"Ah, sial. Mata gue jadi merah gara-gara kebanyakan nangis tadi," gumam Rian. Ia kini berada di UKS sambil melihat wajahnya di cermin. Terlihat sangat kusut.
"Ck. Bisa-bisanya gue nangis kayak gitu tadi," gumamnya lagi ketika mengingat ia yang menangis di pelukan Raina. Setelah mengingatnya lagi, ia kini merasa agak malu.
Setelah tadi menangis cukup lama, Raina menyarankan Rian untuk beristirahat dan menenangkan dirinya di UKS untuk sementara. Rian pun menurut saja. Ia juga sudah mengirim pesan pada Aurel, sekedar memberi info tentang ia yang tak bisa mengikuti pembelajaran karena berada di UKS.
Rian mengeluarkan surat Arga dari saku seragamnya dan menatapnya lamat-lamat. Rian lalu menghela napas.
"Hah. Bener-bener, deh. Bisa-bisanya tuh anak masih kepikiran ngebuat surat untuk gue."
Rian lalu mengambil ponselnya dan membuka galeri foto.
"Seharusnya dulu kita ngambil foto lebih banyak," gumam Rian melihat foto-foto ia bersama Arga yang hanya beberapa buah.
Rian kembali menghela napas. Ada banyak hal yang ia sesali, tapi penyesalan itu tak berguna. Bagaimana pun ia menyesali banyak hal, ia tak bisa memutar waktu untuk kembali.
Rian memasukkan kembali surat Arga ke dalam saku seragamnya. Setelahnya, Rian membaringkan tubuhnya. Ia berniat tinggal di UKS hingga matanya sudah tidak terlalu merah.
Baru beberapa menit Rian berbaring dan memejamkan kedua matanya, pintu UKS tiba-tiba terbuka dengan pelan. Langkah kaki yang dibalut high heel kemudian terdengar masuk ke dalam UKS dan menuju tempat tidur yang ada di samping Rian.
'Ah, ada guru yang masuk,' pikir Rian.
Rian kembali memejamkan matanya, tapi tiba-tiba—
Brak!
Pintu UKS kembali terbuka, tapi kali ini terbuka dengan kasar.
"Woi, Adrian!"
Rian seketika membuka matanya mendengar suara itu. Ia lalu mendudukkan dirinya.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Rian pada orang yang baru saja masuk ke UKS dan menghampirinya.
"Nih!"
Bukannya menjawab Rian, ia malah melempar sebuah buku ke depan Rian.
"Apaan, nih?" tanya Rian.
"Buku catatan gue!"
"Kenapa lo ngasih buku catatan lo ke gue?" tanya Rian. Ia tentu saja heran dengan orang yang sekarang berada di depannya, Leo Alvarendra.
"Lo kan udah beberapa hari gak masuk sekolah, jadi Bu Freya nyuruh gue buat minjemin catatan gue ke elo. Selain itu, gue gak suka ngelawan orang lemah. Rival gue harus setara sama gue. Gue ngerasa gak adil kalau menang ngelawan lo yang lagi down kayak gini," jelas Leo.
"Cih, gue gak butuh catatan lo. Gue bisa belajar sendiri," tolak Rian.
"Ah, udah deh! Terima aja! Kalau enggak, gue yang bakal diomelin sama Bu Freya!"
Rian memutar bola matanya malas dan mendecakkan lidah.
"Iya deh, iya. Gue ambil, nih," katanya kemudian sambil mengambil buku Leo dengan terpaksa.
"Btw lo keliatan baik-baik aja, tuh? Ngapain lo masih tinggal di UKS? Padahal lo baru aja masuk sekolah setelah sekian lama, tapi lo mau bolos lagi dengan alasan sakit. Mentang-mentang lo anak emas sekolah ini, lo jadi bertindak semau lo, ya."
Rian menatap Leo tak suka. "Apa-apaan sih, lo. Suka-suka gue, lah."
"Yah, serah lo deh. Gue balik ke kelas sekarang," putus Leo lalu segera berbalik dan melangkah keluar dari UKS.
Rian menghela napas kasar. "Ah, sialan. Si singa itu ngeselin banget, sih," gerutunya.
Rian kemudian menatap buku Leo yang ada di tangannya lalu menatap wajahnya di cermin. "Mata gue udah gak terlalu merah kayaknya. Ya udah lah, gue ke kelas aja sekarang," gumam Rian lalu mulai beranjak dari tempat tidur dan keluar dari UKS.
Rian melangkah dengan santai menuju kelasnya, hingga tiba-tiba sebuah suara memanggilnya.
"Rian!"
