"Heh anak singa!" kuhentikan jalanku. Di depan, sudah ada Alya anak IPS, dan Sesil anak kelas 1, beserta anak-anak kelas 3 yang tidak aku kenal. Tapi, aku cukup tahu jika mereka adalah serentetan anak-anak tenar dari keluarga kaya.
"Gue?" tanyaku, menunjuk diriku sendiri. Belum sempat aku sadar akan pertanyaanku itu. Tubuhku diseret mereka dengan paksa. Mereka membawaku di belakang gedung kelas 3.
Aku tahu, gedung kelas 3 cukup sepi. Bahkan, biasanya digunakan untuk pacaran anak-anak. Atau bahkan tempat untuk bolos saat pelajaran sekolah.
Aku berdiri tepat di dinding gedung. Sementara mereka mengepungku seolah aku ini adalah sajian yang nikmat. Aku tidak tahu, untuk apa mereka melakukan ini. Toh, aku merasa tidak ada salah apapun dengan mereka. Yang aku tahu hanya, Alya dan Sesil adalah dua dari sekian cewek Ricky. Ya, aku tahu, karena mereka sering bersama dengan Ricky.
"Elo kemaren ditembak, Ricky, kan?" tanya Alya. Aku masih diam, bingung dengan pertanyaan itu. Meski, aku lebih bingung dengan jawabannya.
"Denger ya, cewek aneh, jelek, nggak tahu diri, dungu, cupu, rambut kribo, dan anak singa! Ricky itu hak kita semua! Dia nggak bisa pacaran sama siapapun, dan itu sudah menjadi kesepakatan kami! Jika lo berani main belakang, dan nyuri start dari kami. Tamat riwayat lo di SMA ini! Ngerti, lo?!"
Bukan ucapannya yang membuatku sakit. Tapi, cara menyampaikannya. Seharusnya tidak perlu pakai mendorong dadaku sekasar ini, kan? Seharusnya, tidak perlu menjambak rambutku sekuat ini, kan? Sampai menginjak-injak buku paket yang sedari tadi kubawa. Aku sama sekali tidak ingin Ricky. Toh jika mereka ingin silahkan ambil. Lantas kenapa? Mereka memperlakukan ini padaku? Aku sama sekali tidak mengerti.
"Mana mungkinlah Ricky mau sama itik buruk rupa kayak dia. Yang ada tuh, cewek buluk ini dijadikan taruhan lagi sama temen-temennya." Sesil menambahi. Aku ingin bilang jika Sesil benar. Tapi Mulutku tidak mau bersuara. Aku seperti orang bodoh, yang diperlakukan seperti ini.
"Berengsek!" tambah anak-anak kelas tiga. Mendorong tubuhku sampai aku terjatuh. HP yang aku taruh saku pun ikutan jatuh. Belum sempat aku bisa meraihnya, HP itu sudah diinjak-injak mereka.
Ini menyakitkan....
Mungkin, bagi mereka HP seperti itu bisa mereka beli ratusan. Tapi aku, untuk membeli HP itu aku harus rela menahan lapar karena menabung uang sakuku. Kenapa mereka seperti itu? Apakah karena mereka orang kaya? Itu sebabnya mereka tidak pernah merasakan sakitnya menabung, sakitnya mencari uang sendiri?
"Kalian menjijikkan..." kataku akhirnya, entah setan mana yang merasukiku sampai aku bisa berkata seperti itu, "Untung saja Ricky nggak milih kalian. Kalau iya, gue prihatin sama dia. Dapet pacar yang kelakuannya minus semua."
"E... elo!"
Alya menatapku garang. Tapi tatapan itu kubalas dengan tatapan. Mungkin dia akan menampar, memukul bahkan mendorongku lagi. Tidak apa-apa, aku bisa menahan sakit itu. Tapi setidaknya, biarkan kali ini aku bisa menyampaikan apa yang ada di hatiku. Aku, tidak mau, diinjak-injak seperti ini lagi. Aku sudah cukup sabar, menerima perlakuan seperti ini.
"Berhenti nyakitin cewek gue!" semuanya menoleh, Ricky melangkah mendekat.
Aku masih dalam posisi duduk, memandang HP-ku yang hancur karena ulah mereka. Sementara gerombolan jahat itu. Langsung menjauh dariku kemudian saling tuding. Siapa yang salah, dan siapa yang memberi ide atas perlakuan kejam mereka padaku.
"Ini ide Alya!" seru Sesil.
"Gue disuruh Mbak Mega!" dan terus seperti itu. Tapi, Ricky masih diam. Dia bergeming, matanya tidak lepas menatap ke arahku.
"Gue paling benci. Liat cewek main tangan. Gue benci, ama cewek yang sok preman. Apalagi, cewek yang gue cinta yang jadi korban. Jika gue tahu hal ini lagi, gue nggak akan segan-segan buat matahin tangan kalian, ngerti?" katanya, cukup panjang untuk ucapan seorang Ricky yang selama ini irit bicara.
Semuanya mengangguk, cepat-cepat mereka pergi dari tempat ini. Yang tersisa hanya kami berdua. Aku --- dan --- Ricky.
"Wajah lo, udah kayak topeng monyet," katanya, setelah berjongkok agar bisa sejajar denganku.
Ku abaikan ucapannya, memungut HP-ku yang rusak. Aku harus cepat-cepat pergi. Karena, dialah penyebab aku jadi seperti ini.
"Kalau HP lo rusak, lo bisa pakai punya gue." lanjutnya. Mengulurkan sebuah smartphone keluaran terbaru dan aku tahu, berapa harga HP itu.
"Nggak."
"Lo nggak mau bekas? Ya udah, besok gue belikan yang baru."
"Gue nggak mau apapun dari elo! Gue nggak mau berurusan ama elo, gue nggak mau deket-deket ama elo! Gue hanya ingin belajar, ngelanjutin sekolah gue dengan tenang. Enggak lebih!" bentakku. Segera, aku berlari. Aku harus cepat-cepat pergi dari dia. Aku tidak mau, mengenalnya, dan dekat-dekat lagi dengannya. Cukup hari ini, aku tahu, apa saja bahaya jika aku meneruskan ini semua.
@@@
Sudah dua hari semenjak kejadian itu. Ricky, tidak masuk sekolah. Jujur, aku lega. Karena, aku tidak perlu lagi diganggu dengan dia. Kata Bu Marita, Ricky diskorsing selama dua hari. Dan ini adalah peringatan terakhir. Jika Ricky berbuat ulah lagi, maka pihak sekolah akan mengeluarkan Ricky dengan cara tidak hormat.
Banyak sekali pembicaraan tentang masalah ini. Banyak yang bilang, jika itu hanya ancaman bawang. Karena, mereka yakin, Ricky adalah anak dari salah satu orang terpandang. Itu sebabnya, sampai sekarang Ricky masih bisa ongkang-ongkang di sekolah meski terlalu banyak melakukan salah.
Tapi begitu, banyak juga yang bilang jika ini adalah akhir dari riwayat Ricky. Karena mereka meyakini. Baik uang dan barang-barang mewah yang Ricky punya adalah dari mengencani tante-tante. Dan, aku tidak mau ikut pusing karena itu semua.