Malam sudah berganti pagi, cahaya matahari masuk ke dalam kamar rawat Fareszha, membuat gadis itu sedikit menggeliat seraya merasakan hangatnya sinar matahari itu. Tunggu dulu? Ia menyadari sesuatu sekarang, ranjang yang ia gunakan untuk tidur sedikit berbeda, ranjang ini terasa kecil, sedangkan ranjang yang ada di kamarnya itu berukuran besar. "Rumah sakit?" Tanya Reszha, sembari membuka kedua bola matanya secara perlahan. Ia menoleh kearah kiri, dan kini ia melihat ada tubuh yang sedang tertidur di atas sofa, seorang pria menggunakan sarung, dengan sajadah yang masih ia genggam ditangan. "Tu–tuan Nicho?" Ujar Reszha, sembari menatap wajah pria itu yang masih terlelap. Haish, Reszha tidak tahu saja jika Nicho semalam shalat tahajud dan ia baru tidur setelah shalat subuh, pria itu memohon ampunan karena sudah menghajar Mike secara membabi buta tadi malam. "Kau sudah bangun?" Tanya Nicho, dengan suara serak khas orang yang bangun tidur. Reszha mengalihkan pandangannya kearah lain, jangan sampai Nicho tahu jika Reszha menatapnya dengan penuh kekaguman, walau di dalam hatinya tidak mencerminkan hal itu.
Nicho kemudian bangkit dari posisinya, ia mengubahnya menjadi posisi duduk, dan Nicho menaruh sajadah yang ia genggam di pinggiran sofa. "Jika butuh sesuatu katakan saja. Dokter bilang kau harus di rawat selama tiga hari disini, sampai luka–luka mu pulih." Ucap Nicho, yang membuat Reszha sadar akan sesuatu. Kemarin malam kan ia melukai dirinya lagi, dan itu lebih parah. Reszha benar–benar merasa hina, dan trauma masa kecilnya akan pria kembali lagi, gadis itu bahkan masih tidak bisa menerima kejadian malam itu, sudah tiga kali ia mengalami pelecehan seperti ini, walau bukan pelecehan yang merenggut kesuciannya, atau membuat tubuhnya ternoda. Namun, tetap saja yang namanya pelecehan adalah pelecehan, dan itu tidak bisa dijelaskan secara lisan maupun tulisan di depan umum. "Aku bisa sendiri." Ucap Reszha, ketika Nicho membantu untuk bangun. Nicho mengerti, Reszha masih takut akan pria, mangkanya semalam ia meminta dokternya adalah seorang wanita, dan perawat yang menunggunya juga harus lah seorang wanita. Hanya saja, karena tidak ada orang lain yang bisa menunggu Reszha di rumah sakit, jadi terpaksa Nicho lah yang harus menunggunya. "Aku sudah mengirimkan surat izin, sekaligus mengkonfirmasi jika wali mu sudah berubah." Tutur Nicho, sembari mengupas satu buah apel untuk Reszha makan.
Reszha hanya mengangguk kecil, dengan pandangannya yang terus menatap kebawah. Gadis ini masih belum berani melihat siapapun yang ada disekitarnya? Padahal Nicho tidak akan melakukan apapun ketika ia dalam keadaan sakit, toh Nicho juga tidak mengejeknya, malah sekarang pria itu sedang mengurus kasus Reszha, agar pelaku pelecehannya bisa mendekam di dalam penjara. "Terimakasih, tuan." Ucap Reszha, seraya mengambil apel yang Nicho berikan padanya. Nicho menggidikkan bahunya, ia mengambil satu buah apel lagi, kali ini bukan untuk Reszha, tentunya itu untuk dirinya sendiri. "Jangan berpikir apapun tentang hal ini, aku hanya kasihan pada mu, seorang yatim piatu yang tak terurus." Kalimat yang menusuk hati, siapa lagi jika bukan Nicho yang mengungkapkannya? Kalian berharap apa pada pria ini? Benar–benar berubah 180 derajat? Mimpi. Reszha sudah tahu, jika Nicho tidak mungkin akan berubah begitu saja, gadis itu tahu benar seberapa jahatnya Nicho, dan hal itu juga yang membuat Reszha menutup diri untuk mengingat semua kebaikan yang Nicho berikan padanya. "Aku mengerti, terimakasih." Balas Reszha, dengan seutas senyumnya yang kecut.
