Chereads / 60 Days I Love You / Chapter 2 - Bab 2

Chapter 2 - Bab 2

"Akan ku jelaskan semuanya nanti pagi," kata Uli sambil merenggangkan otot-ototnya yang kaku akibat pesta meriah tadi.

"Kenapa harus menunggu pagi?" Wajar jika Arya bertanya seperti itu melihat jam yang masih menunjukkan pukul 8 malam.

"Karena aku sudah lelah! Apa kamu tidak lelah dengan segala macam ritual di pesta tadi?" tanya wanita itu kemudian merebahkan tubuh kecilnya di kasur pengantin.

"Aku juga lelah! Bahkan tubuhku berasa hancur karena pernikahan paksaan ini, tapi aku tidak bisa tidur satu kamar dengan mu," ucap Arya.

Bagaimana mungkin seorang pria perjaka yang tak pernah tersentuh wanita tiba-tiba saja tidur berdua dengan orang yang tak dikenal.

"Mau tidur di luar bersama Bang Luhut atau tidur disini bersamaku?" Wanita ini ternyata pandai dalam hal tawar menawar.

"Kalau aku tidur diluar, akan habis kepalaku di penggal oleh Abang mu yang seperti pembunuh itu, tapi ... kalau aku tidur disini nanti kamu apa-apain!" Mengingat pria bertubuh kekar itu tadi pagi membawa pedang panjang.

"Ha!" kaget Uli

"Keluargamu saja bisa memaksa aku menikahi mu. Kamu juga bisa saja kan memaksaku untuk melakukan itu ...."

"Halah perkutut mu saja kecil sekali sudah berani berfikir yang bukan-bukan," ucap Uli meremehkan barang berharga Arya.

"Hei! jaga ucapan mu, ya Nona!" pekik Arya tak terima.

"Apa ha? Dari kaca mata halus ku ini. Aku bisa melihat perkutut mu yang bersembunyi di balik boxer itu." Uli menunjuk matanya dengan kedua jari telunjuknya.

Menggambarkan bulatan seolah itu adalah kaca mata. Kemudian beralih menunjuk dan melirik manis barang pusaka milik Arya.

"Dasar perempuan mesum! Pantas saja jika kamu di tinggalkan calon suamimu," hardik Arya. Menutup pangkal pahanya dengan kedua telapak tangan.

"Kalau aku perempuan mesum lantas kau mau apa?" Uli mengeluarkan jurus menggoda bak wanita sejuta umat.

"Hei! menjauh kau atau aku akan berbuat kasar," ucap Arya yang ngeri melihat tingkah Uli.

"Bukankah kewajiban ku sebagai istri untuk melayani mu, Sayang." Uli mendekat, menyingkap daster tidur yang panjangnya satu jengkal di bawah lutut.

"Dasar jalang," maki Arya yang sudah mundur jauh ke arah pintu.

"Sayang ... apa kamu tidak tahu bahwa istri adalah jalangnya suami?" tanya Uli dengan nada yang menggoda.

"Jangan macam-macam kamu!"

"Gak ada salahnya macam-macam sama suami sendiri. Tuhan memberkati pasangan halal bahkan setan pun enggan mendekat." Uli berjalan mendekat.

"A–aku gak mau," ucap Arya gugup. Pria itu sudah berada di belakang pintu kamar, menyandarkan tubuhnya ke kosen karena takut melihat tingkah jalang istrinya

Uli berjalan dengan langkah menggoda wanita berdaster itu meliuk-liukkan badannya, menggoda pria yang beberapa jam lalu resmi menjadi suaminya.

"Mau apa kamu? Stop! Jangan mendekat!" Uli seolah memekakkan telinganya.

Dengan senyum menggoda dan berjalan gemulai Uli semakin mendekati Arya, semakin dekat ... semakin dekat hingga deru nafas Arya bisa terdengar di telinga Uli.

Ceklek (suara pintu terbuka)

Uli membuka pintu dengan senyum meledek sementara Arya berlari ke arah kasur.

Hahaha

Terdengar tawa lepas yang begitu bahagia dari bibir Uli. Raut wajahnya juga terlihat sangat jelas bahwa ia puas telah mengerjai pria yang menjadi suaminya itu.

Beberapa menit keluar dari kamar, wanita dengan daster bermotif macan itu sudah kembali lagi.

Membawa satu piring makanan berisi nasi putih hangat, telur ceplok ditambah dengan lelehan kecap hitam malika.

"Ini buat kamu," kata Uli menyodorkan sepering makanan itu.

"Makasih," jawab Arya ketus.

"Udah di siapin makanan sama istri juga masih aja ketus," gerutu Uli tak terima dengan nada ucapan Arya.

"Diam dulu! Aku mau makan, nanti kita sambung lagi berdebatnya," ucap Arya dengan mulut penuh makanan. Pria kota nan tampan itu kelihatan sangat kelaparan.

