Tugas istri adalah melayani suaminya di malam pertamanya. Namun tidak seperti keadaan Laila saat ini. Ia tidak ingin seperti ini. Sementara Hilman terus melakukan kekerasan dengan membuka paksa pakaiannya.
"Jangan, Mas!" tolak Laila setengah berteriak. Tak terasa air matanya merembes keluar. Ia tidak ingin keadaan dipaksa seperti ini. Perasaan takut karena perlakuan Hilman terhadapnya.
Hilman sadar dengan apa yang ia lakukan. Ia merasa bersalah karena membuat istrinya menangis. Sebagai seorang pria, seharusnya ia tidak boleh berlaku kasar pada wanita. Meskipun itu pasangannya yang sah.
"Laila ... maaf," sesal Hilman. Segera ia bangun dari tempatnya. Ia tahu Laila ketakutan dengan perlakuannya. Hilman sangat menyesal dengan apa yang ia lakukan.
....
Laila sudah mulai tenang walau nafasnya ngos-ngosan. Badannya terasa sakit karena barusan ditindih oleh Hilman. Keadaannya saat ini, rambutnya acak-acakan dan pakaiannya hampir terbuka. Dalam keadaan itu, Laila memeluk guling yang ada di sampingnya.
"Apa kamu takut padaku, Laila?" sebuah pertanyaan yang jelas Laila tidak perlu menjawabnya namun sudah tahu jawabannya. Hilman malah bingung dengan apa yang ia lakukan. Tidak seharusnya ia melakukan itu pada Laila.
"Ya Allah ..." sebut Laila. Ia terus menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia takut kalau Hilman melakukannya lagi. Dalam isakannya, Laila berdoa meminta perlindungan pada Yang Maha Kuasa.
Hilman duduk di tepi ranjang. Memang ini kesalahannya. Kalau ia tidak terpancing oleh nafsunya, ia tidak akan melakukannya. Sayangnya ia merasa Laila sangat menggairahkan saat tidak memakai kerudungnya. Ditambah lagi dengan emosinya yang membuat ia kehilangan akal sehatnya, ia sampai menyakiti orang yang tidak bersalah.
"Apa kamu sakit, Laila?" tanya Hilman memastikan.
Hilman mendekati Laila namun Laila menjauh. Karena ia masih takut, hanya bisa berharap malam ini cepat berlalu. Ia ingin pulang saja ke rumah jika harus menghadapi semua ini. Walau secara fisik, Laila lebih sehat dari perempuan biasa, ia tetap seorang perempuan yang memiliki sisi lemahnya. Ia akan merasa takut apabila diperlukan secara paksa oleh lelaki yang tenaganya jauh lebih besar darinya.
"Maafkan aku, Laila. Aku tidak akan melakukan itu lagi padamu," ungkap Hilman. Namun ia masih melihat ketakutan dari ekspresi Laila.
Mendengar penyesalan Hilman, membuat Laila melihat ke arah pria itu. Dengan perasaan yang masih takut itu, ia mencoba memberanikan diri. "Kamu jahat," lirih Laila, masih memeluk guling. Ia hanya melihat Hilman sejenak dan membenamkan wajahnya ke bawah bantal.
Laila bersembunyi di balik selimut karena masih merasa takut. Ia takut Hilman hanya berpura-pura saja. Sementara Hilman hanya bisa berdecak kesal pada dirinya sendiri.
"Laila ... maafkan aku! Aku tidak akan melakukannya lagi. Apa kamu takut padaku?" Hilman terus meminta Permintaan maaf pada Laila. Ia tidak ingin menyakiti siapapun dalam hidupnya. Apalagi seorang wanita yang seharusnya ia lindungi.
Laila tidak menjawab apapun dari Hilman. Ia masih tetap pada pendiriannya, tetap menutupi tubuhnya dengan selimut tebal dan hangat. Tentu ia tidak pernah merasakan ini sebelumnya di rumahnya.
'Kenapa rasanya mengantuk banget?' batin Laila yang sudah merasa mengantuk. Ia kemudian berdoa sebelum ia benar-benar tertidur. 'Bismikaallahumma Ahyaa Wabismika Amuut.' Laila sangat mengantuk hingga ia tertidur dalam karena perasaan takutnya kini menjadi perasaan nyaman dan mengantuk
Dalam lelapnya, ia sudah tidak memikirkan ketakutan lagi. Ia telah tidur dengan damai dan tidak tahu apa yang dikatakan oleh Hilman lagi. Sementara Hilman masih belum tahu kalau Laila telah terlelap di balik selimut hangat itu.
