Sullivan tersenyum kecut mendengarnya, pria tua bangka itu bahkan tak mengingatnya. Padahal saat kecil Sullivan pernah bertemu dengannya beberapa kali. Terdengar orang tua itu terus mengoceh menghinanya.
Sejak kedekatannya dengan Rangga, Mr Dave memang sudah menunjukkan sikap tidak suka. Tapi karena Sullivan pandai mengambil hati Madam Choi, wanita itu yang selalu jadi bentengnya berlindung. Untuk terus bertahan berada di dalam lingkungan keluarga mereka.
Ia mengeluarkan laptop yang sudah di desain khusus untuk meretas. Saat masuk tadi ia sudah melihat IMEI ponsel milik Madam Choi, tapi apa yang ia cari tidak didapatkan dalam ponsel wanita itu. Sullivan segera menghapus jejaknya, supaya tidak ketahuan.
Sementara di ruang bawah, Shireen sedang duduk bersama Megan. Di depan perapian, Shireen mengusap-usap tangannya yang kedinginan. Ia ingin istirahat di kamar, tapi salju telah menggoda matanya untuk bermain di luar.
"Megan, berapa anak Madam tadi?" tanya Shireen menyelidik.
"Setahu saya satu saja, Den Rangga," jawab Megan.
"Rangga? Siapa dia? Aku belum pernah ketemu."
"Den Rangga, pewaris harta kekayaan PT Abinaya. Dia tinggal di Jakarta, bersama Om Sullivan, Mbak."
"Terus, kalau anaknya cuma si Den Rangga. Om nyebelin itu siapa mereka?" Shireen semakin penasaran.
"Kepercayaan keluarga Mister Dave Choi. Apapun masalahnya selalu beres di tangan dia. Setidaknya, itu yang saya tahu tentang Om Sulli," jawab Megan.
'Nggak enak juga jadi si Om nyebelin. Kok, gue jadi kasihan ya.' Shireen membatin.
"Kenapa, Mbak tanya-tanya tentang Om Sullivan?" Megan balik bertanya.
"Nggak apa-apa, soalnya baru kenal," jawab Shireen, menyunggingkan senyum tipis.
"Baru kenal? Wow, hebat banget baru kenalan udah dibawa jalan ke luar negeri."
"Emang, kenapa?" Shireen merasa heran.
"Dekat sama dia itu susah loh. Aku saja nggak pernah seperti Mbak Shireen," celetuk Megan.
Wajah Shireen berubah kemerahan, ia semakin merasa bahagia, karena bisa menaklukkan seorang Sullivan. Ia berpikir Sullivan menyelamatkan dirinya, pasti karena ada rasa sayang di dalam hati dingin pria itu. Mereka berdua terus bergosip tentang keluarga Choi.
Shireen mendapatkan beberapa fakta yang cukup membuatnya terkejut. Sementara mereka bergosip, dua gadis itu tidak menyadari, bahwa Sullivan tengah menguping pembicaraan mereka dari balik gorden.
Langkahnya yang lembut tak didengar oleh kedua gadis. Sullivan tersenyum lebar dan membiarkan Shireen tahu sebagian sejarah hidupnya. Sullivan sudah memprediksi sesuatu, jika Shireen mengetahui siapa dia sebenarnya.
Malam hari di ruang tengah.
"Sulli, berapa hari kamu berada di sini?" tanya Madam Choi.
"Hingga besok saja, Moms. Saya banyak pekerjaan," jawab Sullivan.
"Are you?" Madam Choi terkejut.
"Why?"
"Saya pikir kamu akan lama di sini."
"Tidak, besok saya ada urusan bertemu klien untuk kontrak baru project perusahaan kita."
"Di mana?"
"Di Ontario, dekat Niagara falls, Moms. Ada klien dari Amerika, yang berani berinvestasi dengan nilai tinggi. Itu sebabnya, saya kejar project ini. Jangan sampai gagal," jawab Sullivan bersemangat.
"Kau memang sangat cerdas Sullivan. Seandainya si Rangga sepertimu, aku tak perlu susah payah untuk ...." Ucapan Madam Choi terhenti, ia takut menyinggung perasaan Sullivan.
"Itsp oke, ada saya di sini, Moms."
"Thanks Sulli, youre the best."
"Youre Wellcome moms."
Pukul 23.45 suasana di kediaman Choi sudah sepi. Lampu di setiap ruangan pun dimatikan oleh para asisten rumah tangga sejak pukul 22.00 tadi. Saat bicara tadi, Sullivan memasukkan sesuatu ke dalam minuman Madam Choi, kesempatannya hanya sedikit.
