Brak!
Rian masuk ke dalam kelasnya sambil membanting pintu kelas dengan emosi. Tak menghiraukan tatapan teman-teman sekelasnya, Rian segera menyambar tasnya dan melangkah keluar dari kelas.
"Rian! Kamu mau ke mana?! Ini masih jam belajar!" teriak Bu Freya yang baru saja akan masuk ke dalam ke kelas.
"Adrian!"
Rian juga tak memedulikan wali kelasnya yang terus-menerus memanggilnya itu. Ia tetap melangkah dengan cepat. Untuk kesekian kalinya, ia akan bolos. Kali ini, ia merasa benar-benar muak jika harus berada di sekolah lebih lama lagi.
Sementara itu, Raina yang berada di dalam kelasnya tak bisa fokus belajar. Ia hanya mengetuk-ngetukkan pulpennya di atas buku tanpa memperhatikan penjelasan dari sang guru. Pikirannya kemudian berputar ke beberapa menit yang lalu, dimana Rian dan Bu Nisa yang menjadi tontonan hampir seluruh warga sekolah.
Raina kemudian menghela napas. Ia kembali mengingat permintaan Kakak sepupunya, Arga beberapa hari yang lalu padanya.
-Flashback on-
Arga terbaring dengan lemah di atas tempat tidurnya. Hanya ada dua orang yang berada di dalam kamar tempat Arga berbaring itu, yaitu dirinya sendiri dan juga Raina. Arga sebelumnya telah meminta keluarganya yang lain untuk keluar dan membiarkannya berbicara berdua dengan Raina.
"Raina," panggil Arga dengan nada lemah.
"Iya, Kak. Kenapa? Ada yang sakit? Atau Kakak butuh sesuatu? Apa aku perlu panggil Om sama Tante?" tanya Raina khawatir.
Arga menarik senyum di bibirnya yang pucat. "Enggak, bukan gitu. Ada yang mau Kakak omongin sama kamu."
"Apa, Kak?" tanya Raina.
"Rian ...."
"Rian? Kak Rian? Kenapa? Kakak mau ketemu sama dia?" tanya Raina lagi.
Arga menggeleng pelan. "Enggak, enggak. Dia gak boleh liat keadaan Kakak yang kayak gini. Dia gak boleh ngeliat Kakak yang selemah ini. Kakak gak mau nambahin beban dia. Hidup dia udah berat banget."
Raina terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia mencoba untuk tetap tegar.
"Kalau gitu, kenapa Kakak nyebut nama Kak Rian tadi?" tanyanya kemudian.
Arga menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan.
"Kakak ... mau minta tolong sama kamu, Raina. Tolong ... kamu gantiin peran Kakak sebagai sandaran Rian saat Kakak udah pergi nantinya."
Raina menggeleng-geleng dengan kuat. Air matanya sudah tak bisa terbendung lagi mendengar itu. "Enggak. Kakak gak boleh ngomong kayak gitu. Kakak harus yakin Kakak bisa sembuh dan bisa terus berada di samping Kak Rian."
Arga memejamkan matanya. "Kakak yang paling tahu sama keadaan tubuh Kakak. Dan Kakak bisa ngerasain ... kalau tubuh Kakak ini udah gak bisa bertahan lebih lama lagi."
Tangis Raina semakin menjadi-jadi. Arga kembali membuka matanya. Dengan susah payah, ia berusaha menghapus air mata yang membasahi kedua pipi Raina.
"Raina, jangan nangis dong. Kakak mau kamu jadi kekuatan buat kedua orang tua Kakak, Anin ... dan juga Rian. Kamu ... mau ngabulin permintaan Kakak, 'kan?"
"Tolong banget ya, Raina. Kamu satu-satunya harapan Kakak. Rian itu ... dia lebih rapuh dari yang terlihat. Kalau kamu mau janji sama Kakak bakal ngebantu Rian, Kakak akan ngerasa lebih tenang nantinya," ujar Arga sambil tersenyum.
Dengan air mata yang masih mengalir dengan deras, Raina mengangguk-angguk. "Iya, iya. Raina janji sama Kakak. Raina akan bantuin Kak Rian. Raina akan jadi sandaran baru buat Kak Rian. Kakak tenang aja."
Arga tersenyum. "Makasih, Raina."
