Chereads / Secret Friendzone / Chapter 28 - Musuh Datang

Chapter 28 - Musuh Datang

"Sullivan," sapa Kanaya.

"Nay," sahut Sullivan, ia melepas Shireen dan menyuruhnya pergi dari ruangannya.

Shireen melirik Kanaya sekilas, ia seperti ingat pada wanita itu. Saat menutup pintu ruangan, Shireen sempat melihat ketegangan di wajah Sullivan. Ia ingin tahu siapa wanita itu, ketika ia hendak menguping di depan pintu. Temannya memanggilnya untuk mengerjakan sesuatu, Shireen merutuk kesal.

"Siapa ya cewek tadi? Apa istrinya OM nyebelin?" Hatinya bertanya-tanya.

Di dalam ruangannya, Sullivan masih diam menatap Kanaya yang duduk berhadapan dengannya. Ia membaca kegelisahan di wajah istrinya itu, Kanaya meremas tangannya yang berkeringat. Sullivan memajukan badannya dan masih menunggu Kanaya bicara.

"Siapa dia?" tanya Kanaya, ia duduk di kursi tamu, kakinya ia silangkan.

"Office girls baru," jawab Sullivan, singkat. "Ada apa ke sini? Kenapa nggak kasih tahu dulu," cecarnya kemudian.

"Oh ya, kok, pelukan begitu. Romantis banget Sulli, ke aku aja nggak pernah kamu begitu." Kanaya mencibir Sullivan, hatinya terbakar cemburu.

"Kanaya, come on," sahut Sullivan, membetulkan posisi kacamata yang bertengger di hidung bangirnya.

"Sulli, aku cemburu melihatmu dengannya," kata Kanaya, mengungkapkan isi hatinya.

"Hak lo, udah jangan buang-buang waktu. Mau apa ke sini? Gua sudah bilang jangan terlalu sering datang, kenapa sih lo ngeyel, Nay."

"Kenapa kamu tidak mau pulang lagi? Aku dan anakmu sangat rindu, Sullivan."

"Dia anak lo aja, kan, bukan anak gua."

"Tapi dalam darah nya ada kamu, Sullivan."

"Ingat, Nay, pernikahan kita hanya diatas kertas. Jangan lagi mengharap lebih dari gua, sekali lagi ya gua tekankan ke lo. Lo nggak bisa ngikutin jalan gua, kenapa baru sekarang lo begitu serius dengan pernikahan ini."

"Karena sekarang aku sadar, kamu memang baik Sullivan. Aku yang salah paham, aku yang nggak ngerti kamu. Aku minta maaf, Sullivan." Kanaya mulai menangis, ia putus asa harus bagaimana membujuk suaminya.

"Baru sadar sekarang? Selama ini ke mana saja? Dalam waktu belasan tahun, lo baru sadar? Fantastis!" cibir Sullivan, bertepuk tangan pelan.

"Sullivan, come on. I promise to you, please." Kanaya memelas.

Sullivan semakin sebal dengan sikapnya yang demikian. Ia pun terdiam tak lagi menanggapi Kanaya.

"Mau lo apa?" tanya Sullivan.

"Hidup bersama kamu, seperti dulu lagi. Bahagia dengan anak kita, simpel Sulli."

"Apa lo bisa merubah sikap? Bisa mengikuti aturan main gua?"

"Aku... Aku siap, Sullivan." Kanaya mengangguk dengan cepat, hatinya sedikit berbunga.

Sullivan menatap mata Kanaya lekat, ia mencari kejujuran dari mata bening istrinya. Wanita dengan rambut pendek sedikit ikal, yang juga memakai kacamata sepertinya. Terlihat sangat berharap akan satu kesempatan yang akan ia berikan.

"Kasih waktu gua berpikir, lo nggak usah tunggu gua. Kalau gua pulang ke rumah lo, artinya sudah kita damai," kata Sullivan.

"Yes, thanks you baby. I know you are a good person," kata Kanaya, ia bangkit dari duduknya seraya merapikan tasnya.

"Thanks," sahut Sullivan, singkat.

Setelah Kanaya keluar dari ruangannya, Sullivan menarik laci kecil di meja kerjanya. Ia mengeluarkan sebuah foto yang selama ini selalu ditatapnya saat kesepian melanda. Sudah dua tahun ia tidak pernah tinggal lagi bersama Kanaya, karena sedang memberikan pelajaran pada istrinya itu.

Suatu hari ia meretas ponsel milik Kanaya, saat menyadari perubahan sikap istrinya tersebut. Betapa terkejutnya Sullivan, saat melihat pesan mesra Kanaya dengan pria bernama Richard. Sullivan mengecek profil Richard yang ternyata teman satu profesi di kedokteran.