"Kamu jangan takut lagi, Laila. Aku tidak akan melakukan itu lagi padamu. Akan aku pastikan kamu tidak akan menderita jika hidup denganku. Heh ... kamu tahu, Laila? Aku tidak bisa mengkhianati diri sendiri bahwa aku memiliki hasrat padamu. Dan kamu harus tahu ... aku orang yang sangat jahat, yah?"
Hilman berbicara sendiri tanpa didengar oleh Laila yang terlelap. Hilman mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya saat ini bahwa ia telah berjanji pada Eva untuk menyentuhnya. Namun ia khilaf dan membuat Laila ketakutan.
Hilman berbicara panjang lebar namun tidak juga ditanggapi oleh Laila. Hilman menghembuskan nafas pelan. Percuma ia berbicara panjang lebar kalau tidak ada balasan dari orang yang ia ajak berbicara.
"Apa kamu masih marah padaku, Laila? Buka matamu, lihat aku!" Hilman hanya tahu kalau Laila menutupi wajahnya dengan bantal dan tangannya mendekap guling di depannya. Sementara badannya berada di dalam selimut tebal. Tentu Hilman tidak tahu Laila telah tertidur dengan tenang.
Hilman memberanikan diri untuk mengambil bantal yang digunakan untuk menutupi wajahnya. Ia melihat Laila terpejam. Wajah Laila terlihat damai dan polos. Wajah putih laila yang berwarna kuning langsat dan rambutnya yang menutupi wajahnya. Hilman menyingkap rambut Laila yang menutupi wajahnya.
"Kenapa kamu memiliki wajah cantik ini, Laila?" gumam Hilman. Ia terus menatap wajah Laila yang membuatnya tidak ingin lepaskan wajah itu dari pandangan matanya.
Karena penasaran, Hilman menyentuh wajah Laila. Ia merasakan wajah Laila yang lembut walau tersisa air mata yang sudah mengering. Hilman menyunggingkan senyumnya. Karena Laila tidak menolaknya, Hilman menyentuh hidung Laila yang mungil. Ia menatap bibir Laila yang tipis bagian atas dan agak lebar di bagian bawah.
Hilman memainkan rambut Laila yang panjang terurai. Ia menyukai apa yang ada dalam diri Laila. Gadis lumpur adalah sebutan Hilman pada Laila kecil. Ia mengingat masa lalunya bersama Laila. Ia senyam-senyum sambil membayangkan Laila kecil bermain lumpur dan hujan-hujanan.
"Andaikan waktu bisa diputar kembali, aku ingin melihat Laila kecil yang sangat imut itu. Sekarang kamu sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Eh, kamu sudah menjadi istriku sekarang. Apakah aku salah jika aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu, Laila? Hehh ..." hembus nafas Hilman. Menyesal bukanlah solusi. Ia harus memohon permintaan maaf. Laila tidak memiliki kesalahan apapun padanya. Yang salah adalah Hilman sendiri dalam hal ini.
Hilman semakin tidak mengerti, Laila tidak menggubris semua ucapannya. Ia merasa aneh dengan Laila yang terlihat tenang tanpa terlihat ekspresi ketakutan.
"Laila ... kenapa kamu diam saja? Apakah kamu tidak mau memaafkanku? Maaf, Laila. Aku yang bersalah karena mempermainkan pernikahan ini. Aku yang memaksamu untuk menerima pernikahan ini. Aku juga yang membuatmu takut karena perlakuanku padamu. Kamu bicaralah, Laila. Kamu boleh memukulku, boleh melakukan apapun kepadaku. Tapi kamu jangan diamkan aku begini!"
Semakin lama, Hilman semakin curiga terhadap Laila. Ia sudah berkata panjang lebar di depan Laila. Nyatanya sang istri tidak menanggapi semua perkataannya. Memang tidak ada rasa takut di raut wajah Laila. Namun bukan berarti Laila diam saja saat wajahnya disentuh oleh Hilman. Harusnya Laila bereaksi saat wajahnya disentuh oleh pria.
"Apakah kamu tertidur, Laila? Kamu tidak menanggapi ucapanku dari tadi. Apakah kamu tidak mendengarkan ucapanku?" Hilman menepuk-nepuk wajah Laila. Namun tidak ada reaksi dari Laila.
Hilman menyadari bahwa ia sangat bodoh. Ia menyadari bahwa Laila ternyata sudah terlelap dalam buaian mimpi indahnya. Pantas saja Hilman seperti orang gila yang berbicara seorang diri.
"Oh, mengapa kamu bisa tidur nyenyak seperti ini, Laila? Kamu sungguh perempuan paling unik di dunia ini, hemm. Aku juga seperti orang gila yang berbicara sendiri."
Hilman membiarkan Laila dan segera kembali ke sofa. Hilman berhenti mengganggu istrinya dan memilih tidur di sofa yang panjangnya tidak lebih dari tinggi badannya.
***