Dua jam kemudian
Kereta kuda pun tiba di depan pagar suatu rumah megah, bergaya kuno, dengan halaman yang sangat luas. Indera penglihatan kusir bisa melihat dengan jelas, bahwa ada beberapa orang yang berjaga di sana. Penjaga yang berdiri di dekat gerbang, melihat bahwa kereta yang membawa tuan dan nyonya yang dikenal, terutama wajah sang kusir, sehingga tanpa segan mulai membuka pagar besar tersebut.
Kereta tersebut pun akhirnya bisa masuk. Sebelum meninggalkan area tersebut, kusir menoleh ke arah para penjaga yang kira-kira ada lima belas orang. Ia merasa bersyukur, meskipun kantuk mendera, akan tetapi sudah sampai di sana dengan selamat.
"Selamat malam Tuan Wront, terima kasih atas bantuannya," ucap sang kusir, kepada salah satu penjaga. Tak lupa, dia menagngguk ke para penjaga yang menunggu di sana dan dibalas pula dengan anggukan.
"Sama-sama, Tuan Zrant . Tuan dan Nyonya Writh sudah tiba rupanya. Silakan masuk," sahut penjaga tersebut, yang posisinya berada di sebelah kanan gerbang.
"Ya, mereka sudah tiba. Terima kasih," balas kusir yang bernama Dresden Zrant.
Ia pun mulai menggerakkan tali kekang kuda, sehingga hewan tersebut mulai bergerak masuk ke halaman rumah. Dresden sudah mengantuk, akan tetapi tetap berusaha menjaga diri untuk tetap sadar. Halaman itu dipenuhi dengan pepohonan, sehingga terkesan berada di dalam hutan, namun tidak semenakutkan keadaan di kediaman Madame Lizhard.
Tristian telah mengetahui, bahwa mereka sudah hampir tiba di kediaman, sehingga yang berpikir sesaat. Pria penyayang keluarga itu tak ingin, istrinya sampai terbangun dan bisa kehilangan keseimbangan jika memaksakan turun seorang diri.
Aku harus menggendong istri, karena tak mungkin membangunkannya. Sejak awal, dia memang tak ingin ikut, namun karena paksaanku, akhirnya bersedia juga datang. Maafkan suamimu ini, Lavena. Seharusnya sudah beristirahat di ranjang yang empuk, malah tertidur di kereta kuda, sesal Tristian, seraya mengusap wajah istri, lalu mengecup keningnya perlahan.
Lavena menggeliat, namun tak terbangun sama sekali. Raut calon ibu itu terlihat tenang dan damai, seakan tak ada yang mengganggu istirahat yang sejak lama dilakukan. Tatapan Tristian kini beralih ke arah perut pasangan hidup tercinta, yang mana di sana ada buah cinta mereka.
Anakku, maafkan Ayah. Aku dan ibumu menyayangimu. Sungguh, untuk membunuh sama sekali tak bisa, karena naluri sebagai orang tua melarang. Ramalan yang disebutkan oleh Madame, memang terkenal di seantero negeri, akan tetapi Ayah tak yakin kalau nanti kau seperti itu, karena masa depan bisa berubah, batin Tristian.
Sepuluh menit kemudian, tibalah kereta kuda itu di sebuah rumah yang megah. Terdapat banyak patung yang ditempatkan di sudut-sudut, termasuk di sisi kanan dan kiri dekat pintu masuk, sehingga menambah kesan artistik di sana. Dresden, sang kusir, pun menghentikan tepat di depan menuju pintu masuk. Ia turun dari tempat semula, kemudian membuka pintu kereta.
Tristian yang melihat hal tersebut, langsung menatap ke arah Dresden, lalu memberi isyarat, agar sedikit memberi jalan. Pria paruh baya itu mengangguk, tanda mengerti. Cahaya di kediaman pria tersebut berasal dari banyaknya obor yang ditempatkan di sekeliling halaman, sehingga keadaan menjadi terang.
Pria berjanggut dan bercambang lebat itu, kini tengah berusaha menggendong perlahan pasangan hidupnya yang tengah mengandung. Gerakan yang dilakukan pun dibuat sehati-hati mungkin, demi menjaga keseimbangan yang ada. Setelah berhasil, sepasang lengan kekar yang dimilikinya langsung menggendong istri tercinta.
