Chereads / HAWA CINTA DI BUKIT FAJAR MEIGAGO / Chapter 5 - III.CINTA DARI BUKIT FAJAR MEIGAGO

Chapter 5 - III.CINTA DARI BUKIT FAJAR MEIGAGO

Saat itu Ayah Herman masih kecil dan lucu tetapi ia selalu hidup berteman dan bersahabat. Meigago adalah tanah warisan leluhur sekaligus menjadi tempat sejarah hilangnya rasa cinta persaudaraan kala itu. Di bukit ini, moyang dari Herman kehilangan dua orang saudara perempuan dan akhirnya tidak ditemukan. Kisah ini masih diketahui hingga kini. Ternyata alam di bukit ini mengalihkan langkah kedua perempuan ini ke alam Meigago sehingga saudaranya yang ditinggalkannya tidak dapat berinteraksi lagi. Bukit ini mengisahkan sungguh berartinya alam mencintai manusia dan manusia mencintai alam. Tetapi cinta ini masih ada ketika sisa saudaranya melanjutkan kehidupannya. Ayah Herman lahir dan hidup di lingkungan dan alam yang bersahabat. Ia mengalami banyak peristiwa penting tentang kehidupan. Sifatnya yang suka berteman dan bersahabat itu memampukannya untuk belajar otodidak dari alam dan manusia serta banyak filosofi (filsafat) kehidupan Suku Mee ia terimanya dengan mudah. Di suatu saat Herman bersama teman-temannya bermain di suatu halaman. Saat itu adalah saat tetangga yang agak jauh dari rumahnya membunuh ternak babi. Herman bersama teman-temannya termasuk keluarga yang biasa-biasa tidak mempunyai harapan akan makan daging babi layaknya keluarga berada. Tiba-tiba ia terkejut di pertengahan main bersama teman-temannya, melihat Mamanya menghampirinya. Sebelumnya ia mengira ia akan dimarahi atau bahkan dipukul, tetapi malah dikasihi sepotong daging babi dari mamanya. Ia bergembira ketika itu. Lalu mereka hentikan permainan, lalu Herman bersama teman-temannya hendak memasaknya dengan cara membakar di bara api, tetapi dalam usia yang masih kecil seperti itu adalah suatu hambatan yang sulit untuk mendapatkan api. Apalagi belum mahir menyalakan api dengan beko mamo (korek api) tradisional Suku Mee.. Herman yang cerdik dan lincah ketika itu tidak kehilangan akal untuk bagaimana mendapatkan api yang sedang dipasang di "Emawa" (Rumah Adat Pria Dewasa Laki-laki Suku Mee di Papua). Perlu disampaikan di sini bahwa Budaya Hidup Suku Mee adalah anak-anak tidak diperbolehkan masuk ke Emawa secara sembarangan kecuali ada alasan mendasar tertentu. Nah, di dalam Emawa itu banyak lelaki Dewasa yang duduk berhadapan mengelilingi tungku api itu. Dengan pikirannya yang lincah, Herman pun mengumpulkan teman-temannya dan mengajari cara bagaimana mendapatkan kayu api yang menyala di tungku api tersebut. Adapun taktik yang diajarinya adalah :

"Teman-temannya yang lain termasuk Herman mengejar salah seorang teman yang ayahnya ada di dalam Emawa itu untuk alasan memukulnya, mereka mengejar terus hingga ia masuk ke Emawa lalu ketika itu ia masuk langsung ambil kayu api dan mengejar mereka kembali dengan membawanya keluar untuk mencoba melemparkannya ke arah mereka berdalih marah besar". Siasat itulah yang Herman ajarkan di kala itu. Sehingga tujuan mereka pun tercapai.

Pembaca tentunya bertanya, mengapa kok tidak saja meminta api, simpel kan? Tetapi perlu diingat bahwa untuk meminta api, apalagi seusia Herman kala itu tidaklah mudah. Malahan tidak bakalan dikasih. Sehingga itulah siasat yang baik untuk mendapatkannya. Demikianlah akhir dari cerita ini bahwa oleh karena rasa sayang dan cintanya yang besar kepada teman-temannya akhirnya ia bersama teman-temannya yang papa adanya itu bersama-sama membakar daging babi dari suatu tempat di bukit Meigago. Mereka pun menikmatinya dengan penuh rasa syukur. Sehingga pancaran fajar cinta yang menghawakan jiwa terus terjaga.