"Uli, aku bukan orang baik atau laki-laki yang taat akan Tuhan tapi, kalau aku sudah berjanji. Jangankan dihadapan Tuhan pada sesama manusia pun aku tidak berani mengingkari," kata Arya.
Pancaran matanya mengatakan kejujuran ucapannya juga terdengar sungguh-sungguh.
"Bang, pancingannya gerak ... sepertinya kita dapat ikan," ucap Uli.
Beberapa detik lalu tiba-tiba saja tatapannya beralih ke sungai menatap umpan pancing yang dilemparkan Arya saat Uli beranjak membeli makanan.
Kekhusukan yang baru saja terbangun untuk mengungkapkan unek-unek terpaksa harus berhenti tanpa konfirmasi terlebih dulu karena fokus teralihkan umpan yang disambut kerendahan hati oleh ikan.
Sepasang suami istri itu sibuk dengan pancingan mereka.
Kail itu sangat sulit untuk ditarik massa yang berada didalam air terlalu berat membuat Uli turun tangan untuk membantu suaminya.
Beberapa para warga juga pengunjung memperhatikan mereka.
"Sepertinya mereka dapat ikan yang cukup besar," ucap salah seroang pengunjung.
"Ah ... mereka akan menjadi pasangan harmonis seumur jika yang didapat Ikan Emas berukuran raksasa."
"Benar ... aku rasa alam memberkati mereka."
"Lihat Ikannya sudah berhasil diangkat kepermukaan," seru salah seorang dengan nada tinggi.
Matanya tampak berbinar saat pasangan suami istri itu berhasil mengangkat ikan dari air kepermukaan.
"Astaga beruntung sekali."
"Tuhan memberkati kalian."
Begitulah desas-desus warga serta para pengunjung yang kebetulan ada di lokasi saat Uli dan Arya mendapatkan Ikan Emas.
Mitos di sungai Air Mata jika ada pasangan suami istri yang mendapatkan Ikan Emas besar maka bisa dipastikan bahwa hubungan mereka akan langgeng.
Rintangan, kerikil-kerikil kecil pasti ada tapi, tidak membuahkan kehancuran.
"Bang ..." panggil Uli, dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jantung wanita itu tiba-tiba saja berdegup kencang.
Segala kebaikan akan mitos baik diaminkan berulang kali.
"Wow ... mancing mak niaaaa mantap!" Arya tersenyum bangga pada dirinya sendiri. "Uli bagaimana cara kita membawa Ikan Emas ini kembali kerumah?" tanya Arya.
Perhatian kini hanya fokus pada ikan lupa sudah akan ucapannya beberapa menit lalu apalagi nasehat Mamak dan Bapak.
"Mantap, Bang!" teriak seorang pria yang berdiri diseberang Arya.
Mereka melemparkan umpan diwaktu bersamaan tetapi keberuntungan berada di tangan Arya.
Dibalas dengan senyum sembari mengangkat tangan mengacungkan jempol oleh Arya.
Ikan emas itu tidak terlalu besar kira-kira ukurannya hanya lima kilogram.
Namun, mitosnya hanya pasangan suami istri beruntung saja yang bisa mendapatkannya.
"Bang, cepat masukkan ikan itu ke dalam ember ini. Jangan sampai ikannya mati."
Uli menyodorkan ember yang sudah berisi air kepada suaminya.
Sebelum berangkat Mamak sudah menyiapkan segala sesuatu untuk dibawa anak dan menantunya ke sungai Air Mata.
"Uli, aku senang sekali. Baru kali ini aku memancing mendapatkan ikan sebesar ini." Arya berkata untuk kesekian kalinya.
Mata pria itu tak lepas dari ikan yang berwana keemasan apalagi saat warnanya terkena sinar matahari.
"Kita beruntung, Bang." Raut bahagia juga ditunjukkan Uli.
Sebagai warga asli Desa Suka Hati tentu saja dia percaya seratus persen akan mitos yang sudah terjadi sejak dulu.
"Suamimu ini hebat bukan," kata Arya memuji dirinya sendiri. Senyum merekah itu sama sekali belum luntur dari wajahnya
"Bang, kamu tahu tidak? Hanya pasangan suami istri beruntung lah yang bisa mendapatkan Ikan Emas ini," kata Uli.
Ia langsung mengalihkan pembicaraan kearah sana saat memperhatikan fokus suaminya sudah terali pada hasil pancingan.
"Maksudnya bagaimana?" tanya Arya mengalihkan perhatian dari Ikan Emas.
"Aku juga kurang paham. Biar Mamak saja yang menjelaskannya dirumah nanti. Sekarang kita harus mengeluarkan unek-unek dan membuat satu permintaan," kata Uli.
Dia memang tidak terlalu tahu menahu seluk-beluk cerita tentang ini daripada salah bicara lebih baik Mamak saja yang menjelaskan semuanya.
"Ya sudah ayo kita duduk," ajak Arya menjatuhkan bokongnya diatas bebatuan.
"Bang," panggil Uli, wanita itu sudah berinisiatif sejak dari rumah untuk mengeluarkan pendapat lebih dulu.
"Ya ..."
"Bisakah kita memulai pernikahan ini?" Uli memberanikan dirinya untuk bertanya.
Bagaimanapun caranya wanita dengan setelan hoodie merah hati itu tidak menginginkan perpisahan.
