Setelah selesai sholat dzuhur, Kanaya mencari Rani. Perempuan itu ternyata tengah melipat mukena didekat Nadia. Kanaya segera datang dan meminta Rani ikut denganya.
"Ada apa?" Tanya Rani kebingungan.
"Ayo, aku lagi ada perlu," jawab Kanaya tidak langsung menjelaskan pada inti.
Nadia yang berada di samping Rani hanya melirik sambil melipat mukenanya dengan pelan. Nampaknya perempuan itu punya niat menguping pembicaraan mereka.
Rani mengikuti saja kemana arah permintaan Kanaya. Setelah sampai di dekat samping gedung kantin, Kanaya menghentikan langkahnya.
"Ada apa sih, Nay?" Tanya Rani masih bingung.
Kanaya menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap tidak orang yang mendengar pembicaraan mereka.
"Gini, tadi aku bawa kotak kan dari rumah. Kota itu jatuh. Lalu kan aku lupa bawa, pas aku kembali kok hilang ya," terang Kanaya dengan bingung.
"Kotak makanan?" Tebak Rani.
"Bukan! Kotak itu pemberian sepupuku. Jadi, apa aku bisa minta tolong bantu cari?"
"Kamu minta mbak mbak disana," Rani menunjuk kearah seorang perempuan yang mendata tamu dan pekerja masuk. "Dia bisa umumkan ke para pekerja kantor lain nanti."
"Tapi aku nggak mau orang orang tahu aku kehilangan barang," ujarnya lagi.
"Kamu tinggal bilang kalau kamu tidak mau di sebut namanya."
"Emang bisa?"
"Bisa dong. Ayuk, aku antar," tawar Rani.
Kanaya mengangguk setuju, lalu ia mengikuti Rani dari belakang.
"Mbak, dia kehilangan sesuatu di kantor ini. Apa bisa minta tolong sampaikan ke para pekerja kantor, siapa tahu ada yang menemukan."
"Oh, baik Mbak saya akan bantu sampaikan ke para pekerja kantor lewam laman kerja mereka di komputer."
"Tapi bisa tidak mbak kalau ada yang menemukan suruh mengembalikan disini, dan jangan sebut nama kami," pinta Rani dengan tersenyum ragu.
"Oh, bisa. Tentu saja bisa, Mbak."
Rani tersenyum ke arah Kanaya. Perempuan itu juga membalas dengan senyuman senang.
"Baik. Terimakasih atas bantuanya." Rani mengucapkan rasa terima kasih.
Rasa bahagia menyelimuti hati Kanaya hari ini, ia senang benda pemberian Brandon itu akan kembali.
Rani juga ikut senang dengan rasa bahagia yanh di rasakan oleh teman kerjanya.
"Ran, lain waktu main dong ke rumahku," pinta Kanaya sungguh sungguh.
"Ingin sebenarnya, tapi hari hari ini aku lagi siapin acara ulang tahun mama di rumah," terang Rani seadanya.
"Oh ya, aku bisa bantu lo dikit dikit."
"Yang benar?" Kedua mata Rani berbinar bahagia.
"Iya, dulu aku pernah ikut kakak perempuan sepupu. Dia bekerja kerajinan hias acara ulang tahun seperti itu. Tapi aku bantunya juga saat waktu senggang aja." Kanaya masih sangat ingat peristiwa tersebut.
"Wah, kabar baik ini. Nanti kamu ke ruamhku ya. Bisa kamu jam berapa?"
"Habis pulang kerja aku langsung ke rumahmu tidak apa apa."
"Yasudah, terimakasih ya."
Keduanya mulai bekerja lagi, jam istirahat nampaknya sudah berakhir, apalagi cctv berkeliaran dimana mana. Hal itu tentu membuat semua pekerja tidak bisa santai santai di jam sembarangan.
Kanaya hari ini membersihkan kaca bagian luar ruangan direktur dan wakil direktur. Itu artinya ruangan Pak Abraham dan ruangan Gibran. Kanaya menarik nafas panjang, ia merasa harus siap mental saat bertemu Gibran nantinya. Apalagi laki laki itu sedang marah tanpa alasan yang jelas. Jika saja Kanaya bukan perempuan yang suka kepikiran dengan perubahan sikap seseorang, tentu ia tidak akan peduli dengan perubahan Gibran saat ini.