Dresden yang melihat hal tersebut, tak mengeluarkan sepatah katapun, karena tak mau ikut campur urusan tuan dan nyonya Writh tanpa diminta. Tristian berjalan perlahan masuk ke arah kediaman megahnya, yang mana pintu utama untuk ke sana sudah dibuka oleh dua orang penjaga. Ia mengucapkan terima kasih kepada mereka, lalu meneruskan langkah, seraya membawa bidadari kesayangan di kedua lengan.
Sambil berjalan, hati Tristian merasa gelisah, karena mau tak mau ucapan di rumah si peramal terasa menusuk kalbu. Ia memang pergi ke sana bukan tanpa alasan. Selain sudah menjadi tradisi, sebagai seorang ayah tentu ingin mengetahui masa depan dari anaknya kelak.
Lavena masih tidur. Kelelahan begitu tampak di wajahnya yang cantik. Terus terang, hati ini masih memikirkan pertemuan dengan Madame. Kami berdua berasal dari keturunan baik-baik, sama-sama bangsawan, dan tak pernah ada keturunan penyihir sama sekali. Kenapa semua ini terjadi pada keluarga kami? Sungguh, memikirkan ini membuat hati menjadi bimbang, apalagi kalau sampai keluarga besar tahu, mereka pasti akan mengutuk anak kami. Tidak, hal ini tentu saja tak bisa dibiarkan, karena biar bagaimanapun dia adalah darah daging kami, batin Tristian.
Pria yang memiliki sepasang mata emerald itu berjalan dengan penuh kehati-hatian, karena tak mau istri yang berada di dalam pelukan, menjadi jatuh. Ia berbelok ke arah timur, kemudian menaiki tangga kayu yang mengilap, tanda selalu dibersihkan dengan baik.
Cahaya obor berada di mana-mana, sehingga meskipun sepi, tetap ada penerangan yang menyinari isi kediaman yang sunyi sepi. Ketika sudah mencapai anak tangga terakhir di lantai dua, Tristian langsung berbelok ke arah kanan, kemudian berhenti di kamar nomor lima.
"Wah, kuncinya ada di saku celana, sedangkan istriku masih tidur. Bagaimana cara mengambilnya, ya? Apa pelan-pelan diturunkan dulu? Let me try first," gumamnya pelan.
Tanpa sengaja, kaki kanan suami Lavena menendang daun pintu, kemudian menyebabkan pintu pun membuka dengan sendirinya. Tristian terkejut, karena akibat sepakan yang tak terlalu kencang, malah membuat pintu kamar menjadi terbuka.
"Aneh sekali. Aku yakin, saat sebelum pergi, sudah mengunci pintu ini. Bahkan, Lavena sudah memeriksanya juga. Anggap saja, ini adalah keberuntungan, karena tak perlu bersusah payah mengambil kunci," ucapnya pelan, penuh rasa syukur.
Pria yang termasuk family man ini langsung membawa Lavena, yang masih berada di dalam gendongan, untuk masuk ke dalam kamar. Sebelum ke arah pembaringan, pria itu menutup pintu dengan ujung kaki kanan, sehingga pintu dapat tertutup. Tak jauh dari pintu, Tristian melepas sepatu yang dipakai, kemudian berjalan menuju ranjang.
Sesampainya di ranjang, tangan kanan nan kekar tersebut, menyibak selimut, lalu meletakkan istri tersayang yang masih tampak tertidur pulas. Tristian melepas sepatu, yang masih melekat di kaki langsung wanita yang tengah hamil tua tersebut. Setelah selesai, mantel yang sedang dikenakan, juga ikut ditanggalkan. Sepasang mata emerald itu, kini menatap Lavena dengan penuh kasih sayang.
Aku harus mengganti semua yang dikenakan oleh istri, supaya dia bisa nyenyak beristirahat. Kasihan dia, telah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan itu semua dilakukan tanpa mengeluh. Terima kasih, Sayang. Aku sangat bahagia memilikimu, pikirnya di dalam hati.
***