Malam ini terasa sangat dingin di luar. Pramono telah selesai sholat berjamaah di mushola. Setelah dari mushola, ia bergegas kembali ke vila. Pramono ingin menemui Laila. Memastikan bahwa yang dilihat olehnya adalah dugaannya saja.
"Semoga Hilman tidak benar-benar meninggalkan Laila. Apa jadinya jika Laila ditinggalkan oleh suaminya sendiri saat malam pertama?"
Tadinya Pramono ingin mengajak Hilman untuk sholat berjamaah bersama. Namun ia urungkan niatnya karena melihat Hilman yang di luar kamar pernikahan mereka. Hilman terlihat menguping ke dalam kamar pernikahannya sendiri.
"Entah apa yang terjadi padanya," gumam Pramono, mengingat kejadian saat melihat Hilman di luar kamar.
Pramono mendengar Laila yang tengah membaca ayat suci Al-Quran sambil terisak. Lelaki berumur itu sudah menduga akan terjadi hal seperti ini. Perlahan Pramono membuka pintu kamar pernikahan cucunya tanpa permisi.
"Laila," panggil Pramono. Dilihatnya Laila yang memakai mukena dan sedang membaca Al-Quran sambil menangis.
"Kakek?" lirih Laila, yang melihat sang kakek datang menghampirinya. Ia buru-buru menghapus air matanya dengan mukena putihnya. Ia tidak ingin sang kakek terlalu memikirkannya.
"Nduk," panggil Pramono. Ia mendekati Laila, berdiri di samping cucunya yang tengah duduk sambil memegang Al-Qur'an. Hatinya hancur setelah melihat sang cucu yang tengah duduk sendirian tanpa sang suami.
Pramono merasa bersalah pada dirinya sendiri karena menerima lamaran Hilman begitu saja. Jika ia tidak menerima lamaran itu, cucunya tidak akan seperti ini. Laila tidak akan menangis di malam pernikahannya.
"Kakek? Kakek kenapa masuk ke kamar Laila? Kakek belum makan? Biar Laila ke dapur mencarikan kakek makan," ujar Laila, tanpa menatap Pramono. Ia malu karena wajahnya sembab karena habis menangis.
"Maafkan kakek, Laila. Tidak seharusnya kakek menerima lamaran lelaki itu. Tidak seharusnya kakek langsung setuju kamu menikah dengan anaknya Redho. Kamu jadi seperti ini. Kakek sangat kecewa melihat lelaki itu mencampakkan kamu seperti ini," ungkap Pramono dengan menahan emosi.
Bagaimana tidak emosi, kalau cucu yang paling ia sayangi, diperlakukan seperti itu. Ia tidak terima Laila dicampakkan oleh Hilman. Lebih baik membawa Laila pulang dan hidup sederhana tapi tidak menangis seperti itu.
"Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Kita pulang saja ke rumah. Bagaimana, Laila?" tanya Pramono meminta pendapat pada cucunya agar segera pulang ke rumah.
Pramono merendahkan badannya dengan duduk di samping Laila yang menyembunyikan wajahnya di balik mukena.
"Tidak, Kek. Aku sudah menjadi istrinya mas Hilman. Aku harus patuh padanya. Kemanapun dia pergi, aku harus mengikutinya. Kecuali mas Hilman sendiri yang mengantarku pulang ke rumah." Laila memang lebih baik pulang saja ke rumah tua itu. Namun ia menyadari kalau ia pulang, ia akan dicap sebagai istri durhaka.
"Daripada kamu tersiksa seperti ini. Kakek tidak ingin mendengar kamu menangis, Laila. Kakek lebih suka kamu bermain dengan anak-anak kecil itu, daripada kamu menangis di sini. Saat kamu bermain dengan anak-anak itu, kakek sering memarahi kamu. Tapi setidaknya kamu tidak apa-apa. Kamu tidak menangis."
"Iya, Kek. Tapi aku tidak seperti dulu lagi. Aku bukan Laila yang bebas lagi. Tidak mungkin Laila kembali bermain dengan tiga kurcaci itu. Laila, huhuhu ... Kakek!" pekik Laila yang menghambur ke pangkuan sang kakek. Laila tidak bisa menahannya lagi. Ia puaskan menangis dan mengadu pada sang kakek yang telah merawat dan membesarkannya sampai ia menjadi gadis yang mandiri.
"Tenang, Nduk. Ada kakek di sini. Kakek hanya kecewa dengan suamimu. Mengapa dia tega meninggalkan istri yang secantik dan sebaik kamu, Laila? Sungguh suamimu sangat bodoh. Dia sangat bodoh!" Ada nada emosi ketika ia menyebut Hilman bodoh.
