Chereads / Dua Malaikat Terakhir / Chapter 3 - Cerita Dimulai

Chapter 3 - Cerita Dimulai

Ting.

Sebuah pintu lift secara otomatis terbuka, seorang pria berjas hitam parlente, celana hitam dengan sepatu pantofel keluar dari lift dengan elegannya.

Dia berdeham pelan sembari menyapa petugas keamanan yang sedang berjaga di luar ruangan CEO PT Adimas Trans Damar.

Petugas keamanan itu menunduk sopan lalu memberi hormat dengan menaruh tangannya di depan dadanya.

Samael Eka Damar (1,227 tahun) melewati petugas keamanan dengan gagahnya lalu masuk ke ruangan CEO. Di dalam ruangan itu sudah menunggu beberapa jajaran direksi yang sudah menunggu dirinya.

"Selamat pagi … mohon maaf saya agak terlambat karena harus mengurusi sedikit persoalan … ibukota." Samael duduk di bangku kebesarannya lalu mengait jarinya di atas meja lalu menyangga dagunya.

"Tidak apa-apa Pak. Kami masih setia menunggu," jawab direktur keuangan.

"Baik, laporan bulanan." Para direktur itu dengan sirgap berdiri dan memberikan laporan bulanan pada Samael.

Samael membuka laporan-laporan itu dan langsung melihat dengan mata batinnya. Bibirnya tersenyum tipis karena merasa puas dengan laporan perusahaan miliknya.

"Oke, sudah saya cek. Profit perusahaan kita mengalami peningkatan sebanyak dua persen. Itu sudah cukup baik bagi saya," kata Samael dan semua direksi pun bernapas lega mendengar pernyataan Samael.

Perusahaan yang samael jalankan bergerak di bidang penyewaan transportasi udara seperti pesawat fokker dan helikopter.

"Kembali bekerja," perintah Samael pada semua direksi agar segera bekerja.

Mereka semua berdiri dan keluar ruangan CEO, kecuali ada satu direktur yang menjabat sebagai direktur personalia kembali duduk di bangkunya.

Samael menatap direktur itu dengan senyuman tipis.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Samael.

"Mohon maaf, saya hanya ingin bertanya. Saya penasaran dengan Bapak CEO."

"Bertanya lah, saya tau kamu orang baru di sini."

"Kami membuat laporan ini tiga hari tiga malam, sedangkan bapak bisa menganalisa laporan kami hanya beberapa detik, tidak ada 5 menit."

Samael tersenyum lalu memajukan badannya. Dia akhirnya tertawa terbahak-bahak.

"Lucu sekali. Ya-ya-ya, lucu sekali."

"Kenapa, Pak?"

"Saya ini sudah pengalaman membaca laporan semacam itu, dari angka-angka yang ada, sudah jelas itu dua persen. Kamu meragukan analisis saya?"

"Tidak, bukan begitu Pak. Bapak hebat sekali …,"

"Kembali bekerja, dan berhenti menjilat."

Direktur itu keluar ruangan dengan muka menunduk malu karena usahanya untuk mengambil hati Samael gagal total.

"Grrrr …"

"Khndrum yem k'ez, Was."

"Timeamanakn e, vor duk' unenak' mek ayl kin `shef." kata Nitis sembari mengejek.

"Yes nran kin ei drel miayn ayn depk'um, yet'e ts'ankanum ei spanel nran," jelas Samael tanpa ekspresi sama sekali, cenderung dingin karena sudah jelas baginya, cinta, perkawinan bukanlah kebutuhan baginya. Hanya pekerjaan, yang membuat dia menikah, lalu membunuh istrinya untuk menyelesaikan tugasnya.

Samael merupakan malaikat kematian berwujud asli beruang besar berkepala tengkorak dengan beberapa daging dan darah segar yang masih menetes. Tubuh palsunya itu merupakan seorang pria ganteng berbadan tegap dengan wajah seperti artis Korea yang sedang booming drakornya.

Contoh model itupun ia dapat rekomendasi dari Nitis, si Ratu Kuntilanak yang hobi nonton drakor. "Oppa, yang ini aja, namanya Lee Min Ho!"

"Hah! Ini? Kenapa nggak artis Holywood aja, atau Bollywood?" tanya Samael heran.

Nitis menggeleng tak setuju. "Oppa, Nitis kasih tau ya … kalau mau memikat cewek-cewek pendosa dengan gampang, ya jadi artis Korea!"

"Sok tau …,

"Eh ya kok pake bahasa Indonesia?"

"Capek ahh, Oppa. Seribu tahun kok bahasanya itu-itu melulu."

"Nggak pake bahasa Korea aja?"

"Kita kan di Indonesia sekarang. Cintai dong bahasa Indonesia."

Samael beedeham, "ah tumben kau punya omongan benar."