"Nay, tolong belikan saya map ya," pinta salah satu pekerja cantik dan sexy pada Kanaya.
"Saya letakkan pembersih kaca ini dulu ya di meja." Kanaya segera meletakkan pembersih kaca itu di meja kecil luar ruangan Gibran. Lalu setelahnya, Kanaya pergi untuk membeli map di koprasi kantor.
Setelah mendapat map, Kanaya kembali untuk membersihkan kaca jendela. Namun, betapa Kanaya terkejut saat melihat tempat itu sedikit ramai dan nampak gaduh.
"Ada apa?" Tanya Kanaya pada salah satu orang didekat tempat itu.
"Ini tempat untuk menaruh benda saya. Benda penting milik saya, bukan pembersij kaca seperti ini," Gibran nampak kesal sambil memegang alat pembersih kaca.
Kedua mata Kanaya melotot, ia terkejut dengan apa yang Gibran lontarkan. Ia tidak tahu meja itu untuk menaruh berkas atau apapun.
"Siapa yang meletakkan benda ini tadi?"
Kanaya mengigit bibir bawahnya dengan gemetar, jantungnya mendadak berdetak tak karuan. Langkahkah kakinya juga terasa ragu dan bimbang. Namun, Kanaya adalah sosok wanit yang bertanggung jawab. Ia tentu akan menunjuk dirinya sendiri.
"Saya, Pak." Kanaya mendekati Gibran dan mengakuinya.
Gibran terdiam, lalu ia meneguk salivanya dengan berat.
"Ini milikmu?" Tanya laki laki itu dengan nada tinggi.
"Iya, Pak." Suara itu terdengar lirih dan kecil.
Rasa tidak tega di hati Gibran entah masih tersisa atau tidak. Laki laki itu masih diam tak bicara lagi.
"Kalian bubar dan kembali bekerja, biarkan saya selesaikan masalah ini dengannya." Gibran membukan pintu ruanganya agar Kanaya masuk.
Para pekerja lain segera bekerja kembali, mereka sama sama mengidik ngeri dengan kemarahan Gibran.
Kanaya berjalan masuk tanpa menutup pintu.
"Ucap salam!" Sentak Gibran.
"Iya. Assalamualaikum,"ucapnya.
Gibran duduk di kursi kerjanya, ia masih diam menunggu Kanaya duduk juga.
"Duduk!"
"Tidak perlu, Pak. Saya berdiri saja," ujar Kanaya sembari memegang ujung bajunya.
"Duduk kataku!"
Kanaya mengangguk dan menurut untuk duduk.
"Kamu tahu, meja di luar untuk meletakkan benda benda penting milik saya. Minuman atau berkas yang aman di letakkan di tempat itu. Kenapa kamu bisa meletakkan benda yang tidak seharusnya disana." Gibran nampaknya serius membuat perempuan itu ketakutan.
"Maaf, Pak. Saya sungguh tidak tau," jujur Kanaya dengan menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap Gibran yang sedang marah dengannya.
"Apa tidak ada pekerja lain yang memberitahumu?"
"Saya pikir tempat itu masih kosong, dan saya hanya titip alat itu sebentar."
"Kamu ini tidak cocok bekerja jadi office girl. Lebih baik kamu di pecat," ujar Gibran sembarangan.
Kanaya langsung tersentak, ia menoleh dengan hati tidak karuan. Perasaannya hancur melihat sosok Gibran yang berbeda. Kedua matanya terasa panas dan berkaca.
"Ada apa denganmu, Gibran?" Suara itu masih mengalun merdu di kedua telingan Gibran.
"Tidak apa apa," jawab Gibran mendadak gugup.
"Lalu? Sejak pagi kamu seperti orang lain di hadapanku. Aku salah apa sampai kamu tidak menjawab sapaanku. Apakah aku melakukan kesalahan?" Kedua mata Kanaya semakin terasa panas. Ia berusaha keras untuk tidak menangis didepan Gibran.
Gibran menatap Kanaya dengan diam, ia tidak menjawab pertanyaan Kanaya yang terdengar menusuk. Sepertinya ia masih enggan menjawab apa yang menjadi penyebabnya marah pada Kanaya.
BACA TERUS KISAH GIBRAN
JANGAN LUPA MASUKKAN RAK YA
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
SALAM
GIBRANKU.