Sullivan mengendap-endap berjalan ke ruang bawah tanah. Tak lupa ia memakai sarung tangan, supaya tidak meninggalkan sidik jari di mana pun. Di tangannya ia membawa laptop, untuk meretas kode pintu.
Tanpa membutuhkan waktu yang lama, ia berhasil membobol pintu, tak lupa juga ia mematikan kamera cctv yang ada di dalamnya. Saat masuk ke dalam ruangan, Sullivan tidak menyia-nyiakan waktu dan langsung mencari apa yang ia inginkan.
Dia tidak mau tergesa-gesa sehingga menimbulkan kecurigaan. Matanya jeli menatap tumpukan berkas dan langsung tertuju pada tulisan. Rahasia harta keluarga Choi, Sullivan membuka berkas satu persatu. Surat sah pewaris Mr Dave Choi, tidak ada di sana.
"Di mana kira-kira surat itu," gumam Sullivan.
Ia kembali mencari diantara tumpukan laci besi. Ia tidak mengakses brankas dan menyerah. Sullivan hampir putus asa, sampai ia ingat sesuatu yang terlewat saat membaca satu persatu berkas yang tadi sempat ia buka.
"Ha! Dapat!" serunya.
Sullivan segera merapikan berkas seperti semula. Ia langsung keluar ruangan, saat di depan pintu. Ia kembali menyalakan cctv dan semuanya selesai sesuai rencana. Saat akan naik ke kamarnya, ia berpapasan dengan Mr Dave yang duduk di kursi rodanya.
Saat tengah tertidur lelap, Shireen merasakan perutnya keroncongan. Ketika makan malam tadi, ia hanya makan sedikit, demi menjaga pencitraan di depan Madam Choi. Ia keluar dari kamar dan melihat ruangan bawah sudah gelap semua.
"Gimana ya, gue laper banget ini," gumamnya.
Shireen diam beberapa saat dan tercetus ide untuk mencari kamar Megan. Saat ia sedang berjalan pelan, tak sengaja telinganya menangkap suara dua orang yang tengah berbicara. Siapa yang berbincang di malam buta begini, pikirnya.
Terlihat dari kejauhan, bayangan dua orang pria tengah berhadapan. Satu berdiri dan lainnya duduk di kursi roda. Shireen mendekat pelan, ia membuka sendal supaya tidak terdengar langkah kakinya. Ia memasang kuping lekat-lekat dan mendengar suara Sullivan.
"Anda?" sapa Sullivan, ia melipatkan laptopnya.
"Sedang apa kau berkeliaran di malam buta begini. Memangnya kau pikir ini hotel?" desis Mr Dave.
"Saya lapar dan habis dari dapur," jawab Sullivan dengan tenang.
"Untuk apa ke dapur membawa laptop? Jangan-jangan kau akan membobol brankas kami," tuduh Mr Dave.
"Tuan, kenapa anda sangat tidak menyukai saya? Apa salah saya pada tuan?" tanya Sullivan, merendah.
"Saya tidak suka anak jalanan seperti kamu! Jika saja si Choi tidak selalu membelamu, maka saya akan usir kamu dari hidup kami!"
"Kenapa, anda tidak menyukai saya tanpa alasan jelas?"
"Jangan banyak bicara! Saya akan segera menemukan pengganti kamu. Dasar manusia rendah!"
"Terima kasih, tuan," ucap Sullivan, membungkukkan badannya.
Shireen merinding mendengar percakapan mereka berdua. Ia tidak menduga jika seorang Sullivan yang terlihat menyebalkan. Nyatanya dibenci oleh bapak angkatnya sendiri, Shireen salut dengan sikap rendah hati Sullivan.
Tidak lama kemudian kedua bayangan pria itu berpisah berlainan arah. Shireen memejamkan matanya, lal berkhayal seandainya ia menikah dengan Sullivan. Dengan segudang keunikan yang pria tua itu miliki. Maka hidupnya akan bahagia, mempunyai banyak anak meski usia mereka jauh.
"Om, gue rela deh jadi bini kedua. Asalkan lu kuat, sumpah ya lu emang unik," ucap Shireen, matanya masih terpejam.
"Gua memang unik dan ngangenin," balas Sullivan, sambil tersenyum manis di depan Shireen. Gadis itu terlonjak kaget melihatnya berdiri tepat di depan wajahnya.