Chereads / Courage of the Stars / Chapter 2 - Aneh

Chapter 2 - Aneh

"Ra, kita kok jalan?"

"Ra, kita mau kemana?"

"Ra, kenapa mereka ngikutin kita?"

"Lala, kita mawu kemwana?" Ujar Khaizuran yang digendong Bibi Clara.

Aku terdiam, enggan menjawab. Ayahku tahu aku tidak mungkin melakukan hal bodoh, jadi ia hanya diam, memperhatikan sekitar, sekaligus menggandeng Laella. Bunda memegang erat tangan Layvla, sedang aku sendiri, berjalan disampimg Haldir.

Haldir memutuskan bahwa akulah pemimpinnya diantara keluargaku, karena hanya aku yang fasih berbicara bahasa Sindarin. Maka, disinilah aku, dengan sangat enggan memegang sadel kuda yang dinaikinya. Sungguh tidak sopan--Haldir. Kami seperti tawanan yang akan disidang.

Lalu, cahaya lentera perlahan memasuki penglihatanku. Warnanya keemasan halus, dan aku merasa hatiku mendadak tersentuh karenanya. Karena kota yang selama kuimpikan--setelah the Elvenking's Halls, tentunya--ada di depan mataku, terpampang jelas dan nyata, bukan hanya khayalan saja. Aku hampir menangis, jadi aku menutup mulutku serta berusaha menahan air mata.

Saat kami sampai di pintu masuk--entahlah, sepertinya daerah kami tersasar tadi adalah hutan Mirkwood yang berarti dekat Dol Guldur--Haldir menyuruh kami menaiki sampan sementara dia dan pasukannya berada paling depan. Aku menoleh ke belakang dimana keluargaku berada; ya, mereka tercengang, sama sepertiku, tapi tetap saja tempat ini adalah tempat yang asing bagi mereka. Mereka pasti bertanya-tanya, buat apa naik kapal? Namun setelah melihat bahwa jalan normal satu-satunya yang dapat kami lalui hanyalah sungai, mereka langsung paham.

Sungai Anduin, sungai terbesar di Middle-earth yang alirannya bahkan sampai ke kota Gondor. Aku selalu menyukai sungai ini, selain karena besar, kecantikan sungai ini tersebar kemana-mana.

"Ra," panggil Ayahku, yang tentu saja se-sampan denganku. Aku menengok, menaikkan satu alisku. Ayah berdeham, tampaknya ia akan mengatakan sesuatu. Posisiku sekarang ada di bagian depan, Ayah dibelakangku bersama Laella, lalu Bunda dengan Layvla. Tidak sepertiku yang bersemangat, Layvla terlihat mengantuk. "Kita, mau kemana?"

"Caras Galadhon, yah," Aku menjawab, agak enggan. "Ayah pernah nonton LOTR 'kan? Pasti tau waktu Frodo sama the Fellowship kesini..." Aku merendahkan suaraku. Tunggu, aku belum tahu ini tahun berapa. Tapi menurutku ini belum menginjak tahun 3018 Zaman Ketiga, secara... secara belum ada tanda-tanda kegelapan yang menyengat.

"Iya, tapi Ayah-"

"Get down." Suara tegas Haldir mengejutkanku. Aku mendelik, dan menemukan bahwa kami sudah sampai di Caras Galadhon. Aku mendengus dengan malas, lalu membantu keluarga kecilku untuk turun dari sampan dengan giliranku yang terakhir. Secara tidak diduga, Haldir memegangi punggungku agar tidak terpeleset. Dia masih punya rasa kasihan?

Setelah aku turun, aku menunggu agar keluargaku yang lain tidak tertinggal. Aku berjalan di belakang mereka, mengawasi, agar tidak ada yang kabur dari barisan. Seenggaknya mereka harus aman. Pikirku. Kalo aku, mati pun nggak papa dah.

"Why don't you walk in the front line?" Haldir bertanya, membuatku bertanya-tanya ternyata ellon ini masih bisa berbasa-basi.

"I need to take care of my family." Jawabku pelan, namun bersungguh-sungguh. Memang, aku sangat-sangat menyayangi keluargaku. Tak peduli se-absurd apapun mereka, se-gila apapun mereka, se-amburadul apapun mereka, mereka masih keluargaku. Ya, meski terkadang, Kakekku, Karl, terlalu banyak berceloteh, juga sepupuku, Haikal, terlalu aktif. Aku masih sayang pada mereka.

