Chereads / Dua Malaikat Terakhir / Chapter 2 - Kesalahan Kedua

Chapter 2 - Kesalahan Kedua

Natalie masih tertidur dengan lelap namun raut wajahnya mengisyaratkan kepedihan yang mendalam. Dia mengigau dalam gelapnya malam, "jangan, jangan … apa salah mereka?"

Natalie merubah posisi tidurnya menjadi ke kanan. Kegelisahannya itu tak akan pernah ada yang tau sebab dirinya itu tidur sendiri. Pembantu rumah tangga yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri itu tidur terpisah di kamar lain.

Natalie dan Mona tinggal berdua di sebuah rumah mewah di pinggir sawah daerah Canggu, Bali. Rumah itu berada di situs persawahan, begitu pula dengan kawasan perpantaian Canggu. Rumah itu bertingkat dua di mana Natalie berada di tingkat dua di kamar utama sedangkan Mona berada di lantai satu.

Natalie masih terjebak dengan mimpi yang selalu membayangi tidurnya itu selama kurang lebih lima tahun lamanya. Keabu-abuan itu membuat dirinya resah karena dia ingin sekali keluar dari mimpi itu.

"Adik kecil, kamu lucu sekali. Begitu bersemangat …,

"Walau kau akan mati kubantai juga," bisik si beruang pelan.

"Horeee! Keren sekali! Om ini keren banget! Tante laba-laba juga keren, dan serigala itu imut kayak boneka! Semua kayak di film! Lanjut lagi dong syuting film nya!" kata si gadis sumringah.

Si beruang menunduk sambil menggeleng, dia menepuk dahinya karena merasa ada yang salah. Harusnya anak ini bersedih bukannya malah tertawa dengan girangnya.

"Oke baik, sudah waktunya menuai apa yang kalian tanam sebelumnya." Si beruang memegang gagang trisulanya dengan kedua tangannya, sedangkan apinya makin membesar dan membesar.

Keringat anak gadis itu menetes dengan deras nya karena panas api biru itu makin membesar.

"Om beruang, kok panas sih? Harusnya pura-pura aja, kan?"

Si beruang hanya tersenyum tipis, ia mengayunkan senjatanya menebas angin ke arah suami istri Mills. Sebuah bola api biru besar menghempas kedua orang yang sudah berpasrah diri.

Duaaar!

Tubuh mereka meledak, bahkan ledakan itu seperti sebuah bom dan ledakannya membolongi sebagian lantai 64.

Si gadis kecil itu hanya terdiam, dirinya semakin merasa ada yang tidak beres.

Natalie menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. "Gila!" teriaknya.

"Aaargh!" Si beruang berteriak dengan keras sembari memegang kepalanya yang terasa sakit luar biasa.

Natalie hanya terdiam, menatap si beruang yang kini lemas tak berdaya, dirinya meringkuk kesakitan sambil merintih bak habis dihajar habis-habisan. Dia berbaring di lantai sembari berucap doa yang tak jelas bahasanya bagi Natalie.

"Oh, Astvats im, Oh, Astvats im, Oh, Astvats im. I՞nch' e ays ameny krkin?" tanya si beruang pada Sang Atasan.

"Hey, kenapa kau? Apa yang terjadi?" tanya Natalie pada si beruang.

Natalie menatap pada anak gadis yang sekarang sudah pingsan. Dia menghampirinya, namun tak dapat berbuat apa-apa karena ini hanyalah mimpi.

Kedua makhluk mengerikan yang ditugaskan si beruang untuk menghabiskan seluruh manusia yang berada dalam gedung itu pun kembali keruangan dengan banyak darah di sekitar mulut mereka. Salah satu dari mereka menghampiri si gadis.

"CH'e՞s dipch'um nran! Yes mek ayl skhal yem t'uyl tvel!" Si beruang berteriak walaupun dengan sisa tenaganya itu ia memperingati Nitis.

Nitis mundur perlahan lalu merubah dirinya menjadi bentuk aslinya. Seorang perempuan berbaju terusan putih kusam dan terlihat tua sekali. Rambutnya hitam panjang sekaki, tiga per empat wajahnya tertutup rambut. Kakinya tak memakai alas kaki, tinggi badannya mungkin hanya sekitar 130 cm tapi sangat mematikan bagi manusia maupun iblis sekali pun.

