Chereads / Swords Of Resistance: Endless War [Indonesia] / Chapter 45 - Bab 45, Aphrodite Louise Simone Wilhelmina van den Bosch, Part 3

Chapter 45 - Bab 45, Aphrodite Louise Simone Wilhelmina van den Bosch, Part 3

Kanselir Leopold, istri, dan ketiga anaknya tiba di sebuah rumah pertanian yang terletak di sebuah pedesaan di selatan Kota Berlin. Rumah tingkat dua tersebut milik dari seorang Guru beserta suaminya yang berprofesi sebagai Petani yang merupakan orang tua angkat dari Brigadir Jenderal Frederick Edward.

Frederick Edward dan istrinya tengah mempersiapkan berbagai macam hidangan di atas sebuah meja makan yang memanjang.

"Di mana kelima Keponakanku?" tanya Kanselir Leopold.

"Mereka berlima sedang pergi dengan kakek dan nenek mereka," jawab Frederick Edward.

"Pantas saja kau sangat betah di sini. Tempat ini memiliki pemandangan yang indah," kata Kanselir Leopold yang tengah melihat hamparan ladang gandum dari lantai dua.

"Setelah ayah dan ibu membuangku, Frau Eleonora Pozorska dan suaminya, tuan Florian Raczkowski menerimaku dan mulai mengadopsiku sebagai anaknya. Aku merasa bersyukur mereka mau mengadopsi anak nakal sepertiku," balas Brigadir Jenderal Frederick Edward.

Dengan wajah yang terlihat sedikit kesal, Athena, dan Charla menghampiri ayahnya dan menyikut dadanya dari dua arah.

"Kenapa ayah menanyakan mereka?" ungkap Charla kesal.

"Terlebih Daniela, bocah sialan itu selalu membuat kami berdua kesal," sahut Athena.

"Apakah salah jika-" pertanyaan yang diontarkan Kanselir Leopold segera dipotong oleh kedua anak perempuannya.

"Salah!" bentak kedua perempuan berambut pirang tersebut secara bersamaan.

"Daniela selalu mengejekku dengan sebutan perempuan berdada rata yang harus dijauhi. Padahal bocah sialan itu juga berdada rata. Aku benci dengan anak yang tidak tahu diri!" ungkap Charla dengan penuh kekesalan.

"Daniela sering menghinaku dengan sebutan sapi perah dan anak pungut. Aku benar-benar tidak terima dan rasanya ingin menghajar bocah keparat itu!" ungkap Athena yang tidak kalah emosinya.

Frederick Edward, Monica, Elizabeth, dan Charlemagne hanya bisa terdiam mendengar keluh kesah kedua anak perempuan tersebut.

"Daniela benar-benar mirip denganmu, Ed," gumam Monica terkekeh.

"Tapi aku tidak pernah sampai menghina orang seperti itu dan mengucapkan kalimat kotor & kasar. Anak itu adalah warisan darimu saat masih muda," balas Frederick Edward.

Monica bersikap dengan tenang dan santai mendengarkan balasan dari Suaminya, "Terlepas dari kelakuannya Daniela. Aku yakin dia akan menjadi anak yang baik."

"Yah, sebagai orang tua, kita hanya bisa meyakini bahwa anak kita akan menjadi anak yang baik walaupun butuh proses yang lama. Meskipun aku sangat heran, bahwa Daniela itu sangat nurut kalau Frau Eleanora, dan Tuan Florian menasehatinya, meskipun mereka tidak ada hubungan darah," ungkap Frederick Edward.

[Frau, sebutan untuk Guru Perempuan dalam Bahasa Jerman.]

"Terkait pesan kemarin malam. Apa paman Edward bilang, ibuku masih hidup?" tanya Athena menghampiri Pamannya.

"Iya, dan bersama dengan pasangan lesbiannya dia sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Dia juga memiliki anak tiri yang merupakan bawahanku di Brigade Ruhr," balas Frederick Edward. "Dia sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu, Athena."

"Begitu," kata Athena. Perlahan air mata bahagia keluar dan membasahi sepasang mata birunya yang indah.

"Simone masih hidup katamu," kata Elizabeth terkejut.

"Aku dan Monica telah bertemu dengannya empat hari yang lalu. Kalau tidak percaya cari saja di IG dengan alamat @EstiavdL," balas Frederick Edward.