Baginya pernikahan adalah janji sehidup semati yang hanya diucapkan satu kali dihadapan Tuhan.
"Aku belum memikirkan hubungan kita sejauh itu. Ada satu hal yang perlu kamu tahu bahwa aku juga tidak menginginkan perpisahan tapi, aku juga tidak bisa memulai semua ini dengan cepat apalagi kita berawal dari kesalah pahaman," jelas Arya.
Jujur dihatinya yang paling dalam pria itu sama sekali belum bisa menerima kenyataan ini tapi, Tuhan telah menjadi saksi sumpahnya.
"Aku tahu ... apa yang dilakukan Bang Luhut dua hari lalu tepatnya saat pernikahan kita. Itu tidak lah benar. Sekarang aku hanya berharap pada keputusanmu," ucap Uli.
Ada rasa gelisah yang teramat dalam dihatinya.
Satu sisi dia tidak ingin mengakhiri pernikahan ini disisi lain dia tidak bisa memaksa Arya untuk terus berada disini.
Karena Arya hanyalah korban kesalahpahaman penduduk kampung.
"Menurutku, pernikahan bukan hanya status. Pernikahan menyatukan dua kepala dengan pemikiran berbeda."
"Ada dua keluarga juga yang akan terlibat didalamnya. Sejak dulu aku hanya berfikir untuk menikah sekali seumur hidup."
"Saat kejadian penghianatan itu terjadi aku percaya bahwa Tuhan mengabulkan permintaanku."
"Terbukti ... keburukan wanita jalang itu aku ketahui sebelum pernikahan. Jika setelah pernikahan maka sudah bisa dipastikan hari ini statusku adalah duda."
"Sekarang aku malah terjebak ... tidak! lebih tepatnya tidak sengaja terjebak. Janji juga sudah diucapkan dihadapan Tuhan," kata Arya panjang lebar.
Pria itu bahkan menjeda kalimatnya untuk sekedar melihat reaksi sang istri.
"Uli ... kamu tahu tidak? Aku adalah pemegang sabuk hitam. Aku juga menyukai olahraga tinju."
"Beberapa kali juga pernah menang di MMA tapi, entah mengapa aku tidak mampu melawan para warga kampung kemarin. Mungkin ini adalah garis takdir yang Tuhan tuliskan untukku."
Arya dengan bentuk badannya yang bagus memiliki tenaga yang tidak perlu diragukan lagi. Melihat badannya saja orang-orang pasti tahu bawa pria itu rajin berolahraga.
"Bang ... Uli minta maaf atas nama keluarga besar karena telah membuat abang berada dalam posisi ini," ucap Uli tulus dari hatinya yang paling dalam.
"Bang Luhut tidak sengaja. Kemiripan antara aku dan Monang yang membuatnya melakukan itu."
"Bang Luhut tahu bahwa Monang sudah menodai mu. Pria itu mencoba kabur padahal ia harus bertanggung jawab."
"Jadi wajar saja kalau Bang Luhut mengejarnya sampai lubang buaya sekalipun. Jika aku memiliki adik perempuan aku pasti akan melakukan hal yang sama seperti Bang Luhut."
"Keluargamu juga tidak bersalah. Jikapun Mamak tahu dan dia memilih diam mungkin, karena Mamak memiliki alasan tertentu."
Entahlah ... Arya seolah sudah mengikhlaskan segala yang terjadi padanya meski dalam lubuk hatinya ia sama sekali belum bisa menerima Uli sebagai seorang istri.
"Jadi apa abang bersedia memulainya denganku?" tanya Uli lagi.
Mungkin dia terkesan egois tapi, mau bagaimana lagi ... nasi sudah menjadi bubur.
Menjadi janda hanya akan membuatnya menanggung malu.
"Bagaimana jika kita berteman?" tanya Arya mencoba mengajukan sebuah penawaran.
Mungkin dari berteman mereka akan bisa mengenal satu sama lain pikir Arya.
"Maksudnya? Bukankah kita ini suami istri?" tanya Uli bingung.
Pikiran wanita itu hanya dipenuhi dengan kelangsungan hubungan pernikahannya.
Berteman akan membuat mereka berjarak pikir Uli.
"Kita coba mulai dari pertemanan. Kita belajar saling mengenal satu sama lain saja dulu.
Jika Tuhan berkata bahwa kita adalah jodoh maka tidak akan ada satu manusia pun yang mampu memisahkan kita apalagi kita sudah menikah," jelas Arya
"Emm ... baiklah aku setuju kita berteman tapi, jangan minta pisah kamar seperti novel-novel CEO terpaksa menikah yang ku baca diaplikasi online, ya."
Ada benarnya juga perkataan Arya pikir Uli.
"Haha kamu ada-ada saja. Apa yang akan kita katakan pada Abang dan Bapakmu jika pisah kamar?"
Mereka adalah suami istri yang sah jika tidur pisah ranjang didalam kamar mungkin tapi, untuk pisah kamar sudah dipastikan hal itu tidak akan terjadi.
Bisa-bisa Arya kehilangan kepalanya.
"Bang," panggil Uli tanpa menghiraukan perkataan Arya.
"Apa?" jawab Arya.
"Bagaimana kalau kita bikin tantangan 60 Days I Love You?"