Bagian belakang tubuhnya bolong sebesar buah semangka dan terlihat tulang dan darah segar menetes ke baju lusuhnya. Itulah yang membuat Natalie merinding setiap kali melihat Nitis, julukannya adalah The Mother of all Kuntilanak.

Lain hal dengan Was, seekor serigala dengan tinggi tiga meter. Bulunya abu-abu kebiruan, mata sebelah merah sebelah biru, badannya kekar dan kukunya tebal dan tajam terlihat takkan memberi ampun pada siapa yang menjadi lawannya. Badan besar itu perlahan mundur dan merubah ke bentuk aslinya ke seorang werewolf setinggi dua meter, lebih tinggi dari pada wujud asli si beruang yang hanya 1,85 meter.

Berbeda  dengan Nitis yang berasal dari wujud manusia, Was tak dapat berbicara. Dirinya hanya bisa bersuara mengaum dan menggeram saja.

"Apa sih yang terjadi? Kau bicara apa beruang?" tanya Natalie pada si beruang yang masih meringkuk kesakitan sembari sekarang memegangi leher belakangnya.

Si beruang kembali ke dalam sebuah wujud manusia. Manusia itu memakai setelan jas hitam dan celana hitam bersepatu pantofel hitam.

Mata Natalie terbelalak karena manusia itu putih dan … ganteng maksimal.

"Wow … dia … ganteng, putih dan menawan hati.

"Eh ya… tumben, biasanya mimpiku nggak sampai segini …," batin Natalie.

Manusia itu berdiri pas di depan Natalie tanpa menyadari ada Natalie di situ. Wajahnya kusut namun masih memukau di mata Natalie. Pria itu cukup gagah dengan tinggi 1,85 meter, sedangkan Natalie setinggi 1,8 meter.

"Kamu kenapa? Kenapa tak membunuh gadis kecil itu juga?" tanya Natalie, walaupun dirinya juga tau pria itu tak akan merespon.

"Tidak bisa, Natalie," jawab pria itu.

"A-apaaa! Kau bisa menjawabku? Kau bahkan tau namaku" teriak Natalie.

Pria itu hanya tersenyum lalu mengangkat tangannya ke atas.

Mimpi itu tiba-tiba hilang dan semua hitam. Natalie terbangun dan buru-buru membuka matanya. Dia duduk dan menyingkirkan selimut nyamannya. Badannya berkeringat walau tidur di ruangan berpendingin udara.

"Siapa dia!" Tangannya mengepal dengan keras lagi. "Dia seperti berbicara denganku. Mengapa … mengapa mimpi ini selalu menghantuiku? Mengapa!" keluh Natalie.

Dia memegangi kepalanya sembari menunduk. Ingin rasanya dia meneteskan air mata karena apa yang dia mimpikan bukanlah suatu hal yang menyenangkan, pembantaian sebuah keluarga.

"Ya Tuhan. Tolong aku … aku nggak paham dengan semua ini. Siapa keluarga yang dibantai itu? Siapa pria itu? Dia bilang dia bawahanmu. Bila memang dia bawahanmu, kenapa Kau menyuruh pria itu untuk membunuh? Apa yang mereka lakukan sehingga Kau membunuh mereka?" Suara Natalie lirih miris, karena menurut dia, Tuhan itu baik, selalu baik, dan akan selalu baik. Mengapa membunuh, batin Natalie.

"Ah, baiknya aku meminum pil-pil sialan yang dikasih sama psikolog itu." Natalie turun dari kasurnya lalu langsung turun ke lantai satu. Di bawah ia menemukan Mona yang sedang bersiap untuk menyiapkan sarapan.

"Pagi, Bi Mona," sapa Natalie.

"Pagi, Non."

Natalie menuju ke dapur lalu mengambil parasetamol dan beberapa obat syaraf. Dia mengambil gelas yang sudah disiapkan oleh Mona sebelumnya lalu meneguk obat itu.

"Mimpi lagi, Non?"

"Ya …

"Tapi kali ini lebih panjang. Beruang itu menunjukkan wajah aslinya …,"

"Oh ya?"

"Iya, dan dia ternyata ganteng."

"Ahh, si Non mah bisa aja. Mungkin Non lagi kasmaran aja," kata Mona sembari tertawa terbahak-bahak.

"Ah, Bi Mona mah bisa aja. Dah ah, aku siap-siap kerja dulu."

"Ya, Non." 

Bersambung ...