"Selamat pagi Bu," sapa Ibud, satu-satunya Office Boy di tempat kerja Andini.
"Pagi Ibud," jawab Andini tersenyum ramah.
"Masih puasa Bu?"
"Insya Allah."
"Teh manis hangat atau.."
"Boleh, kasih gula dikit yah Bud," jawab Andini cepat, masih sibuk mengetik di layar notebook.
"Tumben Bu." Tanya Ibud, karena setahu Ibud, Bos nya yang satu ini paling suka dengan minuman teh pahit tanpa gula. Tapi kali ini pesanan minumannya beda dengan biasanya.
"Biar sehat Ibud." Jawabnya setiap kali Ibud menanyakan kenapa Bu Andini tak suka minum teh dengan gula.
"Ibud.."
"Eehh.. iya Bu." Ibud gelagapan, Andini tersenyum menatapnya kepergok Ibud tengah melamun.
"Masih di situ."
"Eh, iya Bu. Permisi."Dengan wajah merah menahan malu Ibud akhirnya meninggalkan ruangan. Andini menggelengkan kepala dan tersenyum sendiri. Ia paham benar dengan Office Boy nya itu. Budiman berasal dari Bandung kota yang sama dengan tempat kelahirannya. Hanya lulusan SMA namun Ibud terkadang memiliki pemikiran yang luas tentang hal apapun, karena kegemarannya membaca. Budiman nama aslinya namun ia selalu saja tak menyukai jika ada yang memanggilnya Budi. "Ibud. Jakarta Men." Jawabnya setiap ditanya tentang alasan mengapa ia suka sekali dengan panggilan Ibud untuk dirinya. Ibud salah satu Office Boy paling nyentrik di gedung Exa. Yah, penampilannya udah mirip dengan penyanyi K-POP.
"Permisi Bu." Ibud sudah kembali nongol di balik pintu dengan membawa segelas besar Teh hangat. Ia meletakkannya di atas meja.
"Silahkan Bu."
"Iya, terima kasih ya Ibud."
"Sama-sama Bu. Ibu mau pesan makanan apa?" tanya Ibud masih berdiri mendekap nampan di dadanya.
"Gak usahlah, saya mau langsung balik ba'da Sholat Magrib."
"Baik Bu. Saya permisi."
"Yah.. makasih ya."
Ibud alias Budiman akhirnya meninggalkan ruangan, suara siulan bernada anehnya masih terdengar dari dalam ruangan Andini.
Tak lama berselang suara Adzan magrib berkumandang terdengar lantang dari suara microphone Masjid belakang gedung Exa. Andini menghentikan ketikannya dan menyeruput Teh buatan Ibud.
Tulululut…
Telepon di atas meja Andini berkedip-kedip, Andini mengangkat gagang telepon.
"Assalamualaikum," jawab Andini.
"Andin, selamat berbuka puasa." Terdengar suara lantang dari balik telepon.
"Terima kasih."
Dan tiba-tiba sosok pemuda tampan dengan lesung pipit dan bermata sipit sudah berdiri di ambang pintu tersenyum, "Hot Hazelnut Chocolate." Ia membawa minuman kesukaan Andini, mengangkatnya dan tersenyum.
"Kamu." Andini masih memegang gagang telepon.
"Untukmu." Ia meletakkannya di samping notebook Andini, "Selamat menikmati Andini." Argo mengerling dan kemudian berlalu keluar. Andini hanya bisa tertegun masih memegang gagang telepon, sadar, ia meletakkan kembali gagang telepon itu ke tempatnya semula. Aroma minuman itu begitu familiar di hidungnya. Argo Wibisono, laki-laki itu selalu menjadi bayang-bayang Andini. Lima tahun Andini mengenalnya, pertama kali bertemu di ruang meeting kala itu mereka tengah sama-sama mempresentasikan project-nya masing-masing. Yah Argo, seorang laki-laki pekerja keras, dan kini menjadi rekan kerja Andini.
Mungkin sudah tak dapat dihitung berapa kali Argo menyatakan cinta kepadanya. Namun entah mengapa Andini tak pernah bisa memberinya jawaban pasti.
