"HAPPY NEW YEAR!"
Sorakan keras keluargaku menggema di dalam mobil travel yang sedang kami naiki ini, membuat senyum terukir di bibirku. Seharusnya tadi siang kami sudah sampai hotel, beristirahat, makan, lalu malamnya merayakan tahun baru. Tetapi kemacetan kota Jakarta saat menjelang tahun baru memang tidak bisa dipertanyakan. Yah, itu, juga salah kami. Memutuskan pergi pada tanggal tiga puluh satu Desember bukan merupakan sebuah keputusan yang bagus.
"Selamat tahun baru semua!" Ujar Bibiku, Clara, istri kakak laki-laki pertama Bundaku yang bernama Marvel. Bibi Clara mempunyai dua anak, yang paling tua adalah Haikal, kelas enam, dan Khaizuran, masih empat tahun. Kedua anak itu sering sekali tidak akur; wajar, Khaizuran selalu menjahili kakaknya yang berakhir dengan pertengkaran diantara kakaknya dan dirinya.
"Iyaaa selamat tahun baru!" Sahut Bibi Felice, istri kakak laki-laki kedua Bundaku bernama Jayden. Bibi Felice juga punya dua anak, perempuan dan laki-laki. Laki-laki, si anak pertama, adalah Arion; dia baru menginjak bangku kelas sebelas. Perempuan, si anak kedua, adalah Allea; satu tahun lebih tua dariku. Arion itu seorang pembalap, maka tak jarang ia terluka sehabis pertandingan. Suatu hari, pernah Arion jatuh dari sepeda motor-nya, dan tangannya terpaksa harus dioperasi karena kata Paman Jayden, tulangnya bergeser. Selain tangan, perutnya juga pernah dioperasi. Kalau Allea sendiri, ia cantik dan pintar, walaupun ia tidak lebih tinggi dariku. Aku seringkali insekyur setiap berhadapan dengannya.
Bundaku merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dan hanya Bunda yang berjenis kelamin perempuan. Kakak-kakaknya, Paman Marvel dan Paman Jayden, serta adiknya yang baru-baru ini menikah, Paman Rey, semuanya laki-laki. Oh, apa aku sudah bilang bahwa di bulan ketujuh pernikahan Paman Rey dan Tante Loara, perut Tante Loara sudah berisi? Menurut orang-orang, hamil setelah tujuh bulan menikah adalah waktu yang lama sekali. Walau menurutku tidak, sih.
Aku punya seorang kembaran, bernama Layvla, dan seorang adik, bernama Laella, yang masih menginjak bangku kelas empat sekolah dasar. Aku terkadang iri dengan kembaranku. Ia lebih tinggi dariku, juga lebih kurus. Rambutnya hitam mengkilap, ia sangat pintar, magnet laki-laki disekitarnya, meski dia orang yang agak menjengkelkan; bagiku maupun bagi keluarga kecilku. Mungkin Ayah kami terlalu keras padanya, hingga membuatnya jadi begitu.
"Yon, Rion," bisik Ayahku pada Arion yang duduk disebelahnya. Aku, Layvla, Ayah, serta Arion duduk di kursi paling belakang dengan posisi; Layvla paling kanan sendiri alias kursi jendela, aku disebelahnya, Ayah di sebelah kiriku, serta Arion paling kiri. Paman Marvel dan Haikal duduk di dua kursi depan kami, dan Paman Rey duduk di satu kursi sebelah kiri yang menempel dekat jendela. Bunda dan Laella duduk didepan Paman Marvel dan Haikal, lalu Kakekku, Karl, didepan Paman Rey. Kemudian tiga kursi didepan Bunda dan Laella diisi berurutan oleh; Tante Loara paling kanan, Bibi Clara dengan Khaizuran di pangkuan, dan Nenekku, Rochella atau lebih dikenal Rosie, duduk disebelah Bibi Clara. Paling depan alias kursi supir, Paman Jayden menyupir, disebelahnya ada Kak Allea, lalu Bibi Felice.
Huft, lelah sekali aku mendeskripsikan semua ini.
