Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 14 - Hubungan Suami Istri

Chapter 14 - Hubungan Suami Istri

Hilman memutuskan untuk pulang, memberitahukan kepada Eva, dirinya telah bertemu dengan Laila calon istrinya yang ke dua, Laila. Sebenarnya Eva ingin bertemu dengan langsung Laila yang akan menjadi madunya itu. Namun Hilman tidak ingin mengajak Eva. Andaikan Hilman mengajak serta Eva, mungkin bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

"Kamu sudah pulang, Mas Hilman?" sapa Eva, mengulurkan tangan, mencium tangan Hilman setelahnya.

"Hemmm ... rasanya lelah sekali," lirih Hilman. Menatap istrinya lalu memejamkan matanya sejenak. Keringat di pelipis Hilman masih terlihat basah.

Hilman duduk di sofa dengan menghembus nafas pelan. Ia memaksakan senyum pada Eva. Walau sebenarnya ia sangat lelah hari ini tetapi melihat Eva sang isteri, ia sudah merasa mendingan.

Dengan kehadiran Eva, membuat semua masalah bisa mereka lewati bersama. Disaat memerlukan tempat untuk istirahat, Eva akan selalu ada untuk Hilman. Itulah sejatinya seorang istri. Saat sang suami bekerja keras mencari nafkah, sang istri setia di dalam rumah. Peran suami istri mereka lakukan sebisa mungkin.

"Mas," panggil Eva lirih. Wanita itu menatap suaminya. Rasa cintanya pada Hilman, melebihi rasa cintanya untuk dirinya sendiri. Hingga kematian yang hanya bisa memisahkan mereka berdua.

"Iya, Sayang." Hilman mengangkat kepalanya, meluruskan kakinya. Dilihatnya sang istri tersenyum manis ke arahnya.

Senyuman itulah yang membuat Hilman merasa pria paling beruntung di dunia. Bagi dirinya, memiliki seorang istri yang cantik dan baik seperti Eva adalah anugerah terindah yang ia miliki.

Perjuangan cinta mereka yang membuat mereka berdua harus mengalami penderitaan yang mereka jalani. Karena keegoisan di antara keluarga, membuat perbedaan dan menimbulkan perpecahan.

Entah siapa yang salah dan siapa yang benar dalam kasus ini. Bagi Hilman, ia tidak merasa bersalah menikah dengan Eva. Namun bagi Redho adalah kesalahan besar.

Orang tua pasti mengharapkan anaknya bahagia. Hanya saja kebahagiaan itu bukan karena paksaan. Melainkan sebuah perasaan yang mendalam yang disebut dengan cinta.

Eva duduk di pangkuan Hilman dan merangkul leher sang suami dengan mesra. Walau keringat masih membanjiri tubuhnya.

"Mas Hilman, aku buatin kopi, yah?" tawar Eva. Ia hendak pergi ke dapur, tetapi ia urungkan karena tangannya ditarik Hilman.

"Tunggu, Sayang! Sini pijitin Mas aja!" pinta Hilman. Dengan pijatan sang isteri tercinta, ia harap akan merilekskan ototnya yang tegang.

Eva memijat pundak Hilman dengan lembut tetapi bertenaga. Lalu bertanya, "Apa kamu sudah ketemu dengan calon isterimu?"

"Sudah, Sayang," jawab Hilman sekenanya. Jelas ia sudah bertemu dengannya. Bahkan pertemuan itu yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

"Ooh bagaimana dia? Apakah cantik? Dia baik? Kuharap aku dan dia, akan menjadi rekan yang baik!" Eva terus memijat Hilman. Semula dari bagian pundak, kini ia turunkan ke bagian punggung.

Dari dalam hati Hilman, ia tahu Eva merasakan sakit di hatinya. Wanita adalah seorang pembohong besar. Seorang wanita, semakin cantik rupanya, maka akan semakin pintar ia berbohong.

Seperti halnya Eva yang bahkan membohongi perasaannya sendiri. Ia bisa saja mengatakan dirinya tidak sakit. Namun siapa sangka, Eva merasakan pedih yang teramat di hatinya.

"Oh ... enak pijatanmu, Eva!" puji Hilman. Ia kini sudah merasa rileks setelah mendapat pijatan dari tangan Eva yang lembut.

Sejenak terfikir di benak Hilman. Jika ia memiliki dua istri, ia harus bersikap adil pada keduanya. Namun ia merasa tidak akan bisa melakukan itu. Rasa cintanya hanya untuk seorang yang bernama Eva. Tidak ada selain dirinya.

"Hmm ... mau dibuka bajumu sekalian?" tawar Eva. Ia tersenyum sambil menggelitiki punggung Hilman.