Apakah benar–benar tidak ada rasa belas kasih yang tulus dari seorang Nicho pada Reszha? Setidaknya, jangan buat ia sakit hati dalam kondisi yang sedang tidak baik, apakah ia bisa melakukan itu? Jawabannya tidak. Peran antagonis, akan tetap menjadi peran antagonis, dan Reszha juga tahu akan hal itu. "Hari ini, kau akan terus awasi. Jangan berbuat apapun yang mengancam uang waris jatuh ke tangan ku, mengerti?" Ah iya, Reszha hampir lupa fakta yang satu ini, fakta dimana Nicho mau melakukan semua ini hanya demi uang, uang yang bisa membuatnya bertahan hidup selama puluhan, bahkan mungkin akan bertahan sampai keturunannya yang ke delapan, bukan ketujuh. "Aku mengerti, kau tenang saja. Jika kau tidak mau mengurus ku, bunuh saja aku." Balas Reszha. Nicho menatap tajam Fareszha, apa yang gadis itu katakan? Apa ia pikir karena sebenci itu Nicho padanya, pria itu mau membunuhnya? "Aku tidak mau tangan ku ternodai oleh darah kotor mu itu." Katanya, dan Reszha membalasnya dengan smirk khas. "Orang kotor kan memang pantas mendapatkan hal yang kotor." Ujar gadis pelan, sembari tertawa kecil. Sial, Nicho tidak mendengar apa yang Reszha katakan barusan.
"Ku dengar, kau akan melanjutkan sekolah mu di Australia?" Tanya Nicho secara tiba–tiba, dan Reszha membalasnya dengan anggukan kecil. Entah kenapa, sekarang hati Nicho seolah menolak Reszha untuk pergi, hal ini disebabkan oleh rasa benci Nicho, dan keinginan untuk menyakiti Reszha dengan tangannya sendiri yang mulai meningkat. Tapi terkadang, ketika Nicho berbuat jahat pada gadis itu, hatinya juga ikut terasa sakit, sama persis seperti kejadian semalam, ketika ia melihat Reszha yang meringkuk sembari menangis kecil, dan itu mengingatkan dirinya pada kejadian 7 tahun lalu, ketika Ema masih hidup, dan Reszha masih kecil. "Akun sudah mendaftar, dan nanti aku akan langsung pergi ke Australia." Jawab Reszha, masih dengan pandangan yang menatap ke bawah. Nicho kembali berpikir, jika ia menahan Reszha, maka rasa ingin melukai gadis itu akan semakin besar, padahal Nicho sudah berusaha menghilangkan rasa benci itu, dan ia ingin bersikap masa bodoh pada Fareszha. Tapi kenapa, itu rasanya sangat sulit untuk ia lakukan? "Keputusan mu untuk pergi atau tidak itu ditangan ku, jangan coba–coba untuk pergi tanpa seizinku." Ucap Nicho dengan nada menekannya, membuat bulu kuduk Reszha terbangun. Sial, sekarang gadis ini harus benar–benar mencari cara untuk kabur dari sisi Nicho.
****
Reszha menurunkan sebelah kakinya, ia ingin keluar, seharian di atas ranjang rumah sakit rasanya sangat membosankan. Tapi ia tidak bisa melakukan apapun, tubuhnya terasa lemah, dan tangannya juga sangat perih untuk Reszha gerakan. Ya bayangkan saja, gadis itu mengukir lima gores luka yang cukup dalam di tangannya, dan tak lupa satu goresan ada di pipi sebelah kirinya. Memangnya se dalam luka yang Reszha buat? Entahlah yang pasti setiap luka itu mendapatkan lima jahitan agar bisa tertutup. Untung saja Tuhan masih memberikan Reszha keselamatan, coba bayangkan jika Tuhan mengambil nyawanya begitu saja? Dan Reszha akan menjawab, 'aku meninggal karena selfharm' ketika malaikat menanyainya di alam kubur nanti. "Ya Allah, cara biar aku gak ngelakuin ini terus gimana? Apa kurang shalat aku setiap hari? Atau akunya yang kelakuan udah kayak setan?" Lirihnya, sembari menghela nafas berat. Untung tidak ada yang mendengarnya, jika ada yang mendengarkan dirimu, mungkin semua orang akan tertawa. 'Ceklek' mendengar pintu terbuka, Reszha menoleh kearah belakang, dan melihat Ardian dengan senyum ramahnya masuk ke dalam kamar Reszha. Reszha membalas senyuman Ardian, dan mengembalikan pandangannya keposisi semula, tak lupa, ia kembali menundukkan kepalanya.
"Jangan begitu, ini aku. Kau kan tahu jika aku tidak akan melakukan apapun pada mu." Ucap Ardian, sembari menaruh sekantong roti di nakas. Reszha hanya tersenyum, sembari menggeleng kecil ia mengambil roti yang Ardian berikan. Lihat, jangankan Nicho, menatap Ardian saja ia tidak berani, apalagi berbicara oanjangy lebar padanya. "Aku paham, sekarang aku pamit untuk pergi lagi ya? Nicho juga sudah berada di bawah." Lanjut Ardian lagi, yang Reszha balas dengan anggukan. Namun sebelum Ardian pergi, Reszha terlebih dahulu meninggalkan pesan untuknya. "Tolong percepat proses keberangkatan ku ke Australia."
~~~~