Chereads / Secret Friendzone / Chapter 29 - Kebenaran Sullivan

Chapter 29 - Kebenaran Sullivan

Suasana rapat berjalan dengan lancar, tidak ada yang terjadi begitu menegangkan seperti yang dibayangkan oleh Sullivan. Sesaat sebelum memasuki ruang rapat di kantor Dimitry. Di perjalanan ia menelepon Rangga dan menanyakan perihal kontrak tanpa sepengetahuannya.

"Apa kabar Sullivan?" tanya Dimitry saat semua orang keluar dari ruangan, hanya tinggal ada dirinya dan Sullivan.

"Baik, tuan, anda sendiri?" Sullivan menyapa balik dengan ramah.

"Saya juga baik, apa kamu suka kejutan yang saya berikan," ucap Dimitry dengan bangga.

"Tidak juga, karena saya sangat kenal orang seperti anda yang rela menghalalkan segala cara. Bukankah demikian Tuan Jakson Graham."

"My God! Dari mana kamu tahu nama lama saya!" seru Dimitry terkejut.

"Sudah saya bilang waktu kita berjumpa di Kanada. I'm not stupid." Sullivan mengetukkan jarinya ke kepalanya.

"Jawab Sullivan! Saya serius!" Dimitry tiba-tiba mengeluarkan pistol dari balik jas dan menodongkannya pada Sullivan.

"Hanya pistol FN dari Belgia. Dengan proyektil peluru berkaliber 5,7Mm, kan, Tuan Jack." Sullivan berjalan santai mendekati Dimitry.

"Cepat katakan dari mana kau tahu namaku atau aku ledakkan kepalamu!" teriak Dimitry kesal, tangannya siap menarik pelatuk.

"Syuutt, jangan mudah marah tuan. Simpan saja senjata anda, karena percuma membunuh saya pun. Rahasia anda akan terbongkar." Sullivan menggerakkan jam di tangannya.

Dimitry sadar itu adalah kamera yang di desain untuk memata-matai musuh. Ia pun menyimpan kembali pistol ke dalam jas. Lalu duduk di kursi dengan perasaan gusar, Sullivan pun ikut duduk di sebelah Dimitry, wajahnya tersenyum sinis.

"Mau apa kau dariku, Sullivan!" Dimitry berseru keras, hatinya merasa gusar.

"Tidak apa-apa, sederhana saja tuan. Saya cuma mau jawaban, mau apa anda pada keluarga Choi?" Sullivan balik bertanya serius.

"Kau tidak tahu apa-apa tentang mereka! Kau hanya tangan kanan, layaknya kerbau yang dicucuk hidungnya oleh majikan, hahaha," hina Dimitry.

Sullivan tersenyum tipis, matanya tajam menatap pada Dimitry. "Jangan suka menyentuh, kalau tidak mau dielus balik. Jangan suka menyenggol, jika tidak mau jatuh ke dalam parit."

"Kau memang seorang pebisnis!"

"Tentu saja, kenapa anda bermain-main dengan saya."

"Kau tidak tahu apapun tentang mereka, Sullivan. Jika kau mengetahui semuanya, aku yakin kau akan meninggalkan mereka," ujar Dimitry, mencoba menghasut Sullivan.

"Saya tidak peduli, saya di sini hanya bekerja untuk mereka. Di luar itu, bukan urusan saya," jawab Sullivan dengan santai.

Dimitry merasa kesal karena tidak mampu menaklukkan Sullivan hanya dengan menakutinya. Dimitry meremas kepalanya, ia pun tertunduk di meja. Sullivan hanya diam menunggu pria itu bicara dengan sendirinya.

Setelah beberapa saat menunduk tak bersuara. Dimitry akhirnya mau angkat bicara, Sullivan terkejut saat melihat mata pria dihadapannya berair. Dimitry menceritakan bagaimana hidupnya, hingga ia bisa sangat dendam pada keluarga Choi.

***

Shireen sudah selesai bekerja, ia tengah merapihkan ruang office di area belakang. Ia senang, karena hari pertamanya dilalui dengan sangat manis. Adegan penangkapan tadi pagi, melekat dalam pikirannya.

Khayalan tentang hidup bersama Sullivan semakin membuncah dalam dada. Ia mulai berkhayal lagi, mengingat sikap manis pria itu padanya saat di Kanada melindunginya. Memberikan kehidupan baru yang lebih baik dari sebelumnya.

Karena mess ada di belakang kantor, Shireen hanya perlu berjalan kaki. Sesampainya di dalam kamar berukuran dua kali dua kali meter itu, ia segera merebahkan tubuhnya. Bayangan Sullivan melintas di pelupuk matanya, senyum tipis dan kebekuan pria itu, menggelitik relung hati Shireen.

