Dua orang perempuan berwajah mirip, berambut panjang lurus berwarna pirang, dan dengan kedua mata yang ditutupi kain berwarna tengah beradu pedang di bawah gelapnya malam yang bertabur bintang.
Charla dan Athena bertarung dengan sengit untuk saling mengasah kemampuan mereka dalam menggunakan pedang. Athena menggunakan pedang panjang sepanjang seratus empat puluh centimeter sebagai pedang andalannya, sedangkan Charla menggunakan katana sepanjang seratus sepuluh centimeter untuk melawan Athena.
"Aku baru tahu kau ini cukup ahli dalam bermain pedang, Charla," puji Athena sambil menyerang kakak tirinya.
"Aku belajar ninja sejak kecil dan itu cukup menyenangkan meskipun berat," balas Charla dengan penuh percaya diri.
Setelah bertarung dengan sengit selama sepuluh menit, mereka berhenti bertarung.
"Di mana kau belajar ninja, Konohagakure, Kirigakure atau Kumogakure?" tanya Athena melepas kain putih yang menutup matanya.
"Yang jelas bukan di ketiga desa tersebut, karena ini bukan cerita Naruto," jawab Charla ikut melepas kain putih yang menutup kedua matanya. "Juga bukan di Ninja Hatori."
Kedua perempuan itu berjalan menuju ke arah seorang perempuan berusia sekitar empat puluh empat tahun yang tengah duduk sambil meminum secangkir teh hangat.
"Jadi suara besi yang berisik itu kalian berdua. Aku kira siapa," kata Nyonya Kanselir yang tengah menikmati secangkir teh. Di mejanya telah tersajikan beberapa buah dan juga dua gelas air putih hangat.
"Athena mengajakku latihah dan akhirnya kami latih tanding," kata Charla kepada Ibunya.
"Oh, begitu," jawab Elizabeth singkat.
Athena mengambil potongan buah pepaya yang telah dipotong oleh ibu tirinya dan memakannya.
"Buah-buahan tropis memang sangat nikmat dan bergizi, walaupun Indonesia selalu membuat rumit birokrasi mereka sendiri untuk mengekspor hasil bumi mereka ke beberapa negara," ungkap Athena. "Padahal mereka lebih untung jika mengekspor hasil bumi mereka ke beberapa negara daripada ke negara-negara Blok Amerika Utara. Bahkan ada juga yang merugi karena tidak dibayar."
"Para Politikus Indonesia itu masih bermental inlander. Mereka masih merasa rendah jika dihadapan orang-orang Europa, Arab, dan Amerika. Aku sempat bekerja di sebuah proyek di Kementerian Teknologi dan Informatika Indonesia dalam mengembangkan sebuah aplikasi dengan nilai proyek yang fantastis. Padahal menurutku proyek itu bisa dikerjakan oleh orang-orang mereka sendiri dengan biaya yang lebih murah. Mungkin karena mental inlander mereka, sehingga mereka menganggap bahwa sebuah proyek yang melibatkan campur tangan orang-rang Europa terlihat keren dan juga ada proyek maka ada uang yang bisa masuk ke kantong pribadi," ungkap Charla.
"Wow, ternyata secara tidak langsung kau juga menikmati uang haram tersebut," kata Athena dengan takjub dan kemudian dia tertawa.
"Sebenarnya aku menolak, tapi mau bagaimana lagi. Dosen telah menunjukku dan aku harus bersikap profesional. Terlebih targetku dan Charlemagne adalah lulus di usia sembilan belas tahun," balas Charla.
"Enak yah, punya otak yang jenius, bisa naik jenjang dengan begitu cepat," kata Athena, karena dia sadar akan kemampuan otaknya yang pas-pasan.
"Kau juga jenius, Athena. Kau bisa menguasai banyak bahasa. Bahkan kami berdua masih belajar bahasa Perancis darimu? Kira-kira kau nanti akan kuliah di mana?" tanya Charla pada Adik tirinya.
"Aku masih belum memikirkannya. Salah pilih jurusan bisa fatal. Makanya aku ingin fokus dalam kegiatan wajib militer dulu untuk saat ini," jawab Athena.
"Memang sih, kalau kuliah itu harus dipikirkan matang-matang. Aku memilih jurusan komputer karena memang sejak kecil aku memiliki minat dan niatan untuk hidup di dunia komputer," balas Charla.