Elizabeth membuka akun IG dari alamat yang disebutkan oleh adik iparnya. Akun IG tersebut menampilkan foto-foto dari seorang perempuan berkacamata bundar dengam rambut panjang berwarna pirang yang dikuncir. Dia begitu terkejut akan penampilan Simone.

"Ya, ampun. Ini memang benar Simone. Aku tidak menyangka bahwa dia masih hidup selama ini. Syukurlah, aku benar-benar senang," ungkap Elizabeth dengan bahagia.

Leopold yang melihat foto-foto Simone dari ponsel istrinya bereaksi biasa saja, seolah-olah tidak ada hal yang istimewa baginya.

"Aku tidak menyangka kalau dia masih hidup dan aku senang mendengarnya," balas Leopold dengan nada datar.

Charla menghampiri Athena dan memeluknya dengan erat.

"Selamat yah, Athena, adikku. Aku benar-benar senang bahwa ibumu masih hidup dan sedang dalam perjalanan ke sini," kata Charla.

"Terima kasih, Charla," balas Athena.

.

.

Pukul sembilan pagi waktu setempat, dua orang perempuan berpakaian longdress berwarna sama, yaitu biru keabu-abuan. Salah satu diantara mereka mengenakan kacamata bening, yaitu Simone.

Simone dan Juliette berjalan santai memasuki rumah tersebut di mana Frederick Edward tengah berdiri untuk menyambutnya.

"Selamat pagi, Tuan, dan Nyonya dari Klan Oranien-Nassau," sapa Simone kepada mereka semua.

Athena segera berlari menuju Ibunya dan melompat memeluknya. Athena memeluk dengan erat tubuh Ibunya yang sangat dia rindukan. Mereka berdua terlihat seperti melihat Kakak dan Adik daripada Ibu dan Anak.

"Aku senang kau masih hidup," ungkap Athena menangis bahagia. "Aku benar-benar kaget sekaligus senang bahwa kau masih hidup."

"Aku juga senang bertemu denganmu, Athena, anakku," balas Simone membalas pelukan Athena. "Maafkan aku yang telah pergi selama ini."

"Tak masalah. Ayah, Paman Edward, Bibi Monica, Pangeran Nikolaus, Puteri Juliana, dan yang lainnya telah merawat dan mendidikku dengan baik. Jadi ibu tak perlu khawatir denganku," balas Athena.

"Pertemuan yang membahagiakan," ujar Juliette. "Dia itu tidak jujur dengan dirinya sendiri dan dia memintaku untuk segera bertemu denganmu, Athena. Maaf jika harus mengganggu waktu santai kalian dan khususnya untuk Puteri Monica dan Brigadir Jenderal Frederick Edward."

"Tidak masalah," balas Frederick Edward. "Anggap saja ini pertemuan antar anggota keluarga yang telah lama menghilang dan aku sengaja mengundang kalian semua untuk reuni setelah lama tidak bertemu."

"Melihatnya seperti anak kecil meskipun sudah berusia empat puluh tahun," kata Kanselir Leopold berjalan bersama dengan Elizabeth menghampiri Athena dan ibu kandungnya. "Aku senang melihatmu masih hidup dan terlihat bahagia, Countess Aphrodite Louise Simone Wilhelmina van den Bosch."

"Sepertinya kau sudah berubah, yah, Kanselir Leopold. Aku senang melihatmu bahagia dengan Nyonya Elizabeth," balas Simone tersenyum kepada mantan suami dan istri pertama dari mantan suaminya.

"Aku belajar dari waktu dan pengalaman sehingga membuatku untuk terus melangkah menjadi lebih baik lagi," balas Kanselir Leopold.

Elizabeth menghampiri mereka berdua dan memeluk Simone juga Athena. "Ya ampun. Aku benar-benar tidak menyangka kau itu masih hidup. Aku benar-benar kangen kamu, Simone, kawanku. Kau tidak ada perubahan dari dulu, hanya saja kau terlihat seperti anak remaja yang ingin kuliah."