"Berdebat di ranjang lebih menarik, Sayang." Lagi-lagi Uli seperti tak ada puasnya menggoda pria kota yang terpaksa menikahinya itu.

Uhuk uhuk uhuk. Hampir saja Arya tersedak piring karena ucapan yang dilontarkan Uli.

"Minum dulu. makanya kalau makan itu harus hati-hati." Uli menyodorkan segelas air yang ada di genggamnya kepada Arya

"Benar-benar manusia aneh ini perempuan," ucap Arya dalam hati.

"Kenapa liat-liat? Atau jangan-jangan kamu lagi ngumpat aku dalam hati, ya." Uli melirik dengan sinis.

"Diam!" bentak Arya yang kesal dengan Uli.

Uli membuat gerakan dengan tangannya seolah sedang mengunci mulutnya rapat-rapat.

Hingga makanan Arya habis wanita yang sekarang berstatus menjadi istri itu kembali berbicara hal yang tidak penting.

"Udah kenyang?" tanya Uli. Kali ini ucapannya terdengar tulus tanpa ada godaan.

"Udah, makasih karena sudah membawakan makanan untukku," kata Arya dingin.

"Abang tau gak, kenapa nasi hangat dan lelehan malika itu enak banget?" tanya Uli serius sambil membereskan bekas makan Arya.

"Gak tau," jawab Arya mengangkat kedua bahunya sedangkan Uli sudah berjalan perlahan menuju pintu dengan senyum mengembang.

"Karena yang buat adalah istri sahnya, Abang. Hahaha." Setelah mengucap beberapa kata itu Uli langsung keluar kamar.

"Mengapa wanita jaman sekarang seperti itu, ya." Arya mengelus dadanya melihat tingkah laku istrinya itu.

***

Saat matahari mulai muncul ke peraduan sepasang suami istri itu sudah berada di sebuah dataran tinggi.

Menyuguhkan pemandangan danau biru nan asri. Udara khas pengunungan begitu sejuk membuat keduanya mengenakan jaket tebal.

"Sudah hampir satu jam berada disini. Sekarang matahari juga sudah terbit apa kamu masih tidak mau menceritakan sesuatu?"

Entah sudah pertanyaan ke berapa kali yang di lontarkan Arya pada Uli, namun wanita itu masih betah menerawang jauh dengan sesekali terisak.

"Namaku Uliana Azahra. Aku dengan Monang sudah menjalin hubungan pertemanan sejak kami belum bisa membersihkan ingus sendiri."

"Umur 18 tahun saat tamat SMA aku pergi kuliah ke kota untuk mengejar cita-cita menjadi pemandu wisata."

"Aku bertemu dengan seorang laki-laki dan aku mencintainya. Satu minggu lalu tepat di usia ke 24 tahun laki-laki itu datang dengan niat ingin meminang ku harusnya kemarin adalah pernikahan kami,"

"Ya memang seharusnya si Monang itu yang menjadi suamimu," ucap Arya yang masih memendam kesal dan tak terima.

Lagi pula siapa yang terima di nikahkan dadakan seperti ini. Apa yang terjadi nanti kalau keluarganya di kota tahu bahwa dirinya memiliki istri.

"Ih kamu kenapa sih nyebelin banget. Jangan di potong dulu ucapan aku." Bibir wanita itu sudah mengerucut dengan tangan melipat didada.

"Lanjut ...."

"Keluarga kekasihku dari kota sudah berdatangan ke desa ini karena acara pernikahan kami tinggal dua hari lagi."

"Tiba-tiba saja aku merasa kepalaku berat sekali, setelah itu aku tidak sadarkan diri. Pagi hari aku membuka mata saat mendengar warga kampung ribut-ribut."

"Raut wajah para warga terlihat sangat murka, aku yang baru sadar jadi bingung namun setelah kesadaran ku pulih hal yang pertama aku lihat adalah aku tidak mengenakan sehelai benang pun."

"Begitu juga dengan Monang yang entah sejak kapan berada di sampingku." Uli menjeda kalimatnya. Menarik nafas dalam-dalam rasanya sesak sekali.

"Calon suamiku juga ada di situ. Bahkan dia menghajar Monang dengan membabi buta. Aku sudah menjelaskan duduk perkaranya bahwa aku tidak bersalah."

"Namun ego warga kampung terlalu sulit untuk di taklukkan. Akhirnya pihak keluargaku meminta maaf dan mengembalikan sinamot (Panai) yang telah di terima."

"Berkali-kali aku mencoba untuk bertemu dengan kekasihku, aku ingin menjelaskan segalanya tapi tidak ada kesempatan."

"Kalau kamu memang dijebak lalu mengapa si Monang pergi meninggalkanmu di hari pernikahan?" tanya Arya.

"Aku juga tidak tahu. Padahal pagi sebelum pernikahan itu Monang datang mengatakan bahwa dia mencintaiku dan meminta maaf telah menjebak ku."

Pandangan Uli jauh menerawang beberapa hari lalu.