Ponsel Charla berbunyi dan dia membuka sebuah pesan masuk dari ayahnya. Pesan itu berbunyi, 'Kemarilah, Charla. Ada hal penting yang ingin kita bicarakan berdua.'
"Ayah memanggilku, aku pergi dulu, yah."
Charla segera bergegas menuju ke tempat ayahnya. Dia memasuki kamarnya, di mana ayahnya sedang duduk sambil membaca buku.
"Maafkan aku yang memasuki kamarmu secara tiba-tiba," katanya dengan kalimat yang halus dan santai, tetapi dari irama detak jantung ayahnya yang terdengar, menurut Charla ada hal yang penting yang akan dibicarakan, dan tidak bisa ditunda.
Charla duduk di depan ayahnya tanpa menanyakan hal apapun.
"Kemarin sore aku bertemu seorang perempuan saat sedang bersama dengan tiga Anak kembar Fredericka. Dia bilang bahwa dia adalah gurumu yang melatihmu sebagai wizard dan juga seorang ninja," katanya. "Apakah kau yang membunuh para vampir dari grup Nachzarer? Selain itu dua hari yang lalu kau menghilang secara tiba-tiba."
"Yah, aku telah membalaskan dendam Charlemagne dan juga membersihkan harga diri kita," jawab Charla dengan ekspresi wajah serius dan tatapan matanya yang tajam serta nada suaranya yang terdengar dingin.
Leopold tersenyum tipis mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Charla. Dia tidak menyangka bahwa anak pertamanya sama seperti dirinya, memiliki sisi gelap, meskipun sisi gelapnya Charla tidak segelap, dan sekelam orang tuanya, "Stasi menemukan aktivitas mencurigakan di Bavaria. Misimu adalah membunuh mereka."
Leopold menyerahkan foto sepasang orang berbeda kelamin.
"The Usher Twins," gumam Charla. Perempuan itu terdiam dengan seksama memerhatikan foto mereka yang berwajah sama meskipun berbeda kelamin.
"Kalau kau tak mau melakukan misi ini juga tidak masalah. Aku akan memerintahkan orang lain," kata Kanselir Leopold yang memperhatikan Charla yang terdiam.
"Baiklah, aku akan menerima misi ini," balas Charla dengan penuh semangat.
Kanselir Leopold memeluk tubuh anak Perempuan pertamanya dan membisikkan sebuah kalimat, "Ini hanya rahasia kita berdua. Jangan sampai yang lain tahu. Pergilah di saat tidak ada yang melihatmu dan hati-hati, Charla."
Pelukan ayahnya terasa begitu hangat dan menenangkan. Ini sama seperti pelukan dari ibunya. Charla terlihat senang dan bahagia mendapatkan pelukan hangat dari sang ayah, terlepas pada sebelumnya Charla pernah menghajar ayahnya sampai babak belur.
"Aku akan hati-hati, ayah."
.
.
Sepasang Pemuda kembar berbeda kelamin tampil di hadapan ribuan penonton dalam Muenchen Folk Fest yang bertempatkan di pinggir hutan di Kota Muenchen. Pasangan kembar berbeda kelamin tersebut adalah Roderick Usher dan Madeline Usher. Roderick memainkan gitar akustiknya dengan sangat syahdu, sedangkan Madeline dia bernyanyi layaknya sang bidadari yang sedang menyanyikan lagu sebelum tidur. Seperti ini lirik-lirik dari bait pertama lagu dari The Usher Twins yang berjudul, The Haunted Palace:
In the greenest of our valleys
By good angels tenanted,
Once a fair and stately palace—
Radiant palace—reared its head.
In the monarch Thought's dominion,
It stood there!
Never seraph spread a pinion
Over fabric half so fair!
[The Haunted Palace, Puisi karya Edgar Allan Poe.]
[Keruntuhan Keluarga Usher, judul chapter ini diambil dari Cerpen karya Edgar Allan Poe yang mengisahkan tentang sepasang manusia kembar berbeda kelamin yang bernama Roderick Usher dan Madeline Usher.]
Setelah lima menit membawakan lagu The Haunted Palace, para penonton memberikan tepuk tangan yang meriah untuk The Usher Twins. Para penonton dibuat takjub akan kehebatan mereka dalam membawakan karyanya, khususnya karya-karya mereka yang bergenre Neofolk.
Setelah mereka selesai dari panggung mereka. Roderick dan Madeline berjalan bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih.