-Flashback end-
Hah. Raina kembali menghela napas. Ia lalu menopang dagunya dengan sebelah tangan sambil berpikir, Apa yang harus ia lakukan sekarang?
⛈️🌧🌦
Mahira Hasna Fairuz menghentikan mobilnya beberapa meter dari rumah Rian. Ia mengernyikan keningnya ketika melihat ada seorang wanita yang berdiri di depan sana.
Ia kemudian keluar dari mobilnya dan melangkah mendekat ke wanita itu. Kedua matanya kemudian membesar ketika dapat mengenali siapa wanita itu.
"Kenapa kau ada di sini?!" tanyanya dengan penuh amarah.
Wanita itu, yang tak lain adalah Bu Nisa, Mama Rian, menoleh dengan kaget. "I—Ira," gumamnya.
"Kutanya, kenapa kau ada di sini?!" tanya Tante Ira lagi dengan nada yang semakin meninggi.
"I—Ira. Aku ... aku—"
"Pergilah!" usir Tante Ira cepat.
"Ta—tapi—"
"Kenapa kau kembali ke sini lagi?! Apa kau tidak puas sudah menyakiti Rian?! Rian sangat menderita gara-gara kau!"
"Ira. Dengarkan aku dulu. Aku sangat menyesal. Aku ingin meminta maaf pada Rian," kata Mama Rian dengan nada putus asa.
"Rian tak membutuhkan permintaan maafmu! Yang harus kau lakukan adalah tidak menampakkan wajahmu lagi di depannya!"
Tante Ira kini benar-benar emosi. Bagaimana bisa wanita di hadapannya ini begitu tak tahu diri? Dia sudah tidak memedulikan anaknya selama lima tahun dan membuat anaknya itu mengalami trauma, tapi bisa-bisanya ia kembali dengan begitu mudahnya.
"Biarkan aku melihat Rian sebentar. Hanya beberapa menit," pinta Mama Rian.
"Tidak! Aku tak akan membiarkanmu bertemu Rian. Pergilah sekarang!" usir Tante Ira lagi.
Meski sudah diusir oleh Mahira Hasna Fairuz, Mama Rian tetap bergeming. Ia tak bergerak sedikitpun.
Tante Ira pun memilih untuk mengabaikannya. Ia segera masuk ke rumah Rian dan menutup pintu rumah rapat-rapat.
Hah.
Tante Ira menghela napas sesaat lalu melangkah untuk membuka gorden jendela, berniat membiarkan cahaya matahari masuk ke rumah.
"Astaga, Rian!"
Betapa terkejutnya ia ketika baru saja menyibak gorden dan mendapati Rian yang terduduk di lantai dan kondisi rumah yang acak-acakan.
Tante Ira berjongkok di depan Rian. "Kok kamu udah pulang aja?" tanyanya.
Rian tak menjawab. Hanya saja, matanya menatap lurus ke depan dengan tajam. Tante Ira memperhatikan sekitarnya. Ruangan itu terlihat benar-benar kacau.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Tante Ira lagi dengan lebih lembut.
Rian menatap Tantenya itu. "Tante."
"Iya, kenapa?" tanya Tante Ira lembut.
"Aku gak mau ke sekolah lagi."
"Apa?! Kenapa?" kaget Tante Ira.
"Kalau aku ke sekolah, aku harus ngelihat wajah orang itu lagi! Aku gak sudi!" teriak Rian.
Tante Ira tersentak. Ini pertama kalinya Rian berteriak seperti itu padanya.
"Tante juga udah ketemu sama orang itu tadi, kan?" tanya Rian dengan tatapan penuh kebencian.
Mahira Hasna Fairuz kini mengerti. Yang dimaksud Rian 'orang itu' adalah Mamanya.
Tante Ira mengangguk pelan. "Iya, Tante ketemu dia sebentar tadi. Tapi kamu tenang aja, Tante udah ngusir dia."
"Tapi ... apa hubungannya orang itu dengan sekolah sampai-sampai kamu gak mau ke sekolah lagi?" tanya Tante Ira kemudian.
Rian meremas selembar foto keluarga di tangannya dengan kuat. "Dia jadi guru aku di sekolah."
"Apa?!"
Hah. Tante Ira memijat keningnya yang seketika terasa pusing. Kenapa hal itu harus terjadi? Kenapa orang itu harus menjadi guru Rian, sih? Pikirnya.
⛈️🌧🌦
To be continued