Rian menghentikan langkahnya. Tangannya ditarik dengan cukup keras oleh seseorang. Rian pun menoleh dan seketika wajahnya mengeras.
"Lepas!" kata Rian penuh tekanan.
"Tunggu, Rian. Mama mau bicara sama kamu. Sebentar aja," mohon Bu Nisa dengan masih tetap memegang tangan Rian. Guru yang masuk ke UKS tadi adalah dia, dan dia pun akhirnya tahu kalau Rian juga berada di UKS.
"Mau bicara apa lagi?!"
Bu Nisa menatap Rian dengan tatapan memelas. "Mama mau minta maaf sama kamu," ujar Bu Nisa dengan suara lemah.
Rian tersenyum miring. "Hah. Minta maaf? Untuk apa?!" seru Rian. Suara Rian yang kencang itu menarik perhatian murid-murid yang kelasnya berada di dekat Rian dan Bu Nisa berdiri sekarang.
"Apa, tuh?"
"Ada apa?"
"Apa yang terjadi?"
"Ada apa dengan Rian dan guru baru itu?"
Beberapa murid yang penasaran mengeluarkan kepala mereka dari jendela kelas. Bahkan, ada yang keluar dari kelasnya untuk melihat Rian dan Bu Nisa.
"Maaf Mama udah ninggalin kamu dulu. Saat itu ... pikiran Mama terlalu kalut." Bu Nisa mulai mengeluarkan air matanya.
Mata Rian juga mulai berkaca-kaca. Ia mati-matian menahan air matanya yang ingin keluar. Ia menatap Bu Nisa dengan penuh kebencian. "Ini sudah berlalu lima tahun, dan Anda baru minta maaf sekarang?!"
Bu Nisa menunduk dengan air mata yang mengalir semakin deras. "Maaf ... maafin Mama ... Selama ini ... Mama merasa sangat bersalah hingga tak punya keberanian untuk menghadapimu."
Rian membuang mukanya. Ia merasa cukup muak melihat wanita yang tengah menangis di depannya itu.
Bu Nisa mempererat genggamannya pada tangan Rian dan menatap Rian. "Rian, Mama tahu kesalahan Mama sangat besar, tapi apa kamu gak bisa maafin Mama? Kita bisa mulai kehidupan baru bersama-sama," ujar Bu Nisa penuh harap.
Rian menatap Bu Nisa dengan tajam, lalu dengan cepat menghentakkan tangannya dengan kasar dari Bu Nisa. "Memulai kehidupan baru? Hah. Anda bercanda? Setelah apa yang Anda lakukan dulu, Anda memintaku untuk memaafkan Anda semudah itu dan ingin memulai kehidupan baru bersama? Melihat wajah Anda pun aku tak sudi, apalagi untuk hidup bersama lagi!"
Setelahnya, Rian berniat untuk segera berlalu dari hadapan Bu Nisa dan menghiraukan murid-murid yang menatap keduanya. Tapi tiba-tiba, Bu Nisa segera meraih dan memeluk kaki Rian, membuat Rian menghentikan langkahnya.
"Rian ... Mama benar-benar menyesal ... sangat menyesal ... Mama mohon ... maafin Mama ... maafin Mama ... tolong ...." Bu Nisa menangis tersedu-sedu.
Rian menengadah dan menghirup napas panjang. Dadanya terasa sesak. Murid-murid yang berkumpul melihat Rian dan Bu Nisa semakin banyak. Bahkan, beberapa guru juga datang mendekat.
"Astaga, apa yang terjadi?"
"Kenapa Bu Nisa meluk kaki Rian?"
"Denger-denger Bu Nisa tadi nyebut dirinya Mama. Apa dia Mamanya Rian?"
"Kalau gitu, kenapa dia ngelakuin itu?"
"Bu Nisa kelihatan menyedihkan."
"Benar. Kasihan banget."
"Kalau Bu Nisa benar-benar Mama Rian, kenapa Rian malah bersikap kasar dari tadi?"
"Gak disangka, murid nomor satu sekolah ini ternyata punya sikap kayak itu."
Rian menghela napas kasar mendengar komentar-komentar yang ditujukan untuknya itu. Rian lalu menunduk melihat Bu Nisa yang masih memeluk kakinya. Dengan sekali gerakan, Rian menarik kakinya dengan kuat hingga terlepas dari Bu Nisa dan membuat Bu Nisa terduduk di lantai.
Rian menatap Bu Nisa dengan dingin. "Apa Anda melakukan ini untuk menarik simpati orang-orang? Tolonglah, jangan bertingkah seakan-akan Anda korban di sini. Rasanya benar-benar memuakkan."
⛈️🌧🌦
To be continued