Simone tertawa lepas mendengar kalimat yang diucapkan oleh Elizabeth. "Semua ini aku lakukan untuk menyamarkan identitasku, hanya saja empat hari yang lalu aku bertemu dengan Puteri Monica, Brigadir Jenderal Edward yang mampir ke tempatku di Mützenich, dan akhirnya kita bisa bertemu sekarang ini," balas Simone yang tersenyum seraya meneteskan air mata bahagia.

"Jadi dia itu Ibunya Athena," ujar Charla yang bersama Charlemagne menghampiri kedua orang tua mereka yang sedang bersama dengan Athena dan ibunya Athena. "Aku kira dia siapa."

Simone menatap Charla dan Charlemagne dengan seksama. Perempuan berambut panjang dikuncir itu segera berjalan menuju ke arah kedua anak kembar beda kelamin tersebut dan memeluk mereka berdua. "Ya ampun, Charla, dan Charlemagne. Aku tak menyangka bahwa kalian sudah besar. Padahal saat aku membantu persalinan Elizabeth, kalian berdua masih kecil. Begitupula ketika aku menyusui kalian. Sekarang kalian sudah besar."

Charlamagne hanya diam dengan ekspresi wajahnya yang terlihat kikuk dan merah.

"Wajar saja kami sudah besar karena kami berusia dua puluh tahun," balas Charla. "Kau kemana saja, Moms. Athena benar-benar sangat merindukanmu."

"Aku hanya ingin menjauh dan menyendiri. Walau aku tahu bahwa itu adalah hal yang salah sehingga membuat Athena menderita," lirih Simone dengan penuh penyesalan.

"Kau tidak perlu khawatir denganku. Aku bukanlah anak kecil, terlebih ada Ayah, Paman Edward, Bibi Monica, Pangeran Nikolaus, Puteri Victoria, dan yang lainnya," balas Athena.

"Aku harap kau tidak terangsang dengan ibu tirimu yang seksi, Charlemagne," goda Kanselir Leopold tertawa garing.

Charlemagne terlihat kesal dengan kalimat humor gelap yang dilontarkan Ayahnya, "Aku adalah lelaki baik-baik, Tuan Kanselir! Bukan lelaki kesepian yang suka bermain perempuan."

Kanselir Leopold kembali tertawa garing mendengarnya, "Maaf aku hanya bercanda."

"Itu tidak lucu, Kanselir bajingan!" bentak Charlemagne pada Ayahnya.

Kanselir Leopold terlihat sedikit kaget, karena baru pertama kalinya dia melihat Charlemagne marah membentaknya dengan mengeluarkan kata yang kasar. Memang benar bahwa orang yang pendiam kalau diganggu akan sangat mengerikan jika marah.

Simone melepaskan pelukannya pada kedua anak tirinya, "Kau benar-benar mirip dengan Leopold, hanya saja kalau kau marah mirip dengan Elizabeth," kata Simone memandang Charlemagne.

"Wajar saja, aku adalah anak ibu, dan terlebih ayah melontarkan candaan gelap. Sesuatu yang tidak lucu!" balas Charlemagne dengan nada ketus.

Charla menepuk pelan pundak adik lima menitnya, "Sabar Charlemagne. Ayah kita kalau sedang sinting terkadang suka begitu." Charla lalu menatap Ayahnya, "Untung saja ayah tidak dihajar oleh Charlemagne. Mengingat Charlemagne dikenal jago berkelahi."

Juliette tersenyum lebar melihat reuni Keluarga yang penuh haru dan bahagia dari Simone beserta Athena dan keluarganya.

"Aku bahagia melihatmu bahagia, Simone," ujar Juliette.

Kanselir Leopold memperhatikan dengan seksama Juliette yang berdiri di dekat pintu. Dia menepuk pelan pundak mantan istrinya, "Siapa Perempuan di sana?"

Simone menolah dan menjawabnya, "Dia adalah Juliette Rosenbluth, pasangan hidupku."

Ketiga anak dari Kanselir Leopold sedikit kaget mendengar jawaban dari Simone yang terlalu terbuka. Kanselir Leopold, Elizabeth, Frederick Edward, dan Puteri Monica bersikap biasa saja akan jawaban Simone.

Tangan kanan Kanselir Leopold memegang pundak bahu kanan mantan Istrinya, "Sebelumnya aku benar-benar minta maaf karena telah menghianatimu. Aku benar-benar minta maaf."

