THE MAN WHO LOVES PASTRY [Pasha Family Series #1]

🇲🇾Wardah_Ibtisam
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 10.3k
    Views
Synopsis

Prolog

Nabil menyesap secangkir espresso di tangannya dengan tenang. Laki-laki itu mengerang karena rasa nikmat yang manis dan pahit menyatu di lidahnya membuatnya merasa lebih rileks. Awal musim dingin sudah dimulai. Salju-salju terus berjatuhan menutupi kota-kota indah di Jerman, tidak terkecuali di Kota Munich tempat Nabil tinggal. Kalau boleh jujur, Nabil sebenarnya lebih menyukai musim semi yang cenderung hangat dan ceria daripada musim dingin yang selalu membuatnya menggigil setiap saat.

Laki-laki itu kemudian mengambil selembar roti tawar dan dengan cekatan mengoleskan selai cokelat favoritnya. Ketika sedang asik menikmati roti tawarnya, ponselnya berdering. Nabil mengangkat ponsel tersebut tanpa melirik si pemanggil seolah sudah tahu siapa yang berani menganggu rutinitas paginya yang menyenangkan. Orang itu siapa lagi kalau bukan adik lelakinya, Ikram.

"Aku tebak kau sedang menikmati sarapan pagimu dengan santai seperti biasanya, Kak." Ujar suara di seberang sana.

"Kalau kau sudah tahu kenapa masih mengangguku pagi-pagi begini." Balas Nabil dengan cuek sambil terus mengunyah roti tawarnya. Pertanyaan yang sama dan jawaban yang sama setiap hari. Dia sudah sangat hafal dengan apa yang akan dikatakan oleh adiknya itu. Adiknya itu meneleponnya untuk merecoki Nabil tentang pekerjaannya.

"Aku iri sekali denganmu, Kak. Kau bisa menikmati hidup tanpa terikat apapun sementara aku di sini sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen yang harus ditanda tangani setiap hari, seolah tidak ada habisnya. Seharusnya kau yang ada di posisiku." Nah, benar bukan?

Nabil menghela napas sebelum mulai berkata dengan bijak, "nikmati saja, Ikram dan jangan mengeluh. Kau satu-satunya harapan ayah dan keluarga kita. Lagipula kau masih tetap bisa meneruskan hobi fotografimu itu setiap akhir pekan." Bukannya Nabil tidak tahu bahwa cita-cita adiknya itu adalah menjadi fotographer dan menjelajah ke tempat-tempat indah di dunia. Tetapi mau bagaimana lagi? Nabil sendiri sudah lebih dulu merintis karirnya menjadi dokter spesialis di rumah sakit milik keluarga mereka.

Hening sejenak sebelum akhirnya Ikram bersuara. "Kalau kau sudah berkata seperti itu aku bisa apa."

Nabil menyeringai kecil seolah bisa merasakan adiknya yang berkata dengan muka merengut kesal di seberang sana.

"Tapi kalau untuk masalah ini aku pastikan kau tidak akan berkutik, Kak." Kali ini Nabil seolah merasa adiknya sedang tertawa mengejek padanya di seberang sana. Perasaannya tiba-tiba saja tidak enak.

Nabil menyeka bibirnya yang berlepotan selai coklat dengan serbet putih miliknya. Dia bertanya dengan nada gusar pada adiknya "Apa maksudmu, hah?"

"Ibu berpesan bahwa kau harus pulang bulan depan. Ada seseorang yang ingin ia kenalkan padamu. Ku rasa ini cukup adil bagi kita berdua. Aku menjabat sebagai wakil direktur di perusahaan kita dan sebagai gantinya kau harus memberikan cucu pewaris bagi ayah dan ibu. Sudah sewajarnya sebagai seorang bujang lapuk kau harus mulai memikirkan tentang hal ini." Kali ini terdengar tawa puas dari Ikram setelah dia menyelesaikan kalimatnya barusan.

Sial. Nabil merutuki nasibnya karena ibunya tak henti-hentinya mencoba menjodohkannya dengan anak-anak gadis kenalannya. Nabil sadar sebentar lagi usianya memasuki kepala tiga. Kolega-kolega yang sepantaran dengannya sudah menikah dan memiliki anak, sementara dia masih betah menyendiri. Bukannya Nabil tidak ingin menikah, hanya saja dia masih belum menemukan seseorang yang pas dan cocok yang akan menjadi tempat pelabuhan hati terakhirnya. Gadis-gadis yang selama ini di kenalkan ibunya kepadanya sama sekali bukan termasuk tipenya. Mereka hanya sibuk berdandan dan mencoba menarik perhatiannya. Beberapa bahkan ada yang terang-terangan mengejarnya hanya karena mereka tahu bahwa Nabil berasal dari Keluarga Pasha yang kaya raya. Nabil dan Ikram memang sudah berada di usia dimana mereka sudah harus memikirkan rencana untuk membangun sebuah keluarga. Tapi untuk hal yang satu ini orang tuanya, khususnya ibunya berharap penuh padanya untuk segera menikah. Ikram tidak mendapatkan tekanan apapun untuk menikah karena dia sedang sangat sibuk dengan urusan perusahaan yang ayah mereka serahkan kepadanya sejak beliau pensiun.

"Simpan saja ucapan barusan untuk dirimu, Dude. Jangan bertingkah seolah kau baru berusia delapan belas tahun. Kau dan aku tidak ada bedanya. Berhati-hatilah karena bisa saja jika yang ini tidak berhasil denganku, maka kau adalah target ibu selanjutnya." Nabil berkata dengan nada licik, membuat tawa puas Ikram tadi tersumpal karena kebenaran kalimat kakaknya barusan.

Nabil menyeringai puas.

Seharusnya adiknya tidak melawannya berdebat, karena sudah bisa dipastikan Nabil lah yang akan selalu memenangkan perdebatan itu.

Bersambung~