@siAlan
[Apa saya harus tidur di lantai? Sesuai perjanjian pra nikah ala-ala, yang kamu kirim tiga bulan lalu?]
Langsung saja kugigit bibir ini.
"Nggak usah, A', tidurnya di atas aja," kujawab saja langsung, sambil menoleh padanya. Perasaan sungguh menjadi tidak enak.
Alan perlahan memutar kepala menghadapku.
"Saya akan kirimkan kembali gambar, yang berisi sepuluh butir perjanjian pra nikah yang kamu buat itu, kalau ada perbaikan, silahkan kirim kembali."
Setelah mengucapkan kalimat itu, ia benar-benar mengirimkannya padaku. Handphone di tangan sudah berdenting, tapi belum kulihat, tatapanku masih mengarah kepadanya. Seharusnya ia tak perlu menganggap semuanya serius. Aku sendiri saja lupa dengan sepuluh butir perjanjian aneh ini.
Alan tak juga menoleh, ia kemudian menaikkan selimut hingga dada, meletakkan ponsel di nakas dekat tempat tidur, lalu memutar tubuh membelakangiku.
Kubuka pesan darinya sambil menggaruk ujung hidung yang tak gatal sama sekali.
@siAlan
[Perjanjian Pranikah Alan dan Nada.
Perjanjian ini dibuat, agar kedua belah pihak sama-sama merasa nyaman sehingga tidak perlu saling merasa terikat, sebab, pernikahan ini dilakukan atas unsur paksaan.
Adapun beberapa poin yang disebutkan dalam perjanjian ini, harus dipatuhi dengan sebenar-benarnya oleh kedua belah pihak.
Satu, tidak perlu adanya aktifitas ranjang.
Dua, tidak perlu saling memerhatikan, memedulikan satu sama lain.
Tiga, tidak ada kekangan, antara kedua belah pihak boleh melakukan apa pun yang diinginkan.
Empat, menjurus pada poin satu, kamar tidur harus terpisah, atau, jika terpaksa harus berada dalam satu kamar, tidak dibenarkan tidur di ranjang yang sama. Dalam hal ini, jika berada di rumah calon istri, sang istrilah yang harus tidur di ranjang, calon suami di lantai, begitu sebaliknya. Jika berada di rumah calon suami, maka, calon istrilah yang akan tidur di lantai.
Lima, kedua belah pihak tidak perlu merasa memiliki tanggung jawab, hak, dan kewajiban.
Enam, selama hubungan rumah tangga masih belum menemukan kecocokkan, dalam waktu tiga bulan, salah satu pihak, boleh mengajukan perpisahan dengan alasan ketidakcocokkan.
Tujuh, kedua belah pihak tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing.
Delapan, di depan semua orang, hendaknya bersikap manis layaknya suami istri harmonis, setelahnya, harus kembali menjaga jarak.
Sembilan, tidak ada bantahan untuk setiap poin yang telah dibuat.
Sepuluh, tambahan poin bisa saja terjadi, seiring berjalannya waktu.
Demikianlah, perjanjian pranikah ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.]
Semua itu terkirim dalam bentuk file gambar, sudah terdapat tanda tanganku di bagian calon istri, sementara di bagian calon suami, Alan belum membubuhi tanda tangan. Tidak ada balasan dari Alan sama sekali setelah itu, hingga hari ini.
Kertas itu kusimpan di mana ya?
Aku segera beranjak dari tempat tidur, membuka laci meja belajar, tidak bertemu, lalu kucari di antara buku-buku yang tersusun di rak meja tersebut. Mencarinya harus dengan sabar, kalau tidak, susah bertemunya.
Satu per satu koleksi novel kubuka, berharap menemukan kertas itu. Beberapa menit berlalu, semua buku sudah kubedah, tetapi tidak juga menemukan yang dicari. Aku lemas seketika, duduk sambil bertopang dagu di meja belajar.
Tiba-tiba dari arah belakang, ada yang menepuk bahuku pelan. Belum sempat menoleh, secarik kertas yang kucari-cari sudah terlihat di sisi wajah.
"Ini yang kamu cari?"
Aku meraih kertas itu, lalu menoleh ke asal suara. Ekspresinya tetap saja dingin seperti biasa.
"Kok ada sama, Aa'?" tanyaku heran, sebab sejak tadi kucari, tak juga ditemukan.
"Jatuh dari salah satu buku yang kamu buka dari tadi."
Alan kembali ke atas ranjang, ia duduk di sana.
"Apa yang kamu pikirkan saat menuliskan poin-poin tidak masuk akal itu?"
Aku jadi gugup. Saat itu, emosi sedang menguasai diri, karena tanpa pemberitahuan, ayah bilang, ada seorang pria yang akan datang ke rumah dengan keluarganya, sehingga aku tidak diizinkan pergi ke mana-mana. Padahal waktu itu, aku sudah berjanji akan bertemu dengan Aldo, di rumah Ina, dan pergi ke acara pernikahan teman kami.