Alasan yang Kania sampaikan pada Richard merupakan hal sepele bagi Sullivan. Kanaya mengeluhkan sikapnya yang terlampau dingin dan tidak pernah romantis. Sullivan marah karena ia sudah memberikan Kanaya kesempatan untuk mencintainya. Namun, ia hanya mendapat pembalasan pengkhianatan.

"Nay, andai kamu tidak pernah melakukan itu. Aku tidak akan pernah bersikap seperti ini. Ya sayang, aku memang belum mencintai kamu. Tapi, hatiku bukan batu yang tak bisa dihancurkan," gumam Sullivan. Ia pun memasukkan kembali foto tersebut ke dalam laci.

Sullivan memeriksa jadwal pertemuannya dengan klien, yang tadi diserahkan oleh managernya. Ia terkejut melihat nama Dimitry, ada di daftar pertemuannya siang ini. Ia merasa heran, karena tidak pernah menerima tawaran lain dari pria tersebut.

"Ini proyek dan tender lain, kenapa? Saya tidak pernah menerimanya." Hati Sullivan bertanya-tanya.

Ia kemudian membuka berkas penjualan yang ada di sisi kanan meja. Betapa terkejutnya Sullivan saat membaca sebuah kontrak yang ditandatangani oleh Rangga. Sullivan menggelengkan kepalanya berkali-kali, ia membanting berkas ke atas meja.

Braakhhh!

"Kurang ajar! Dia nggak bisa dekati saya, sekarang dia nyerang Rangga, fuck you!" gerutu Sullivan. Ia meraih jas miliknya, lalu keluar dari ruangan.

Sementara di ruang istirahat yang sekaligus menjadi dapur, para petugas kebersihan tengah bersantai. Saat orang-orang bekerja, mereka semua menunggu panggilan pesanan. Entah itu makanan, minuman, kadang membersihkan ruangan lainnya.

Shireen berdiri di dekat wastafel sambil mengaduk teh manis buatannya. Pikirannya masih teringat pada Kanaya, ia baru ingat kalau wanita itu adalah dokter yang pernah ia temui di klinik. Tapi, ada hubungan apa antara Sullivan dan Kanaya, hingga wanita itu menyusul Sullivan ke kantor. Apa belum bayar uang klinik? Pikir Shireen.

"Heh! Pagi-pagi nggak boleh melamun, nggak baik!" tegur Mbak Sasti, teman yang baru Shireen kenal beberapa jam lalu.

"Nggak melamun, lagi mikir aku, Mbak," jawab Shireen, lalu menghadap ke Sasti.

"Mikirin apa? Pacarmu?" goda Mbak Sasti, menyenggol lengan kiri Shireen.

"Isyh, bukanlah. Aku nggak punya pacar!"

"Masa iya, gadis secantik kamu nggak punya pacar. Aku nggak percaya ah." Sasti semakin semangat menggoda Shireen, melihat ekspresi gadis itu yang memonyongkan bibirnya.

"Hmm, Mbak, udah lama, kan. Kamu kerja di sini?" Shireen langsung bertanya.

"Iya, udah dibilang senior," jawab Sasti dengan bangga, sambil memainkan kerah kaosnya.

"Tahu banyak, dong, tentang Om Sullivan," cetus Shireen.

"Nggak juga, kenapa emang?"

"Itu tadi ada cewek nyamperin ke ruangannya. Siapa ya dia kira-kira." Shireen menutup wajahnya dengan gelas, pura-pura meminum teh manisnya.

"Bisa jadi klien lah, gimana sih kamu tuh."

"Emang, dia belum nikah?"

"Syutt! Jangan berani bicara kaya gitu, Pak Sullivan itu kaya escetepe. Dia bisa dengar dan lihat, walaupun nggak ada di kantor ini. Dia kalau marah, udah kaya singa lapar. Makanya, jangan ngomong sembarangan, apalagi nanya soal kehidupan pribadinya," bisik Sasti.

"Hah? Apaan escetepe?" Shireen balik bertanya, keheranan.

"Itu, kamera yang digantung di atas buat mantau orang."

"Ya ampun, cctv itu Mbak!" seru Shireen.

Sasti nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sullivan yang kebetulan melintas, terkekeh pelan mendengarkan mereka. Ia sudah menduga, jika Shireen akan penasaran dengan kehidupan pribadinya.

"Pak, mobil sudah siap," kata Pak Yudi.

"Oke," jawab Sullivan, lalu melanjutkan langkahnya menuju mobil.