Haldir menarik sudut bibirnya. "Kau masih kecil, seharusnya Ayahmu yang menjaga mereka."

"Excuse me, hîr vuin. I am thirteen years old." Ya, aku akui, aku memang masih kecil. Tapi apa itu akan menghentikanku untuk menjaga keluargaku? Dan omong-omong, aku cukup tinggi untuk anak seumuranku. Seratus lima puluh tujuh sentimeter, sedangkan Layvla lebih tinggi dua senti dariku.

Haldir mengangkat sebelah alisnya. "Thirteen years old is still a kid, you said it yourself." Aku memutar bola mata; dia benar dan aku kesal karena itu.

"Terserah." Ucapku final, meninggalkan kami dalam keheningan.

Aku baru teringat sesuatu. Lady Galadriel dan Lord Celeborn ada disini, apa itu berarti kami sekeluarga akan berhadapan dengan mereka? Apa karena itu, Haldir membawa paksa kami ke Caras Galadhon?

"Jangan kebanyakan melamun." Tegur Haldir, lagi-lagi aku berjengit kaget. Kenapa sih Haldir suka sekali membuatku kaget?

Aku berdecak. "Bukan urusanmu."

"Itu urusanku saat menyangkut tentang tahanan." Kata Haldir sok. Ah, tolonglah, dia hanya seorang Silvan! Mengapa ia bisa sombong sekali? Dan juga-apa, tahanan? Matamu picek!

"Kami, bukan tahanan. Jaga mulutmu, marchwarden," Aku menatap tajam kepadanya. "Oh, and, you're just a silvan, hîr vuin. Kau bukan Legolas." Sepertinya, keputusanku untuk mengucapkan hal ini adalah salah besar. Karena selanjutnya, aku mendapati diriku terjatuh ke tanah-didorong oleh tekanan yang sangat kuat, kemudian sebuah anak panah diarahkan ke leherku. Saking terkejutnya, aku sampai tidak menyadari bahwa Bunda, Layvla, serta wanita-wanita yang lain berteriak kencang, Ayahku membeku, Kakek Karl seketika sempoyongan. Hanya Paman-Pamanku yang masih stabil, meski aku tahu mereka juga gemetar.

Apa aku gemetar? Ya, sedikit. Apa aku takut? Tidak, aku lebih takut dengan fakta bahwa jika panah ini benar-benar melesat ke leherku, siapa yang akan menjaga keluargaku? Daerah ini asing bagi mereka. Walau aku pernah merecoki Layvla dengan topik-topik LOTR, dia tidak se-ahli aku. Siapa yang akan menjaga mereka jika aku mati?

Wajah Haldir memerah menahan amarah, tangannya gemetar seolah akan melepaskan anak panahnya. Ia berlutut di satu kaki, mempermudah posisinya untuk menembakku kapan saja.

"Now, now, Haldir, that wasn't a very good way to welcome the guests, was that?"

Suara melodis seperti lagu itu menyambut kami, sekaligus memperingatkan Haldir. Suaranya halus sehalus sutra, namun juga mengandung peringatan yang tidak main-main. Aku baru sadar suara itu milik Lady Galadriel saat Haldir gelagapan bangkit dari posisinya, menyarungkan anak panahnya kembali, serta membungkuk dalam-dalam kepada elleth berambut emas itu. Sedangkan aku sendiri, masih terbaring kaku, berusaha mencerna semua yang terjadi.

"Goheno nin, hiril vuin, tapi dia duluan yang-" ucapan Haldir dipotong oleh Lady Galadriel ketika ia berlutut dihadapanku, membantuku duduk, mengusap rambutku, dan tersenyum.

Astaga, dia... cantik banget.

"Haldir, diam. Seorang gadis muda seperti Laura tidak akan mungkin melakukan sesuatu yang membuat ellon dewasa sepertimu mengarahkan anak panah kepadanya. Terlebih, kau sudah melakukannya dua kali." Lady Galadriel berdiri, hingga secara otomatis aku berdiri juga. Lupa aku belum memberikan penghormatan, aku meletakkan tangan kananku ke depan perutku, lalu membungkuk. Lady Galadriel tertawa kecil; ia mengusap rambutku sekali lagi.