"Hmm?" Balas Arion malas pada panggilan Ayahku. Ia sedang asyik memandangi pohon-pohon hijau yang warnanya menjadi gelap karena sudah malam. Jalan Tol ternyata tidak begitu banyak membantu selama perjalanan mereka. Harusnya udah sampe kalo lewat jalan pintas, pikirnya. Ya, mau gimana lagi, jalan pintasnya nggak meyakinkan. Jalan pintas yang Arion maksud merupakan jalan pintas yang pernah dilaluinya bersama Papanya, Paman Jayden, saat mereka terlambat menuju area pertandingan. Jalan pintas itu kecil dan melewati hutan-hutan yang seram; waktu itu Paman Jayden dan Arion mengemudikan mobil kecil yang sanggup melewati jalan kecil. Tapi tidak dengan mobil travel ini.
"Bis, bis apa yang kuat?" Tanya Ayahku geli. Mereka memang sering bermain seperti ini, apalagi tadi pagi, Arion melontarkan candaan-candaan yang meramaikan suasana. Malam ini tidak seperti malam kemarin, entah kenapa Arion tidak begitu bersemangat. Mungkin ia kelelahan.
Arion memutar bola matanya. "Basi. Biskuat, om." Ayahku terkikik-kikik mendengae jawabannya. Tidak dihitung berapa kali Ayah mencoba membuat jokes meski akhirnya gagal. Dad jokes, kalau orang bilang.
"Jayden, sampainya kapan?" Tanya Nenek Rosie. Nenek sudah lelah duduk terlalu lama seharian, yang ia ingin lakukan hanya tiduran di ranjang hotel, menutup mata dan menikmati dinginnya AC.
"Mungkin jam 11, Bu, soalnya masih macet ini." Jawab Paman Jayden.
"Masa gabisa sampe lebih cepet?" Komplain Bibi Felice, yang dijawab dengan gelengan Paman Jayden.
"Enggak bisa, Ma, ini macet banget."
Arion, dengan segala kepintarannya, menyahut; "Lewat jalan pintas aja coba Pah."
Paman Jayden melirik Arion lewat kaca ditengah mobil, entahlah apa itu namanya. "Nggak bisa, Yon, mobilnya kegedean."
"Ya dicoba dulu aja," ucap Arion bersikeras. "Lagipula, masa kita harus kejebak di mobil terus, bisa-bisa mati." Gerutunya pelan yang tidak sampai ke telinga Papanya.
"Jalan pintas apa, Om?" Bibi Clara bersuara.
Paman Jayden menarik napas pelan. Dasar Arion, untung anak sendiri. "Dulu aku sama Arion pernah mau telat ke pertandingannya Rion, terus karena jalan tol macet banget, kami lewat jalan pintas yang ada di kampung. Itu masuk hutan, terus nembus ke kampung yang lain. Itu lebih cepet soalnya motong jalan. Tapi waktu itu kami pake mobil kecil, nggak kayak Hiace yang besar ini."
"Kenapa nggak dicoba dulu? Kasian lho, ini, Mbah udah capek." Ujar Paman Marvel.
"Iya, ih, Pah." Sahut Kak Allea.
"Iya, Jay, dicoba dulu aja napa." Paman Rey.
"Jay, dicoba dulu, ya?" Bunda.
"Pa, ayo dicoba dulu." Bibi Felice.
"Iya om Jayden, biar lebih seru." Haikal.
Dan seruan-seruan yang sejenis pun di sorakkan.
Paman Jayden, menghela napas berat, akhirnya mengiyakan. "Yaudah."
______________
"Kita dimana?"
"Kita nggak kesesat kan, Jay?"
"Jay jangan bilang kamu nggak tau jalannya."
"Jay."
"Jay?"
"Jay!"
"AAHHH SEBENTAR COBA!" Sentak Paman Jayden.
Mampus, kesasar. Aku menelan ludah.
"Jay, gimana ini?" Tanya Paman Marvel gelisah.
"Aku iki yo jek mikir, sek!" Aku ini ya lagi mikir, sebentar! Keluarlah logat jawanya. Biasanya, kalau sudah begini, Paman Jayden sudah marah.
Semua terdiam, tidak ada yang berani bersuara. Paman Jayden memberhentikan mobilnya, takut jika semakin jauh kami berkelana, semakin kami akan susah menemukan jalur utama. Ide jalan pintas ternyata adalah ide yang buruk.
