakan Monang.
Hal itu juga membuat keluarga Naina berfikir negatif.
"Benarkah, Mak," ucap sepasang kekasih itu kompak. Binar-binar kebahagiaan terlihat jelas diraut wajah mereka.
"Benar! Sudahlah aku pergi dulu. Naina jangan khawatirkan orang tuamu. Mamak dan Bapak sudah mengurusnya."
Setelah mengatakan itu Mamak beranjak pergi tapi, tertahan karena ulah Luhut.
"Mak, tunggu dulu aku masih belum yakin. Mamak tidak berbohong 'kan," ucap Luhut menahan pergelangan tangan Mamaknya.
Meminta kepastian yang Mulia Ratu.
"Kalau mau tahu jangan disini. Aku tidak tahan dengan bau kandang ayam ini." Mamak menepis kasar tangan putranya.
"Cinta memang membuat manusia lupa daratan," gerutu Mamak sambil berjalan masuk kerumah.
Sementara sepasang kekasih yang tidak pernah tidak dimabuk asmara itu hatinya tengah berbunga-bunga.
Perkataan Mamak yang mengatakan bahwa bulan depan akan melamar Naina membuat keduanya berasa sedang terbang ke langit ketujuh.
Perjalanan cinta Luhut dan Naina yang sudah hampir sepuluh tahun akhirnya akan segera melangkah kejenjang pernikahan.
Naina si cantik kembang desa takluk dihadapan sang preman kampung nan kaya raya Luhut Namaranggi.
***
Uli masih betah berbaring diatas kasur. Air mata yang hanya keluar beberapa tetes itu terlihat sudah mengering.
Matanya memandang jauh, memikirkan nasib yang membuatnya sampai seperti ini.
Arya Wiraguna. Suaminya. Pria yang mengucapkan janji dihadapan Tuhan.
Pria yang tidak ia kenal sama sekali, hanya karena kemiripan wajah dengan Monang serta takut akan murka warga kampung membuat laki-laki itu terjerat.
Pernikahan macam apa ini? Segala surat-surat tertulis nama 'Hamonangan Pemberani & Uliana Azharah'. Namun, yang mengucap janji dihadapan Tuhan adalah 'Arya Wiraguna' pria kota yang tidak tahu apa-apa.
Bercerai? Tidak mungkin! Uli tidak mungkin bercerai dari Arya.
Jika sampai hal itu terjadi maka ia tak bisa leluasa berkeliaran dikampung ini lagi. Lalu bagaimana nasib Arya? Untuk kedepannya biarlah Uli meminta maaf.
Mematuhi aturan yang suaminya buat. Bila perlu dia akan ikut ke kota dengan status saudara jauh bukan istri.
Bagaimanapun juga Arya adalah suami Uli dihadapan Tuhan sudah seharusnya ia mematuhi suaminya.
Uli menatap pintu kamar mandi. Sekilas melirik jam yang berada didinding kamar.
Sudah jam sepuluh pagi, artinya Arya berada di ruangan lembab itu sudah hampir satu jam lamanya.
Mengkhawatirkan terjadi sesuatu dengan suaminya membuat Uli nekat menggedor pintu.
"Bang," panggil Uli berjalan kearah pintu kamar mandi.
Tok! Tok! Tok!
"Bang!" teriak Uli memanggil lagi setelah tak mendapatan jawaban dari suaminya.
"Apa?" jawab Arya dengan suara paru dari dalam.
"Kenapa lama sekali?" tanya Uli.
"Bukan urusanmu!" teriak Arya.
Mendengar ucapan Arya. Sepertinya suami dari Uli itu baik-baik saja.
Kekhawatiran Uli terlalu berlebihan. Entah apa yang dikhawatirkan Uli padahal Arya sudah besar.
Tidak perlu diawasi jika berada dalam toilet.
Tiga puluh menit menunggu. Duduk diatas tempat tidur tidak ada juga tanda-tanda bahwa sang suami akan keluar dari toilet.
Uli yang malas bertanya lagi terpaksa harus membaringkan tubuhnya lagi. Lelah menunggu membuatnya mengantuk.
Baru saja Uli akan terbang ke alam mimpi tiba-tiba saja ia dikagetkan dengan terbukanya pintu kamar mandi.
Hal yang sedari tadi dia tunggu-tunggu. Suaminya keluar dengan wajah begitu segar, butiran air yang turun dari rambut basah menambah ketampanan.
Dada bidang putih mulus terlihat begitu menggoda. Uli menggelengkan kepalanya kuat saat pikirannya mulai berkelana.
"Kenapa kamu?" tanya Arya yang melihat gelagat aneh sang istri.
"Tidak," jawab Uli cepat.
"Jika begitu menginginkan tubuhku ini seharusnya jangan menolak tadi," ucap Arya yang mengerti pemikiran istrinya.
Uli tidak menjawab, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menuruti perkataan suaminya agar pernikahan mereka langgeng.
"Bang," panggil Uli pelan.
"Apa?" tanya Arya sedikit membentak.
"Jangan bentak-bentak seperti itu. Aku sedang ingin bicara baik-baik," kata Uli memelas.
"Apa yang ingin kamu katakan?" tanya Arya luluh.
"Ayo ke sungai air mata. Kita bicara baik-baik disana."
"Kenapa tidak bicara disini saja?"
"Tidak apa-apa. Lagian dari kemarin Abang mau melihat sungai air mata, 'kan."
"Kalau gitu kita beli pancingan saja dulu."
"Kemarin bukanya sudah dibeli?" tanya Uli. Seingatnya semalam dia dan suaminya sudah pergi membeli alat pancing.
"Pancingan itu sudah patah," kata Arya.
"Bagaimana bisa?" tanya Uli mengernyitkan keningnya.
"Semalam aku letakkan di kursi sudut itu. Tadi pagi aku tidak sengaja mendudukinya," kata Arya sambil memakai pakaiannya.
"Astaga, Arya. Kamu menghabiskan ratusan ribu untuk benda itu kemarin. Sekarang kamu menghancurkannya," kata Uli mengomel.
"Yang beli uangku. Bukan uangmu. Jangan mengomel."
"Terserah lah."
"Ya sudah. Temani aku ke toko itu lagi untuk membeli pancingan baru."
"Sebentar aku pipis dulu," ucap Uli berjalan ke kamar mandi.
"Satu ... dua ... tiโ" Belum sampai tiga hitungan Arya sudah terhenti karena teriakan sang istri dari dalam kamar mandi.
"Arya! Arya kamu apakan sabun mandi ku sampai bisa begini!"