"Oh ... geli, tau. Bilang aja kalau pengen ...." Hilman membalikan badannya. Ia menangkap tubuh Eva dengan mesranya.

Hilman menatap mata wanitanya dengan pandangan penuh cinta dan kasih sayang. Membuat Eva merasakan itu. Semakin ia pendam, tidak akan bisa.

"Aahh ... kamu nakal!" godanya sambil memukul punggung Hilman.

Hilman memeluk tubuh istrinya lembut. Hilman mengusap rambut Eva yang panjang tergerai itu. Ia sangat menyukai rambut Eva yang panjang. Menyukai bibir ranum Eva. Hilman menyukai pelayanan Eva yang membuat dirinya menginginkan lagi dan lagi.

"Bukannya kamu yang nakal, Hmm?" Ia membawa Eva ke dalam kamar mereka. Kemudian ia menutup pintu dari dalam.

"Mas," panggil Eva kepada Hilman.

"Iya, Sayang?"

"Mandi dulu, gih! Nanti kita lanjutin, hehehe." Eva sebenarnya suka dengan keringat Hilman. Tapi ia tidak mau mengambil resiko. Ia ingin jika mereka berhubungan, mereka dalam keadaan bersih.

"Bagaimana kalau kita mandi bersama? Bukankah ini akan menyenangkan?" ajak Hilman. Namun pria itu terlebih dahulu melepas pakaian istrinya. Menyisakan pakaian dalamnya saja.

"Owh, kamu nakal ...." Eva memukul dada Hilman pelan. Tindakkan itu ia sangat suka dari Hilman. Apalagi membawa dalam kenikmatan yang akan segera terlaksana.

"Tapi suka, kan? Ayo kita mandi!" Hilman mengangkat Eva, membawanya ke kamar mandi. Di bak kamar mandi, Eva dibaringkan dengan pelan.

Eva mengangguk dengan pertanyaan Hilman. Ia suka, sangat suka jika diperlakukan dengan cinta dan penuh kasih sayang.

Hilman memutar kran dan air mengalir membasahi bak mandi yang kering. Tidak lupa Hilman mengambil sabun cair dan memasukannya ke dalam bak mandi. Karena air bercampur dengan sabun cair, timbullah gelembung sabun yang tercipta.

"Buka pakaianmu juga, Mas," pinta Eva. Ia membuka pakaian Hilman. Ia sangat suka melihat badan Hilman yang sempurna sebagai seorang pria.

"Oh, kamu mulai, yah. Ayo aku bukain penutup gunung besar ini," ucap Hilman sambil melepasnya. Tersembulah apa yang ada di balik penutup yang Hilman lepas.

Hilman memandangi bagian dari Eva yang kenyal dan berbentuk seperti pepaya menggantung itu. Bentuknya yang panjang dan keras namun lembut bagaikan candu bagi Hilman.

"Remas, Sayang. Oh, seperti itu. Shhh ..." desah Eva mendesis. Bagaimana tidak terangsang, kalau dirinya saja merasa sangat senang jika bagian itu diremas dengan keras. "Lebih keras, Sayang," pinta Eva.

Hilman menuruti Eva yang memintanya meremas dada Eva dengan keras. Ia bahkan menggunakan lidah dan mulutnya untuk membuat Eva semakin mendesah.

"Ayo, kamu masuk juga ke bak mandi, Sayang," ajak Eva. Ia merangkul leher Hilman dengan mesra. Sesekali ia membasuh tubuhnya dengan air.

"Iya, Sayang ... hari ini aku harus menghukum kamu, Eva. Hoossh ..." desah Hilman.

"Kamu yang seharusnya dihukum, Sayang. Kamu yang nakal padaku. Oh ... ssshhh ...." Eva kembali mendesah nikmat.

Hilman sudah melepas semua pakaiannya. Sekarang keduanya tidak mengenakan apapun lagi. Mereka telah melepas semua yang melekat di tubuh masing-masing.

Terjadilah apa yang seharusnya terjadi. Pasangan suami-istri itu saling membutuhkan. Setelah setengah jam di kamar mandi, mereka kembali ke kamar dan melanjutkan hubungan suami-istri di atas ranjang.

Keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Mereka melakukan itu hingga beberapa jam berlalu. Namun seperti tidak mengenal lelah dan lupa makan yang membuat mereka lapar.

"Sayang ..." lirih Eva memanggil Hilman.

"Iya?" Hilman menengok ke arah Eva. Ia bangun dari tempat tidur, dengan telanjang dada. Nampak urat otot dan tubuh atletis Hilman, yang membuat Eva tidak bisa berpaling.

"Makan, yuk!" ajak Eva.

***