Hilman duduk lemas dan bersandar pada Pohon jati itu. Pohon yang berdiameter sekitar satu meter itu terlihat besar. Di samping Eva, Hilman mengistirahatkan badannya. Sesekali ia menggosokkan tangannya dan menempelkannya pada istrinya.
"Eva, nanti aku bawa kamu pulang. Kamu, mengapa belum bangun-bangun? Aku tidak kuat menggendong kamu lagi," lirih Hilman. Badannya terlalu lelah untuk berjalan dan menggendong Eva. Apalagi ia susah payah untuk melewati rimbunnya rumput liar dan semak-semak.
Saat melewati itu semua, Hilman pun sempat terpeleset dan hampir jatuh. Karena Hilman tidak berjalan di jalan yang seharusnya. Ia membuka jalan baru untuk bisa ia lewati. Apalagi rasa haus yang ia rasa.
"Kenapa kalian tidak kebasahan? Eh, apa kalian juga punya air?" Ia tidak peduli dengan statusnya sebagai seorang yang merasa derajatnya tinggi. Ia tidak bisa menahan rasa hausnya.
"Ada, Pak. Sebentar," celetuk Diyon. Kemudian Diyon meninggalkan mereka untuk mengambil minuman.
"Terima kasih," lirih Hilman. Tubuhnya terasa berat untuk kembali berdiri. Karena hujan pula, ia belum sempat menikmati makanannya. Karena makanan yang ia bawa juga turut kebasahan karena dirinya sibuk mengurus Eva.
Sementara Ayub dan Wawan menghampiri Hilman. Mereka berdua ingin membantu lelaki itu dan istrinya. Sementara Nur dan Neni hanya bisa melihat dari jauh.
Terlihat Hilman yang lemah dan tidak bertenaga. Membuat mereka merasa iba dan kasihan. Mereka tidak akan lupa perkataan dari Laila untuk membantu orang lain dalam kesusahan. Meskipun orang itu memiliki kedudukan tinggi, orang itu sangat berkuasa dan tidak ada yang berani padanya, setiap manusia itu memerlukan orang lain.
Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri. Itulah yang dipegang teguh oleh Ayub dan teman-temannya.
Diyon kembali membawa air minum. Ia menyerahkan minuman itu pada Hilman. "Pak, ini minumnya," ungkap Diyon.
"Terima kasih, kalian mau membantuku," tutur Hilman lirih. Ia mengambil minuman itu dan membuka tutup botol. Ia sangat haus sehingga satu botol air mineral ia habiskan.
"Sama-sama, Pak," balas mereka serentak.
Diyon juga membawa makanan dan ia berikan pada Hilman. Hilman merasa terharu dengan kebaikan anak-anak desa itu. Ia harus segera kembali ke vila untuk mengganti pakaiannya dan juga Eva.
Tiga kurcaci menjauh dari Hilman. Mereka berjalan bersama ke satu arah. Namun Hilman tidak ingin kehilangan jejak anak-anak itu. Ia pikir anak-anak itu tahu jalan pulang. Karena ia tidak mungkin juga harus mencari jalan pulang sendiri.
"Tunggu! Kalian mau ke mana?" tanya Hilman. Ia bangkit dari duduknya. Karena tenaganya telah diisi kembali, ia sudah memiliki kekuatan. Ia merasa bisa membawa Eva untuk pulang.
Mereka pun menengok ke arah Hilman. Mereka pun harus menjelaskan apa yang akan mereka lakukan. Karena hari mulai sore, mereka harus pulang ke rumah. Namun yang masih membuat bingung di pikiran Hilman adalah, pakaian mereka tidak basah walau hujan deras.
"Kami mau ambil hasil buruan, Pak. Kami mau pulang karena hari sudah sore," jawab Ayub. Ia kemudian bersama teman-temannya membalikkan badannya membelakangi Hilman.
Hilman berjalan ke arah mereka meninggalkan Eva yang masih tertidur. "Apakah kalian akan meninggalkanku? Aku tidak tahu jalan pulang," aku Hilman.
"Emm, enggak kok, Pak. Kami hanya mau ambil apa yang kami dapat dari hutan ini. Lagipula jalan pulang, hanya lewat jalan ini. Pak Hilman tunggu kami saja di sini," pinta Wawan.
"Oh, begitu. Baiklah ... kalau begitu, cepatlah!" pinta Hilman.
"Oke, Pak."
Mereka meninggalkan Hilman. Namun Hilman mengikuti lima anak tersebut. Dari kejauhan, ia melihat sebuah goa. Yah, sebuah goa yang ada di tebing terjal. Baru kali ini pula Hilman melihat goa yang masih terlihat alami. Mulut goa itu ditumbuhi tanaman rambat.