"Sudalah, lupakan saja. Anggap saja hal buruk itu tidak pernah terjadi di antara kita semua," ungkap Simone dengan ekspresi wajah yang datar.

Elizabeth menghampiri Kanselir Leopold dan Simone yang terlihat canggung. Perempuan berambut pirang kecokelatan itu menarik pergelangan tangan mereka berdua lalu memeluknya.

"Aku baik-baik saja," balas Elizabeth dengan wajah yang berlinang air mata. "Dan kita semua baik-baik juga."

Elizabeth lalu melepaskan pelukannya dan melambaikan tangannya ke arah Juliette yang tengah berdiri menyandar pada sebuah pohon apel.

"Ayo kemari," sahut Elizabeth menyuruh Juliette untuk menghampiri mereka.

Juliette berjalan perlahan menuju ke arah mereka.

"Tak seharusnya kau menyendiri, Nyonya Juliette," kata Elizabeth.

"Maaf, aku tidak bermaksud buruk. Hanya saja aku tak ingin mengganggu kalian," balas Juliette malu-malu.

"Terima kasih telah menemani Simone selama ini, Nyonya Juliette," ujar Kanselir Leopold. "Aku benar-benar merasa bersyukur Simone mendapatkan pasangan terbaiknya."

"Saat itu kami hanyalah sama-sama perempuan yang kesepian dan akhirnya aku sadar bahwa ini adalah yang terbaik," ungkap Juliette. "Memang ini gila dan tidak normal serta bertentangan dengan hukum negara dan hukum agama. Namun kami saling cinta."

"Bagiku itu tidak masalah dan melihat kalian berdua hidup sebagai pasangan yang saling mencintai satu sama lain sudah turut membuatku bahagia," balas Kanselir Leopold.

Ekspresi wajah Elizabeth terlihat bahagia mendengar kalimat bernada positif yang diucapkan oleh Kanselir Leopold dan juga Simone.

"Ada banyak makanan di meja. Mari kita habiskan, Daniela, dan kakek-neneknya sudah bersusah payah untuk membuatnya," ajak Frederick Edward kepada para tamunya untuk menyantap makanan khas Belgia yang tersaji di mejanya. "Meskipun Daniela selalu membuat kalian berdua marah, akan tetapi dia sempat bilang kepadaku, 'Aku akan membantu kakek-nenek untuk menyajikan makanan terbaik, khususnya untuk Athena dan Charla.' Dibalik sikapnya yang selalu membuatku ingin menampar wajahnya, anak itu sangat menyayangi kalian berdua, Charla, dan Athena. Dia juga sadar diri dan memilih untuk pergi bersama keempat adiknya dan kakek-neneknya. Maka dari itu, Athena, semoga kau puas atas hidangan yang disajikan oleh Daniela."

Athena mencerna kalimat yang diucapkan oleh Pamannya, dan dia sedikit tersentuh akan tindakan yang dilakuken olh Daniela. "Sampaikan rasa terima kasih kami untuk Daniela, Paman Ed."

"Akan aku sampaikan, Keponakanku," balas Frederick Edward.

.

.

Setelah selesai acara makan-makan dengan menikmati hidangan khas Belgia. Athena dan Simone tengah berjalan-jalan sambil berpegangan tangan mengelilingi taman bunga di rumah pertanian tersebut.

"Kalau kau masih hidup. Kenapa ibu meninggalkanku?" tanya Athena menatap mata biru Ibunya.

Simone menghela nafas panjangnya berusaha untuk mengumpulkan kekuatan untuk menjawab pertanyaan dari Athena, "Apa artinya hidup dengan orang yang mengkhianatimu. Namun, bukan berarti aku tidak mencintai anak kandungku sendiri." Simone terdiam dan Athena terlihat tidak sabar akan jawaban yang akan dilontarkan oleh ibu kandungnya. "Aku terpaksa meninggalkanmu karena akan lebih baik jika kau hidup bersama dengan Pangeran Nikolaus. Selain itu, aku masih muda saat itu, dan hatiku terluka parah ketika dikhianati. Jadi, maafkan ibu jika meninggalkanmu."

Athena mendengarkan kalimat yang dilontarkan oleh Ibu Kandungnya, kalimat tersebut seperti dengan yang pernah dikatakan oleh Ayahnya sebelumnya.