Saat itu, aku juga tidak diperbolehkan membantah ayah apa pun bentuknya. Ayah berkata, jika beliau sudah menyelidiki seluk beluk kehidupan Alan, dan telah memutuskan bahwa Alan sangat patut menjadi imamku.
Ayah hanya ingin anak gadis satu-satunya, tidak jatuh ke tangan yang salah, sehingga tanpa kuketahui, beliau sendiri yang menyeleksi calon suami untukku, kemudian meminangnya secara pribadi.
Meskipun, di saat acara lamaran berlangsung Alan mengajakku bicara empat mata, tetapi tetap saja, tidak mudah untuk berubah haluan. Di dalam hatiku masih ada Aldo, dan perasaan padanya juga begitu besar.
Aku tidak tahu bagaimana hendak menjawabnya kali ini, sehingga kuputuskan untuk merobek kertas itu di depan dia, kemudian membuangnya ke dalam tong sampah.
Namun, Alan tetap bergeming, ia lalu berdiri dan menuju pintu, jas nikah yang ia gunakan kemaren, kugantung di sana.
"Saya sudah mencetak dan menanda tanganinya juga."
Buru-buru kuraih kertas di tangannya itu, lalu merobeknya segera.
"Kenapa? Kamu udah berubah pikiran?" tanyanya menatapku.
Kali ini, giliranku yang bergeming. Dia lantas kembali ke peraduan, dan benar-benar tidur.
Apa yang sudah kulakukan? Seharusnya kujawab pertanyaannya itu, kalau ketika itu aku hanya sedang galau.
*
Ranjang terasa bergerak, memaksa mataku terbuka. Kulihat Alan sudah meraih handuk dan menuju kamar mandi. Aku lalu mengambil ponsel yang kuletakkan di bawah bantal. Baru pukul empat dini hari. Mata ini juga masih mengantuk. Perlahan kupeluk lagi bantal guling, dan seketika terlelap.
Rasanya sedang bermain di pemandian alam dengan Aldo, sesuatu yang tak pernah kulakukan, tapi ingin. Dia memercikkan air ke wajahku. Segera kuseka, kemudian tertawa. Ia terus memercikkan air, hingga aku terkejut, seolah hendak jatuh.
Ternyata hanya mimpi. Saat kubuka mata, Alan tengah memegang satu gayung, yang kurasa ada air di dalamnya. Ia tampak mengulum senyum.
"Bangun, sudah subuh, saya mau ke masjid bersama Ayah," katanya beranjak dari sisi ranjang, menuju kamar mandi.
Iseng sekali, ternyata dia yang memercikkan air.
"Kalau mau tidur, jangan lupa baca do'a dulu, biar nggak diganggu setan." Alan sudah bersiap dengan pakaian koko, kain sarung, serta semprotan minyak wangi, yang sekali percik, langsung mewangi seruangan. Pasti parfum mahal.
"Iya. Udah kok, tadi ngulang tidur, kebangun pas Aa' turun dari kasur."
Aku beringsut bangkit. Di luar juga sudah terdengar panggilan sholat. Ayah dan ibu pun tampaknya sudah bangun.
"Saya pergi dulu, ya."
Aku lalu mengikutinya keluar kamar. Ayah juga telah rapi dengan baju koko dan kain sarungnya. Parfum yang digunakan ayah tak pernah berubah, selalu sama aromanya.
Kata beliau, wangi kasturi adalah wewangian surgawi, kelak di akhir zaman, Allah akan mengirimkan angin dari arah Yaman yang lebih lembut daripada sutera, angin itu tidak akan pernah meninggalkan seorang pun yang di dalam hatinya terdapat keimanan seberat biji sawi melainkan dia mewafatkannya. Menurut ayah, angin tersebut, memiliki wangi seperti kasturi ini.
"Ya sudah, kami ke masjid dulu, assalamualaikum," ucap ayah diambang pintu. Alan mengikuti.
"Assalamualaikum." Alan juga mengucapkan salam.
Ibu menjawab salam, sambil menyalami punggung tangan ayah. Sementara aku, tidak sama sekali.
"Hmm."
Alan berdehem dan mendekati. Ia mengulurkan tangannya tepat di wajahku.
"Maklumin saja, Nak Alan, Nada ini baru belajar punya suami."
Ibu tersenyum canggung sambil menepuk-nepuk punggungku.
Ada apa? Aku memang hendak mencium punggung tangannya, kok.
"Waalaikumsalam, A', hati-hati di jalan, sertakan Adek dalam setiap do'a-do'a, Aa'."
Kulihat, wajah Alan memerah. Ia lantas menarik tangannya dari genggamanku. Duh, baru juga mau pegang lama-lama. Sudah halal, 'kan, masa tidak boleh.
------------