"Pantas saja mereka tidak kebasahan. Ternyata ada goa di sini, hehe," kekehnya. Ia kemudian kembali ke Eva. Ia menunggu anak-anak itu untuk pulang bersama. "Kamu sabar, Sayang. Sebentar lagi, kita akan pulang."
Hilman merogoh sakunya. Ponselnya basah karena hujan deras namun masih menyala. Sekarang sudah pukul setengah tiga. Jadi memang ia harus segera pulang. Karena perjalanan pulang pasti memakan waktu yang lama.
Ayub, Diyon, Wawan, Neni dan Nur, masing-masing membawa hasil buruan mereka berupa biji ganitri atau jenitri. Biji jenitri hanya bisa mereka cari di bukit yang saat ini mereka berada. Mereka telah mengumpulkan biji-biji jenitri untuk digunakan sebagai tasbih ataupun gelang kalung.
Satu kantong kresek telah mereka dapatkan. Saat ini ada berada di tangan Wawan. Sementara yang lainnya membawa beberapa batok kelapa yang sudah bolong. Karena kelapa-kelapa itu adalah bekas dimakan bajing.
"Wah, sayangnya hari ini hujan. Kalau tidak ada hujan, mungkin kita bisa kumpulkan buah Jenitri segini banyak," ungkap Wawan.
"Iya, enggak apa-apa, lah. Yang penting kita sudah sempat ke puncak dan air terjun," seloroh Neni. Karena tujuan utama ia dan adiknya ikut adalah untuk pergi ke air terjun atau ke puncak bukit. Walau mereka tidak lama-lama, namun keinginannya telah terpenuhi.
"Hemm," gumam Ayub. Ayub terlihat sedang berpikir. Ia terlihat sangat fokus kalau dalam keadaan seperti ini.
"Kamu kenapa, Yub?" tanya Diyon akhirnya. Ia menjadi ingin tahu apa yang ada di pikiran Ayub. Karena kadang Ayub memiliki pemikiran yang tidak terduga.
Dan benar saja, hal itu membuat mereka penasaran dan ingin tahu apa yang ada di pikirkan Ayub. Namun mereka belum menemukan jawaban dari anak lelaki itu.
"Aku katakan atau tidak, yah? Takutnya kalian marah padaku," ujar Ayub. Ia masih memikirkan apa ia harus mengatakan apa yang di pikirannya atau tidak.
"Ayo, katakan saja, Ayub! Jangan bikin kami penasaran," ungkap Diyon yang tidak sabar.
"Iya, ayo katakan," imbuh Wawan.
Sementara dua anak perempuan di belakang mereka, tidak mengatakan apapun. Mereka masing-masing membawa beberapa batok kelapa kering di tangan.
"Aku sebenarnya ingin berak," jujur Ayub.
"Hah? Oh, pantes, dari tadi bau kentut. Kamu ternyata yang abis kentut?" protes Wawan.
"Ih, Dasar anak ini, bikin penasaran, ternyata malah mau berak," gerutu Diyon.
"Hehehe ... maafin, temen-temen. Aku mau ke sungai dulu, yah. Udah kebelet banget soalnya. Ini kamu bawain tas aku, yah," ujar Ayub, menyerahkan tas yang berisi batok kelapa yang mereka kumpulkan kepada Diyon.
"Ish, ini sudah berat, tau. Yaudah, kamu jangan lama-lama. Kita belum sholat dhuhur juga," tandas Diyon.
Karena mereka memakai celana pendek dan karena hujan deras, mereka belum sempat melaksanakan kewajibannya. Namun mereka bisa menggabungkan dua waktu sholat nanti di rumah. Karena keadaannya pun tidak memungkinkan.
Hilman sudah menunggu mereka. Namun ia melihat Ayub yang berlari ke arah lain meninggalkan teman-temannya. Kembali Hilman menatap istrinya yang masih tertidur pulas. Ia tidak mau mengganggu tidurnya. Namun ia tidak mungkin selalu menggendong Eva terus. Kalau dipikir-pikir lagi, ia tidak memiliki cukup tenaga lagi. Apalagi kondisi kakinya yang masih nyeri akibat tergores tanaman berduri itu.
Mereka semakin dekat dengan Hilman. Ia bisa melihat anak-anak itu membawa benda-benda yang ia anggap sebagai limbah. Seperti batik kelapa dan akar-akar yang mereka bawa. Ia tidak tahu apa yang anak-anak itu lakukan dengan benda-benda yang mereka bawa. Ia hanya tersenyum ke arah mereka, berharap mereka akan segera membawa pulang ke rumah. Menuntun jalan yang ia sendiri tidak tahu.
***