"Kau sama seperti ibunya Charla dan Charlemagne. Sama-sama perempuan yang kuat dan penyabar. Aku merasa bersyukur terlahir sebagai anakmu, ibu," kata Athena memeluk erat tubuh ibunya. "Aku benar-benar senang bisa bertemu denganmu dan aku sangat menyayangimu, ibu."

Simone membelai halus tubuh Athena, "Aku senang bisa melihatmu yang kini telah dewasa. Kau sangat cantik seperti Dewi Athena dan seorang valkyrie bernama Reginleif. Aku merasa bersyukur Elizabeth memberikan nama itu untukmu, Athena."

"Yah, aku juga merasa bersyukur atas segala kasih sayang, dan juga nasib bagus yang diberikan oleh Tuhan untuk kita semua," balas Athena.

"Sepertinya Leopold telah menceritakan segalanya kepada kalian."

"Aku tidak menyangka bahwa ayah memiliki kisah yang begitu gelap. Aku dengan segala amarahku menghajar ayah dan hampir membunuhnya, dan sebelumnya Charla sempat menendang ayah hingga dia mengalami patah tulang."

Simone tertawa pelan mendengarnya, "Kalian berdua itu ada-ada saja. Meskipun dia bukanlah ayah yang sempurna. Namun kau harus menghormatinya. Bukankah kalian berdua sudah hidup cukup lama."

"Aku tahu itu, ibu. Hanya saja aku benar-benar marah saat tahu bahwa Ayah seoran playboy," ungkap Athena yang kesal.

"Faktanya memang begitu dan hanya ada Elizabeth di hatinya, walaupun dia tengah bersama perempuan lain. Aku benar-benar iri dengan Elizabeth yang merupakan Anak seorang Anak Yatim-Piatu yang berhasil mendapatkan hati seorang Pangeran," ungkap Simone dengan nada lirih. "Meskipun aku seorang Lesbian, bagaimanapun juga aku juga seorang Perempuan yang berharap ada seorang Lelaki yang mau mencintaiku apa adanya, dan aku berakhir dengan sebuah harapan palsu. Aku tidak bisa menyalahkan Leopold, dan tidak ada yang harus disalahkan. Aku memutuskan untuk kabur setelah melahirkanmu dan aku benar-benar minta maaf sebagai seorang Ibu karena tidak bisa mengurus dan mendidikmu, Athena."

"Seperti yang kau katakan, ibu. Tidak ada yang harus disalahkan dan aku juga menyayangi Elizabeth layaknya ibu kandungku sendiri, begitupula dengan Charla, dan Charlemagne. Aku benar-benar senang memiliki dua orang kakak yang sangat peduli denganku. Mereka sangat perhatian kepadaku," kata Athena.

"Sebenarnya Leopold sangat mengharapkanmu terlahir dari rahimnya Elizabeth, walaupun kini kalian berlima hidup bahagia."

"Ayah memang saat itu sempat berkata demikian saat kami berkumpul, sehingga membuat Charla menghajar ayah untuk kedua kalinya sehingga ayah sempat pingsan."

"Bagaimana dengan Charlemagne?" tanya Simone yang penasaran akan reaksi Anak Tiri Lelakinya.

"Dia hanya bersikap diam. Namun tatapan matanya kepada ayah merupakan tatapan mata penuh kebencian. Meskipu begitu, kalau Charlemagne tidak menghentikan Charla, aku yakin ayah bisa mati dihajar habis-habis oleh Charla. Hubungan kami bertiga sempat buruk dengan ayah dan seiring berjalannya waktu akhirnya kami dengan ayah sudah berdamai."

"Syukurlah, kalau begitu. Meskipun kita terpisah oleh jarak. Namun, aku sangat menyayangi kalian semua, dan aku benar-benar minta maaf telah menjadi ibu yang buruk."

Simone memeluk erat Athena dan menangis dalam keheningan.

Meskipun tangisan ibunya terdengar samar-samar, Athena segera membalas pelukan ibu kandungnya dan membelai lembut tubuhnya. Dia juga meneteskan air mata bahagia karena bisa bertemu dengan ibunya setelah sembilan belas tahun tidak bertemu.

Bagi Athena, ini adalah hari paling bahagia dalam hidupnya.