Plakk!

Shireen menampar dirinya sendiri, lalu bergumam, "Shireen, please. Lo udah nggak waras, kenapa Om nyebelin itu bikin lo mikirin dia terus," rutuk Shireen.

Cacing di dalam perutnya berbunyi meminta makan. Ia pun segera beranjak ke kamar mandi membersihkan diri. Saat ia mandi, lagi-lagi terbayang wajah Sullivan tersenyum di depannya. Menyunggingkan senyum genit, sambil menyentuh tubuhnya.

"Hai sayang, kamu sexy sekali," goda Sullivan dalam khayalan Shireen.

"Om mau apa, jangan lakuin itu di sini ah, malu di kamar mandi." Shireen pura-pura malu dan menutup tubuh dengan tangannya.

"Ah, jangan suka gitu. Aku rindu loh sama kamu," kata Sullivan kw mengedipkan sebelah matanya.

"Om, jangan Om, aku mohon." Shireen mundur sedikit, tapi kamar mandi yang sempit, membuatnya tak bisa lagi bergerak.

"Jangan lakukan ini Om, nanti di kamar saja," bisik hatinya.

Mereka berdua saling menatap lekat, debaran dalam dada Shireen semakin meletup-letup. Bak mercon yang siap meledak dalam muara asmara. Shireen memejamkan matanya, saat merasakan nafas hangat Sullivan mendekati wajahnya.

Tapi tiba-tiba.

"Woy! Siapa sih di dalam! Lama amat lo, berak apa tidur!" teriak seorang wanita menggedor pintu kamar mandi.

"Astaga!" Shireen terkesiap saat menyadari dirinya sedang berkhayal.

"Iya, iya bentar ya Mbak. Sorry, gue ketiduran pas boker," jawab Shireen. Ia pun tersenyum malu mengingat kelakuannya.

Selesai mandi Shireen langsung mencari makanan di sekitar kantor. Di sana terdapat beberapa kedai lesehan, maupun yang modern. Karena gajian masih lama, Shireen mencari tempat makan yang murah.

Ia tidak mempunyai uang bekal banyak, karena tempat kerja sebelumnya tidak memberikan pesangon. Begitu juga dengan Sullivan yang tidak memberikannya apapun sepulang dari Kanada. Shireen memilih kedai lesehan yang ada tak jauh dari kantor.

"Bang, ikan goreng sama lalapan aja ya," pesan Shireen pada pemilik kedai. Ia pun duduk di meja paling pojok.

Sambil menunggu makanan, Shireen membuka ponselnya. Di sana terlihat foto keluarga yang lengkap dan bahagia. Tangannya bergerak terus menggeser foto yang dikirimkan oleh bibinya. Ia bahagia karena adik-adiknya bisa sekolah dengan tenang.

"Aku bakal berjuang buat kalian, apapun yang terjadi," ucap Shireen lalu mencium foto keluarganya.

"Wah, sayang keluarga sekali sepertinya," sapa suara seorang wanita.

Shireen menoleh lalu menatap wanita tersebut yang tak lain adalah Kanaya. Kanaya duduk tepat di depan Shireen, dengan anggun wanita itu menyunggingkan senyuman yang ramah. Shireen kebingungan dan hanya menganggukkan kepala.

"Boleh, ya saya ikut duduk," kata Kanaya.

"Silahkan, kalau memang ibu nyaman," sambut Shireen, sopan.

"Perkenalkan, nama saya Kanaya, panggil saja Bu Nay." Kanaya mengulurkan tangannya.

"Oh iya, saya, Shireen."

"Kamu karyawan di PT Abinaya?" selidik Kanaya, tanpa basa basi.

"Baru kerja sehari sih, Bu, hehehe," jawab Shireen gugup, ia tidak biasa bicara dengan orang asing terlalu akrab.

"Oh, baru sehari ya. Tapi, sepertinya sudah akrab sekali dengan Pak Sullivan."

"Ibu siapa? Kayanya kita pernah ketemu sebelumnya ya. Kalau tidak salah ingat, Ibu itu dokter yang menangani Om Sullivan di klinik, kan," tebak Shireen.

"Ya, benar sekali, Shireen. Saya dokter Kanaya, dokter sekaligus istri dari Sullivan," jawab Kanaya.

Bagaikan tersambar petir di siang bolong, nafas Shireen tercekat saat mengetahui kebenaran tersebut. Hatinya yang baru saja berbunga, kini layu seketika.

"Istri--, Om Sullivan?" tanya Shireen tak yakin.