Aku menengok ke jendela, hutan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi, tidak seperti biasanya. Auranya pun membawa aura yang mistis serta magis, maka benar sekali meme-meme yang berkata bahwa saat kau ada di hutan, genre yang tersedia hanyalah; supernatural, horor, mistis, aksi, hentai, ecchi- aduh, aku kelepasan.
Aku seperti pernah melihat pohon-pohon macam ini, namun aku lupa dimana.
Andai aja kesasar di Middle-earth, pasti enak. Pikirku sembarangan.
"Ai, Yvla," panggilku pada kembaranku. Namun rupanya ia tertidur. Berdecak, aku mengalihkan pandanganku pada Bibi Felice dan Paman Jayden yang sedang bertengkar. Aku melirik ke Arion, anak mereka yang menyugestikan ide ini. Herannya, Arion malah bermain game seolah ingin menghindari untuk disalahkan.
Lalu, suara benda tajam menancap kaca belakangku tiba-tiba terdengar. Pertengkaran Bibi Felice dan Paman Jayden seketika berhenti, omelan Nenek Rosie menguap, serta suara game dari ponsel Arion menghilang. Aku menoleh kebelakang dengan hati-hati, diikuti Ayahku dan juga Arion.
Panah.
Demi Tuhan, yang menancap itu anak panah! Sekarang bukan menancap lagi, justru menembus meski hanya ujungnya saja yang masuk! Astaga, apa kami ada di belantara? Apa kami memasuki daerah terlarang? Apa mereka suku-suku yang diceritakan para mitos-
"Kenapa mereka pake baju ungu?" Ucap Arion penasaran.
Aku mendelik. "Mana ada suku pedalaman yang pake baju ungu. Ngaco kamu, Mas."
"Nggak, Rion bener. Itu lho, Ra." Tunjuk Ayah pada kerumunan di kejauhan yajg kini semakin mendekat.
Aku memicingkan mataku. Mereka bener. Tapi, tunggu, aku seperti pernah melihatnya. Mereka bukan memakai baju ungu, namun mantel mereka yang ungu. Seperti mantel yang ada sarung untuk kepalanya. Ah, lagi-lagi, namanya apa, sih?!
Sebentar, bukan ungu.
Abu-abu.
"Get out. Or we will kill you."
Bahasa Inggris, hah? Aku kebingungan, demi Eru!
Suara lantang itu terdengar di paling depan, dimana seseorang menodongkan anak panah pada Paman Jayden lewat kaca depan. Kaca mobil ini memang kuat, tapi aku tidak berpikir hal itu mampu menahan serangan jarak dekat. Aku tidak bisa melihat siapa yang menodongkannya, karena lampu mobil sudah dimatikan oleh Paman Jayden.
"Siapa, Jay?" Tanya Nenek Rosie. Nenek sepertinya gemetar bukan main, dilihat dari suaranya.
"Bukan siapa-siapa, Bu." Ujar Paman Jayden berusaha menenangkan Nenek. Paman Jayden tentu mengerti artinya, juga Ayahku yang tampaknya kini sedang berpikir. Aku bertukar pandang dengan Ayah, dan aku tahu kalau Ayah menyuruhku membangunkan Layvla. Maka aku melakukannya; aku menggoncang-goncang tubuh Layvla seperti orang kesurupan.
"Ai, Yvla, bangun! Kuso! Pen-channas! Bangun!" Umpatku pada Layvla yang tak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Suaraku sepertinya cukup keras, sehingga orang yang menodongkan anak panah itu melesatkannya sehingga menatap kaca depan mobil, menimbulkan retakan. Paman Jayden beristighfar.
"Say it once more and you'll die."
Aku menegang seketika. Apa--apa dia tahu aku mengucapkan idiot? Tidak, tidak mungkin. Berusaha menepis pikiran itu, aku mencubit tangan Layvla dengan sekuat tenaga hingga gadis malas itu terbangun. Ia mengucek mata, mengusap-usap bagian yang kucubit, dan melotot kepadaku; "Apaan, sih-"
"Ssst!" Aku meletakkan telunjukku di mulutku. Ia hendak berargumen, tapi menyadari ada yang tidak beres, ia terdiam.
"I wasn't even saying anything!" Bantah Paman Jayden dengan aksennya yang fasih.
"Yes, you did. Or someone, did. Do not call me idiot." Perintahnya tegas.
