Om Sullivan nampak asyik dengan ponselnya, sesekali ia menatap nakal ke arahku. Memicingkan sebelah matanya, tersenyum tipis. Entah apa yang lelaki ini pikirkan, padahal aku sangat merasa geram. Tapi, dia santai sekali seolah tak peduli pada ekspresi wajah kesal yang tak bisa kusembunyikan.
"Ngobrol disini nggak enak deh, ikut yuk," ajak Om Sullivan.
"Kemana?"
"Biasanya?"
"Ya ampun!" Aku menepuk jidat.
"Ya amplop!" Om Sullivan menirukan adegan sama.
"Ya ke hotel lah, tempat paling nyaman buat berduaan. Emangnya dimana lagi? Kamu ini macam nggak pernah molor sama orang di hotel saja," lanjutnya dengan nada tinggi.
Sepertinya dia agak kesal, melihat wajahnya tertekuk membuatku tersenyum simpul. Dari pada peperangan terjadi, aku menuruti keinginannya. Lagipula benar juga, ngobrol di kafe tidak enak banyak orang. Bisa-bisa kalau istrinya datang, habis sudah aku dibilang pelakor.