"Hi hi hi hi hi hi hi hi hi." tawanya memekak telinga Samael, begitu juga Was.

"Grrrrr …,"

"Nah kan, Was aja sampe ngomel tuh!

"Ya udah, kita siang ini cari mangsa." Samael berdiri dan langsung membuat bundaran dengan goresan jarinya di udara.

Lubang teleportasi itu berwarna ungu kehitaman. Samael masuk lalu lubang teleportasi itu dan akhirnya sampai di sebuah perumahan kumuh di daerah Senen, Jakarta Pusat.

"Ahh, baunya. Kejahatan merajalela di sini," jelas Samael.

"Ini bau got, Oppa," sela Nitis.

"Iya juga sih. Kok gue bego ya? Tapi emang bener di sini rawan kejahatan." Samael membela diri.

"Grrr …,"

"Ayo," jawab Samael.

Masih pagi pukul 09.10 WIB, Samael berputar seorang diri. 2 makhluk piaraan mengerikannya itu menunggu di badan Samael, lebih tepatnya mereka tinggal di badan Samael.

Was, yang merupakan serigala, merupakan hadiah -atau lebih tepatnya disebut simbol kekuatan- Tuhan. Dia tinggal di belakang punggung Samael sebelah kanan. Sedangkan Nitis sebaliknya, merupakan hadiah atau simbol kekuatan dari raja iblis. Nitis tinggal di punggung belakang sebelah kiri.

Selama kurang lebih seribu tahun, mereka menjalankan tugas dari Tuhan, yaitu menghabisi para pendosa berat maupun iblis nakal yang berkeliaran (melanggar protokol ke-iblis-an).

Samael sendiri dikontrak Tuhan menjadi malaikat lewat raja iblis. Mengapa raja iblis ikut campur tangan dalam pekerjaan Tuhan? Karena Tuhan tidak dapat membunuh,. Maka dari itu, Tuhan meminta pertolongan dari raja iblis.

***

Sudah satu jam berkeliling, Samael belum menemukan korban satupun. Hanyalah pemalak kelas kecoak yang tidak terlalu meresahkan.

"Pindah tempat dong, Oppa," pinta Nitis lewat telepati.

"Sabar, Tis. Kan kita kan udah dua minggu berkeliling di sini," jawab Samael sambil bersabar sembari berjalan kaki panas-panasan.

"Kalimantan, Oppa."

"Nggak dulu kalo Kalimantan."

"Grrrr …,"

"Amerika? Kejauhan."

"Bau got nih, Oppa."

"Reweeel … Tis! Kadang makan tikus got juga."

"Ishh Oppa. Iyuuh! Itu kan kalo lagi kepepet laper ajaaa!"

"Dah ah, keluar gang dulu … gerah." Samael mengambil langkah keluar dari gang kecil menuju jalan besar di Kwitang, Jakarta Pusat.

Jalan besar itu terbilang tidak terlalu ramai berlalu lalang kendaraan bermotor. Namun ada beberapa pejalan kaki memadati pinggir jalan besar Jalan Kwitang.

Mata Samael tertuju pada seorang anak kecil yang masih berseraga sekolah merah-putih dan berdasi, berkaus aku putih panjang dan bersepatu hitam polos. Dia menutup beberapa bagian mukanya dengan topi merah-putih nya.

Samael berdeham karena melihat perilaku mencurigakan si anak SD tersebut. Kisaran umurnya sepuluh tahunan, dengan postur tubuh yang agak tinggi namun kurus.

Mata anak kecil itu melirik ke kiri-kanan hingga akhirnya terfokus pada seorang ibu yang akan melintas di depannya. Seletah melintas ibu itu, dia berbalik arah dan mengikuti dari belakang.

Dengan cepat, dia menyobek tas ibunitu dengan sebuah pisau lipat yang ia keluarkan dari kantong celana. Pelan tapi pasti, dirinya mengambil ponsel dan dompet si ibu. Dia berbalik arah lalu hendak berkali karena telah berhasil menjalankan aksinya.

Samael berdeham lagi, tangannya dimasukkan ke saku celananya. Matanya hanya terpaku pada si bocah yang tidak peduli bila sedang ada yang memperhatikan dirinya.

Bocah itu melewati Samael dengan acuh, sayangnya, Samael sudah membaca jalan pikiran dan memori anak itu.

"Ah, Juki … Juki." Langkah Juki terhenti karena ada yang memanggilnya. Dia menolehkan wajahnya sedikit pada Samael yang masih berdiri tegak dengan setelan jas perlentenya.

"Julfikri Novianto, nakal ya kamu. Kelas 5 SD udah nyopet." Samael berbalik dan memperhatikan si Juki.

"Om siapa? Belagu amat mentang-mentang orang kaya."

Bersambung ….