Malam telah tiba, setelah Haisha puas berbicara dengan ibu mertuanya, gadis itu masuk ke kamar yang sudah dipenuhi oleh aura galau Fahri.
Fahri bergulung dari satu sudut kasur ke sudut lainnya, wajah yang cemberut dan mata yang sesekali melempar lirikan sinis pada Haisha.
Gayanya memang sinis seperti orang penagih utang, tapi mulutnya tidak bisa berbohong di mana selalu ada omelan yang mengisyaratkan Haisha harus mengerti isi hatinya.
"Mas mau apa?" tanya Haisha, membiarkan Fahri menaruh kepala ke pangkuannya.
"Mau itu!"
Semburan tawa tidak bisa Haisha tahan, pasalnya wajah Fahri terlampau menggemaskan kalau sudah seperti ini.
"Sabar ya, tujuh hari lagi."
"Lama, Ica!" cemberut lagi, kali ini mengubah posisinya menjadi tengkurap.
Bibirnya tidak berhenti mengomel sampai celana Haisha sedikit basah karena percikan salivanya.