Ellon berambut perak itu tidak berucap apapun. Tahu jika ia melontarkan kata-kata lagi, Lady Galadriel tidak akan segan-segan menghukumnya. Aku tersenyum menang kearah Haldir, sementara ellon itu hanya mendengus dan melengos.

"Laura, anakku, maafkan perlakuan kami yang memperlakukan kalian seperti tahanan. Haldir dan warden lainnya memang sangat menjaga daerah ini, terutama dari kaum yang tidak dikenal asalnya," Lady Galadriel berhenti sebentar; aku menelan ludah gugup. Apa Galadriel udah tau kalo kami bukan dari Middle-earth? "Kalian pasti kelelahan dan kelaparan. Beristirahatlah sebentar, lalu datang untuk makan malam. Pelayan kami akan mempersiapkan semuanya, tenang saja." Lady Galadriel berbalik arah menuju pasangannya, Lord Celeborn, yang ternyata sudah berdiri di belakang untuk mengawasi semuanya. Mereka terlihat berbincang dengan serius, kemudian Lord Celeborn menatapku--tunggu, dia, mendengus? Apa dia tidak menginginkan kehadiran kami? Ah, ya iyalah, kami kan orang asing!

Sadar dengan situasi yang semakin memanas, aku berusaha menginterupsi. "Emm, Lady Galadriel," panggilku agak lantang. Lady Galadriel berhenti dari percakapannya; ia menoleh kearahku, tersenyum.

"Yes, my child?"

"Jika kami tidak diterima disini, tidak apa-apa, kami akan--"

"Hush, no, iellig, tentu saja kalian diterima disini. Le nathlof hî." Lord Celeborn tampak seperti ingin membantah istrinya, namun Lady Galadriel tidak menerima penolakan. "Pelayan, bisa antarkan tamu-tamu kita menuju tempat istirahat mereka? Aku yakin mereka pasti kelelahan. Na lû e-govaded 'wîn."

Aku mengangguk. "Hannon allen, hiril vuin. I faer nîn linna nan glass." Lady Galadriel tersenyum mendengar ucapanku, dan kami dibawa pergi oleh para pelayan.

Ya, benar, jujur, tubuhku remuk. Tapi keluargaku semuanya harus beristirahat dulu sebelum diriku, agar aku dapat memastikan kesehatan mereka. Setelah keempat anggota keluarga kecilku tepar di talan--seperti kamar-kamar yang berada di rumah pohon--karena menaiki tangga terlalu banyak, aku mengecek beberapa kamar selanjutnya yang terisi keluargaku yang lainnya. Mereka semua tertidur nyenyak.

Aku tersenyum kecil, beranjak menuju tangga yang lebih tinggi dari talan-talan ini dan menemukan diriku disebuah balkon umum terbuka; menampakkan keindahan bulan yang bersinar terang. Tanggal satu Januari, bulan purnama? Aku mengernyit. Bukannya harusnya tengah bulan? Aku menggelengkan kepalaku, memilih menghempaskan pikiran-pikiran rumit itu, dan menikmati angin semilir yang sepoi-sepoi menerbangkan rambutku. Karena di Lothlórien tidak ada hal-hal semacam tempat untuk bersandar--seperti sandaran balkon, aku duduk di jalan yang lebar itu. Menghalangi jalan, sih, tapi siapa yang akan naik setinggi ini pada malam hari? Aku bergidik membayangkan ketinggian dibawahku. Kalau aku jatuh, aku bisa patah tulang. Parahnya, aku bisa mati. Ah, kuso! Umpatku dalam hati.

Aku berpikir apakah ini masih sebuah mimpi. Karena kalau iya, aku bersyukur sekaligus kecewa. Bersyukur karena keluargaku tidak perlu menghadapi kekacauan Middle-earth, kecewa karena ini tidak nyata. Sejak dulu, aku memang selalu ingin kabur dari realita; bahwa aku anak menyedihkan, kembaran yang tidak diharapkan, perempuan paling bodoh, juga tidak ada yang pernah menyukaiku. Iya, aku tahu, masih terlalu kecil memikirkan semua itu; tapi, hey, siapa bilang anak kecil tidak bisa depresi seperti halnya orangtua? Aku pernah meminta Arion untuk menemaniku ke psikiater, dan dia tidak bertanya apapun, hanya mengangguk--kemudian melajukan motornya dalam diam. Psikiater berkata bahwa... ya, aku memang depresi; dan ini bukan candaan, aku serius. Sejak saat itu aku selalu menyembunyikan masalahku dari keluargaku, tidak berkata apapun.