"Tidak, Kek. Jangan salahkan mas Hilman. Hiks ... dia ... tidak salah ..." bela Laila. Walaupun sikap Hilman tidak baik, ia tetap suami Laila.
"Tenanglah, Nduk. Kalau sudah seperti ini, harus bagaimana lagi? Kakek tidak bisa berbuat apapun lagi. Seandainya kakek masih muda, mungkin kakek akan memukuli suamimu itu, Laila. Kakek akan mengeluarkan jurus silat kakek yang melegenda itu," tutur sang kakek.
Pramono menceritakan sebuah dongeng tentang pendekar muda yang sangat legendaris. Membuat Laila mendengarkan dengan seksama. Pramono menceritakan sebuah kisah pendekar wanita yang hebat dan memiliki kesaktian luar biasa.
"Lalu pendekar itu bagaimana, Kek? Apa pendekar wanita itu bisa menang, melawan raksasa yang mau menikahinya itu?" tanya Laila yang saat ini sudah tidak bersedih lagi.
Laila sangat senang jika sang kakek mulai bercerita. Apapun yang diceritakan sang kakek, Laila selalu mendengarkannya. Apalagi cerita-cerita sang kakek memiliki nilai moral yang baik. Seperti yang pernah diceritakan oleh Pramono tentang pendekar tanpa tanding dengan ilmu-ilmu islami yang terdapat dalam kisah itu.
Pramono menjawab pertanyaan Laila dengan tersenyum. "Pendekar wanita itu mengeluarkan cambuknya. Namanya adalah cambuk pemusnah kebatilan. Setiap orang-orang batil yang dia hadapi, tidak akan bisa melawan cambuk itu," terang sang Kakek.
"Wah, cambuknya sakti, Kek?"
"Iya, Nduk. Cambuk itu memiliki kekuatan yang sangat hebat. Namun bukan berarti cambuk itu adalah senjata terkuat."
"Masih ada yang lebih kuat, Kek?" tanya Laila penasaran.
"Senjata terkuat ialah hati pemakai cambuk itu. Meskipun cambuk itu sangat sakti, kalau pemilik cambuk itu mempercayakan kekuatannya dari cambuk itu, ia akan kerasukan dan hatinya menjadi jahat."
"Jadi cambuk itu yang jahat, Kek? Masa cambuk itu bisa membuat pemiliknya jadi jahat?" Laila penasaran dengan apa yang diceritakan Pramono.
"Setiap benda pusaka memiliki sisi positif dan sisi negatifnya, Laila. Kalau hati pemilik pusaka itu baik dan percaya, kekuatan itu datangnya dari Allah, maka ia tidak akan kerasukan dari senjata itu sendiri."
"Jadi yang paling penting adalah hati pemilik senjata pusaka itu, ya, Kek?" tebak Laila.
"Benar. Jika kamu setiap manusia memiliki hati yang berbeda-beda. Jika hatimu baik dan percaya hanya kekuatan Allah yang lebih besar, maka kamu tidak akan kalah oleh kekuatan manusia yang tidak ada apa-apanya. Dengan meminta kepada Allah, kita akan memiliki kekuatan untuk melewati setiap permasalahan yang ada."
"Oh, aku mengerti, Kek. Terima kasih sudah ada untuk Laila. Laila janji, akan selalu kuat dan tidak menangis lagi."
"Nah begitulah seharusnya cucuku. Kamu itu kuat. Semoga kamu bisa menjalani pernikahanmu dengan baik. Semoga suamimu sadar," harap Pramono.
"Iya, Kek. Aamiin."
"Kakek harus ke kamar kakek, Nduk. Kamu berani tidur sendirian, kan?" tanya Pramono.
"Iya, Kek. Terima kasih, Kek. Laila nggak sedih lagi," ungkap Laila. Laila menyunggingkan senyum pada sang kakek.
"Baiklah, Laila. Kamu istirahatlah! Jika membutuhkan kakek, kakek ada di kamar kakek. Walau agak jauh, kakek akan berusaha datang pada Laila," ungkap Pramono.
Pramono meninggalkan kamar itu dengan perasaan lega. Ia senang dengan cerita yang ia karang sendiri, membuat Laila tidak bersedih lagi. Cara Pramono bercerita tentang pendekar karena ia sendiri suka dengan kisah-kisah pendekar yang ia dengar melalui radio. Saat malam hari, Pramono dulunya selalu mendengar radio yang menayangkan siaran kisah pendekar. Namun sekarang tidak ada lagi radio itu. Pramono hanya bisa mengarang cerita dan digabungkan dengan nilai-nilai islami untuk menghibur Laila.
Tepat pukul sembilan malam, Hilman telah memakai pakaiannya dan bersiap-siap untuk ke kamar Laila. Seperti yang ia janjikan kepada Eva, ia harus tidur di sana agar tidak menimbulkan kecurigaan.
***