"Andin, aku akan menunggumu." Kalimat Argo terngiang kembali, Andini tersenyum mengamati Hazelnut Chocolate di hadapannya.
TOK ... TOK ... TOK ...
"Assalamualaikum.." tiba-tiba saja suara ketukan pintu mengagetkan Andini, seorang gadis muda menyembul dari balik pintu tersenyum lebar.
"Dhea.. kenapa kamu kembali ke kantor?" Andini terkejut melihat Dhea sudah duduk di hadapannya dengan nafas tersengal-sengal.
"Mbak, ada yang harus aku sampaikan ke Mbak." Suara Dhea naik turun tak beraturan, ia menekan dada kanannya berkali-kali.
"Ada apa Dhea?, bukannya kita janji ketemuan di Starbucks jam tujuh." Andini melirik jam di tangannya.
"Kelamaan Mbak. Aku nggak sabar mau ketemu sama Mbak." gadis itu menarik nafas panjang. Yah Dhea Wibowo, seorang Account Officer, 23 Tahun. Gadis pintar, smart dan energik, walau kadang emosinya masih meluap-luap namun Dhea memiliki suatu kemampuan yang bisa dibilang tak sesuai dengan usianya. Dhea lulusan Teknik Sipil dan nyasar masuk dunia perbankan. Cita-citanya adalah menjadi seorang insinyur namun entah bagaimana ceritanya ia terdampar di gedung Exa ini.
Dhea salah satu kandidat yang lulus dari sekitar lima puluh interviewer kala itu. Gayanya yang nyantai, selengean, ceplas-ceplos namun sangat percaya diri. Andini sangat tertarik dengan Dhea karena ia memiliki ambisi dan pandai bicara. Tentu saja itu adalah satu-satunya senjata untuk seorang Account Officer, karena pekerjaannya berhubungan dengan penawaran produk perusahaan pada nasabah. Andini mempertahankannya dan akhirnya Dhea memang benar-benar dapat diandalkan.
"Mbak."
"Yah.." Andini mengerjapkan mata, tersenyum simpul.
"Akhirnya .... Deal Mbak." Dhea menarik tangan Andini tanpa canggung dan tak berpikir bahwa dihadapannya adalah atasanya. Andini masih bingung dengan perilaku Dhea. Keningnya berkerut, Dhea paham dengan raut wajah bosnya itu.
"Mbak, Pak Sasongko menerima tawaran kita dan beliau menyuruhku besok datang kembali ke kantornya untuk membawa semua dokumen approval." Dhea nyerocos terus, Andini tertegun, kedua matanya melebar, ia berdiri melangkah mendekati Dhea.
"Dheaaaaa…" tanpa disadari keduanya berpelukan, Dhea berjingkat-jingkat tangan mereka berdua bergenggaman.
"Mbak ... aku berhasil."
"Terus ... terus bagaimana ceritanya Dhea." Mereka masih berdiri dan kedua tangan mereka belum terlepas. Binar-binar kebahagian terpancar dari bola mata mereka berdua.
"Mbak, tahu enggak?. Aku nggak nyerah setiap kali bodyguardnya nyuruh aku untuk keluar kantornya dan aku menunggu di halaman parkir dari pagi Mbak." Dhea mengerling. Andini makin penasaran. Siapa yang tak mengenal Sasongko Harjuno Pranoto, pemilik berjuta properti di Indonesia dan hampir seluruh gedung apartemen, mall di Jakarta adalah miliknya.
"Dhea, gimana mungkin. Kamu.. kamu.." Andini memeluk Dhea.
Yah, Andini sangat mengenal Dhea, ia seorang gadis yang pantang menyerah dan selalu membuat perhitungan sendiri, sering kali membuat Andini senewen dengan keputusannya tapi kali ini, yah gadis dihadapannya itu telah berhasil menaklukkan raja properti, Sasongko. Namun Andini belum senang benar, karena semuanya belum fixed, dokumen approval belum ditandatanganin. Namun keberhasilan Dhea bertemu dengan pengusaha berhati besi itu menjadi bagian keberhasilan sendiri baginya. Betapa sulitnya untuk dapat bertatap muka dengan laki-laki berdarah dingin itu.
Bersambung ...