Psikiater bertanya padaku; apa aku masih menyimpan sebuah luka, apa aku masih tidak mau melepaskan luka itu, dan memilih menyakiti diri sendiri. Aku menjawab ya, karena ia benar. Kematian ibu pengasuhku merupakan pukulan yang sangat berat bagiku, terlebih karena Ibu sudah seperti ibu kedua untukku setelah Bunda, juga, karena... karena aku tidak disamping Ibu disaat ia sekarat. Bodohnya, waktu itu aku malah bersenang-senang dengan orang yang kusukai, yang sekarang juga sudah meninggal karena bunuh diri. Dua orang yang kusayangi meninggalkanku... untuk selamanya. Ibu pergi sebelum aku naik kelas dua sekolah menengah pertama, sedangkan orang yang kusukai itu, meninggal setelah ia lulus--ia berbeda dua tahun dariku. Mereka sudah pergi, dan aku tidak akan pernah bisa melihat mereka lagi.

Ah, udahlah, aku jadi nyalahin diri sendiri terus, kan.

"Aku tidak tahu kau bisa menangis." Ejek seseorang dari belakangku. Tunggu, apa, aku--menangis? Aku segera mengusapnya, dan berbalik ke arah suara.

Sudah kuduga. Si menyebalkan Haldir.

"Bukan urusanmu." Ucapku acuh tak acuh, kembali menatap langit malam. Aku memejamkan mata; wajah Ibu dan Michael terbayang-bayang lagi. Tidak kuat menahan, aku akhirnya melepaskan air mataku. Tak peduli ada Haldir yang kini duduk disebelahku, aku memeluk kedua lututku erat-erat dan menenggelamkan kepalaku di dalamnya, menangis sekerasnya tanpa suara.

Michael, Ibu, Laura kangen kalian. Ibu, Laura minta maaf nggak bisa nemenin Ibu. Michael, kenapa kamu nggak bisa bertahan buat sebentar lagi? Aku selalu ada buat kamu, Michael. Kenapa kamu selalu nyembunyiin semua masalahmu? Michael, Ibu, Laura kangen kalian. Michael, Ibu, Laura bisa gabung sama kalian aja, nggak? Laura udah capek, Bu, Laura capek, Mike. Laura nggak tahan lagi. Laura pengen nyerah aja, sama kayak kamu, Mike. Tapi, kalo Laura mati, siapa yang jaga keluarga Laura? Laura nggak tau harus gimana lagi. Laura capek. Laura pengen nyusul kalian, Bu, Mike. Laura pengen mati aja. Dunia enggak enak, enggak akan pernah enak. Lagipula, tempat apa yang Laura punya diantara keluarga Laura? Cuma penjaga mereka. Mereka masih bisa jaga diri mereka sendiri, 'kan? Laura nggak punya tanggung jawab, 'kan? Ibu, Michael, Laura kangen banget... Laura mati aja, boleh, ya?

"Don't," Ujar sebuah suara. Aku mendongak, menatap Haldir kebingungan. Alis ellon itu mengernyit saat menatap mataku yang sembap, masih meneteskan air mata. "Don't die." A-apa? Apa dia bisa membaca pikiranku? "You deserve to live without carrying all your pain alone." Setelah mengatakannya, ia beranjak pergi. Meninggalkanku yang masih bertanya-tanya,

Darimana ia tahu apa yang kupikirkan?

______

Terjemahan :

Sindarin

Hîr vuin = tuanku/my lord

Elleth = elf perempuan

Goheno nin = maafkan aku

Hirik vuin = my lady

Ellon = elf laki-laki

Iellig = putriku

Le nathlof hî = (formal) kami menyambut kalian disini

Na lû e-govaded 'wîn = (formal) sampai bertemu lagi

Hanon allen = (formal) terima kasih

I faer nîn linna nan glass = terima kasih dari hatiku

Talan = kamar/kabin/rumah pohon

Japanese

Kuso = sial