Kehidupan itu adalah cahaya dan kegelapan. Di mana ada dunia yang terang, maka ada sisi gelapnya yang kelam dan suram, dan di mana ada kegelapan, maka ada cahaya yang meneranginya dan menolong orang keluar dari kegelapan tiada akhir.
Di balik karir mereka yang cemerlang, mereka adalah sepasang manusia pesakitan. Orang tua mereka adalah kakak-beradik yang pesakitan akibat hubungan inses. Dan kini mereka mengikuti jejak kedua orang tua mereka, di mana Madeline, dan Roderick juga menjalin hubungan cinta inses meskipun fisik mereka lemah.
Di balik karir mereka yang cemerlang, mereka memiliki sisi kelam, dan gelapnya, yaitu perdagangan obat-obatan terlarang. Pemerintah Bavaria tidak memberangus bisnis mereka, karena mereka menjual obatan-obatan terlarang tersebut ke Benua Amerika, Asia, dan Afrika. Dari hasil penjualan obat terlarang tersebut, Pemerintah Bavaria mendapatkan jatah uang.
Rumah tua itu dan lanskap biasa di sekitarnya, tembok-tembok suramnya, jendela-jendela bak mata yang menerawang, beberapa baris rumput alang-alang, beberapa pepohonan yang batangnya membusuk.
Pasangan inses tersebut menjadikan rumah mereka yang suram itu sebagai pabrik produksi obat-obatan terlarang. Rumah tersebut terletak di pinggir tepian terjal dari sebuah danau berwarna hitam dan menyeramkan.
Di dalam ruang bawah tanah dari rumah mereka yang besar dan suram, produksi dari obat-obatan terlarang dilakukan. Di sana terdapat berbagai macam gelas tabung, barel, derijen, neraca, kompor kimia, dan zat kimia, baik yang padat, cair maupun yang serbuk seperti tepung gandum habis digiling. Orang-orang di dalam ruang bawah tanah dari rumah mereka yang besar dan suram, sedang bekerja melakukan proses produksi dan pengepakan dari obat-obatan terlarang untuk dikirim ke kawasan Sungai Kongo dan Amerika Latin.
Roderick dan Madeline sedang mengawasi proses produksi tersebut bersama dengan seorang Petugas dari Pemerintah Bavaria.
"Beruntungnya kalian memiliki rumah besar yang suram, dengan begini, proses akan berjalan dengan lancar," ucap seorang Petugas Pemerintah dengan nada puas.
"Kami juga senang karena Pemerintah melindungi dan menjamin kami," balas Madeline dengan ekspresi sendunya.
"Kegelapan harus ditutupi dengan cahaya karir kami yang cemerlang," ungkap Roderick.
"Kira-kira akan dikirim ke mana produk kalian?" tanya sang Petugas Pemerintah.
"Kawasan sungai Kongo dan sungai Amazon," balas Roderick dengan tatapan matanya yang begitu kosong.
"Sebenarnya kami ingin mengirimkan ke planet-planet lain. Tapi sayangnya, uang untuk menyuap Departemen Luar Angkasa sangatlah besar dan jika kami hitung-hitung, mengirim obat-obatan tersebut ke planet-planet lain justru merugikan kami," ungkap Madeline dengan ekspresi bosannya.
"Yang berduit yang punya kuasa. Hahahaha....." tawa garing dari Petugas Pemerintah, "Tapi jangan khawatir, Kembar Usher. Rejeki sudah diatur oleh Tuhan dan sepertinya Benua Amerika dan Afrika adalah ladang rejeki kalian sekaligus hadiah dari Tuhan," lanjutnya sedikit bijak.
"Kami tidak percaya dengan Tuhan," ucap Usher bersaudara secara bersamaan.
.
.
Untuk menghilangkan rasa bosan dalam perjalanan mengendarai Bis. Charla tengah menonton sebuah film horor Perancis jaman dahulu. Film horror tersebut berjudul "La Chute de la maison Usher" yang diadaptasi dari cerpen karya Edgar Allan Poe, "The Fall of the House of Usher."
"Keluarga Usher akan runtuh di saat malam Bulan Purnama yang sinarnya semerah darah. Barang siapa yang memasuki Istana ini, dia adalah seorang Penakluk. Barang siapa yang membunuh sang Naga, perisai ini akan dia menangkan," gumam Charla setelah selesai menonton film tersebut.