Tidak.
Tidak mungkin.
Dia tahu arti pen-channas?
Jangan-jangan--
Oke. Setidaknya aku harus mencobanya.
"Pedil edhellen?" Sorakku sekeras mungkin yang disambut dengan tatapan tajam dari Ayah. Tatapannya mengatakan; kamu itu ngapain?! Dan aku menggeleng, tersenyum.
"I should be the one asking you! How do you know our languange?"
Our language.
Our.
Our.
Aku meneguk ludah. "Mi van 'wen?" Demi Eru, semoga prononsasiku benar!
"Lothlórien. Ma tôg?" Anjir, ah, mampus gua.
Be-bentar.
Hah?
Lothlórien?
Apa telingaku sakit?
Apa kupingku bermasalah?
HAH?!
"Ra, kamu ngomong apa?"
"Ra, kamu kok tau?"
"Ra."
"Ra!"
"BISA TUNGGU SEBENTAR NGGAK?" Aku berteriak keras, membuat mereka semua terdiam, termasuk Ayahku.
"Ma tôg?" Orang itu bertanya sekali lagi.
"LAW ISTON!" Sahutku. Astaga, gila! Ini hanya mimpi, 'kan? Tidak mungkin kami berada di Middle-earth! Ahg! Kepalaku!
"How can you not know?" Balasnya.
"Because, we, humans, or your kin called Edain--do not have a leader! We do not have one!" Ayah bertukar pandang lagi denganku. Kami mempunyai pikiran yang sama, ternyata. "Goheno nin, pedathanc hi sui vellyn?"
"Baw, what are you doing here?"
Anjir ah ditolak.
"May I come out? But please don't shoot me." Ayah yang mengerti artinya, melotot kepadaku. Aku tersenyum kecil, meyakinkan semuanya akan baik-baik saja.
Hening lama.
"You may come."
Dengan jantung yang rasanya akan melompat keluar, aku berjalan keluar dari mobil diikuti pandangan-pandangan tak setuju dari keluargaku. Aku, yang berumur tiga belas tahun, akan menghadapi seseorang yang menodongkan panahnya ke arah kami?
Aku menggeser pintu mobil hingga terbuka, lalu aku menutupnya secepat mungkin agar tidak ada salah satu dari keluargaku yang mengikutiku. Aku merinding seketika merasakan hawa dingin hutan ini.
Aku berbalik, hanya untuk mendapati sebuah anak panah diarahkan ke kepalaku.
Tunggu. Wajahnya. Wajahnya nggak asing.
"Iston i nîf lîn, hîr vuin." Aku menatapnya menantang. Dia sangat tinggi. Ellon ini, sangat tinggi. Aku bahkan hanya mencapai dadanya. "You promise me not to shoot me."
"Yes, I did, but I don't promise you that I will not point this arrow to your head." Matanya memicing. "Of course I'm familiar. Don't you know me?"
"No, hîr vuin. Or if I may say, yes." Dia terbingung dengan ucapanku. Yap. Sekarang aku tahu dia siapa. "You're Haldir, the marchwarden of Lothlórien."
Bibirnya tertarik ke samping. "And you are?"
"Laura, just a normal kid from--Gondor." Huft, hampir saja aku keceplosan Semarang.
"And what is this strange thing?" Haldir menurunkan panahnya, mengetuk kaca jendela dibelakangku, membuat Kakek Karl beristighfar karena kaget. "This is not from Gondor."
"Yes, but it is not necessary to tell you. Now, can you release us?" Gila, bisa-bisanya aku to the point. Padahal aku selalu memutar-mutar topik!
Haldir tersenyum miring. "No. We'll go to Caras Galadhon."
Asem tenan nasibku.
_______
Terjemahan:
Pen-channas = idiot
Pedil edhellen? = (formal) apa kamu berbicara bahasa elf?
Mi van 'wen? = dimana kita?
Ma tôg = siapa pemimpinnya?
Law iston = aku tidak tahu
Goheno nin = maafkan aku
Pedathanc hi sui vellyn = bisa kita berbicara sebagai teman sekarang?
Baw = tidak
Iston i nîf lîn = (formal) aku tahu wajahmu
Ellon = elf laki-laki
Hîr vuin = my lord/tuanku
Asem tenan = asam sekali