Chereads / Gibranku / Chapter 2 - Peristiwa di Foto Copy

Chapter 2 - Peristiwa di Foto Copy

Gibran duduk di bangku kerjanya dengan menyenderkan kepalanya. Ia merasakan sesak kembali di hatinya setelah bertemu Kanaya. Sudah hampir tiga tahun ia tidak berjumpa denganya, dan sekarang ia harus berjumpa lagi dengan perempuan itu.

Gibran memijat keningnya dengan jari jempolnya, ia berharap rasa pusingnya hilang saat itu juga.

Pasti banyak yang penasaran siapa Kanaya? Ok, saya akan terangkan siapa Kanaya.

Kayana adalah mantan Gibran yang cukup membuat laki-laki itu enggan untuk mencintai orang lain. Hubungan mereka terjalin sekitar satu tahun saja. Namun, saat niat Gibran ingin berhubungan dengan Kanaya cukuo serius, tiba-tiba Kanaya di jodohkan oleh orang tuanya dengan orang lain.

Apalagi saat itu nasip Gibran belum semujur sekarang. Orang tua Kanaya bahkan terang-terangan tidak menyetujui hubungan mereka. Trauma? Bisa di bilang iya. Tapi yang jelas rasa sayang Gibran pada Kanaya yang membuat Gibran sakit saat Kanaya bersama orang lain.

Setelah merasakan sakit itu, Gibran memutuskan tidak ingin menemui Kanaya lagi. Hingga akhirnya Tuhan mempertemukan mereka lagi hari ini.

"Gibran," panggil Pak Abraham.

"Pak, iya." Gibran tersadar dengan pikiranya yang tidak tau arah. Gibran segera duduk dengan benar.

"Gado-gadonya gimana?" tanya Pak Abraham.

"Ada, Pak."

Gibran memberikan dua bungkus gado-gado itu pada Pak Abraham.

"Satu kamu," ujar Pak Abraham.

"Enggak Pak. Saya masih kenyang, buat Bapak saja semuanya."

"Yang benar?"

"Iya, Pak."

Pak Abraham segera pergi dari ruangan Gibran.

Sebenarnya Gibran bisa saja masuk ke perusahaan yang lebih besar. Namun, Pak Abraham sangat berjasa dengan hidup Gibran selama ini. Sebelumnya Gibran sangat sulit melanjutkan sekolahnya saat setelah di tinggal ayahnya.

Pak Abraham merupakan teman dekat ayah Gibran. Jadi, Pak Abraham berniat membantu Gibran untuk melanjutkan pendidikannya karena Gibran pintar, ia juga mendapat beasiswa disana. Jadi, Pak Abraham sangat berjasa bagi Gibran, ia tidak ingin mengecewakannya.

Gibran merasa sangat lelah, ia ingin segera pulang ke apartemenya. Hidup Gibran sudah berubah, dulu ia hanya tinggal dirumah yang cukup kecil. Sekarang ia sudah memiliki aparteman yang cukup memadai. Tentu dengan bantuan Pak Abraham juga.

Niat Gibran tadinya pulang, tapi entah kenapa ia justru datang ke foto copy-an Kanaya. Gibran segera turun dari mobil, ia melihat foto copy-an itu masih buka.

"Mana uang kembaliannya?" ujar Gibran dengan tiba-tiba.

Kanaya yang masih melakukan foto copy langsung menoleh. Ia tidak menyadari kehadiran Gibran di toko itu.

"Gibran, sebentar lagi aku masih foto copy," kata Kanaya.

"Yaudah. Besok aja," kata Gibran tidak suka menunggu.

"Eh, bentar kok. Sabar dong!" cegah Kanaya.

Gibran memilih duduk untuk menunggu. Mungkin jika bukan Kanaya yang menyuruh menunggu, laki-laki itu tidak akan menunggunya. Gibran mengamati sekeliling toko yang sudah nampak sepi. Ia juga melihat Kanaya yang hanya sendirian. Apalagi ini sudah cukup malam, yaitu pukul 22:00 Wib.

"Ngapain toko buka jam segini? Siapa yang mau foto copy?" celetuk Gibran.

Kanaya tersenyum malu, "Biasanya jam 9 sudah tutup. Ini tadi ada foto copy-an dari rumah sakit, yang mau di ambil besok pagi-pagi banget. Jadi, aku harus kerjain sekarang juga," balas Kanaya dengan jujur.

"Emang banyak banget?" tanya Gibran.

"Iya. Kamu kesini dulu, aku ambilin uangnya." kata Kanaya menyuruh Gibran mendekat.

Gibran menurut saja, mungkin hanya Kanaya satu-satunya perempuan yang berani memerintah Gibran.

Gibran berdiri lalu mendekat pada Kanaya. Gibran melihat Kanaya yang tengah memotong kertas foto copy-an yang cukup banyak.

"Aku besok aja kesini lagi," ujar Gibran tidak ingin menganggu Kanaya.

"Lho, bentar Gibran," ucapan Kanaya yang lembut seolah menyihir Gibran.

"Masih lama nggak?"

"Bentar banget. Janji," ucap Kanaya dengan senyum.

"Janji kamu palsu," celetuk Gibran.

Jleep ...

Rasanya, Kanaya teringat sesuatu yang menusuk. Tentang janji mereka.

"Ini uangnya." Kanaya segera memberikan uang itu pada Gibran.

Gibran melihat ekspresi Kanaya yang tampak berubah. Gibran masih hafal betul dengan sikap Kanaya. Ia masih belum melupakannya.

Gibran memainkan uang di tanganya, ia bingung harus apa lagi. Mulutnya bilang ingin pergi, tetapi hatinya meminta untuk tetap disini.

"Ngapain masih disini?" tanya Kanaya dengan jutek.

"Ini mau pergi," jawab Gibran.

"Yaudah, sana pergi!"

Gibran melangkah keluar dari toko Kanaya. Ia mengamati sekeliling yang sangat sepi. Namun, di samping toko itu ada pemabuk yang tengah berjalan mendekat ke toko Kanaya. Gibran melangkah cepat menutup toko Kanaya. Lalu ia mendekat pada Kanaya untuk menyuruh Kanaya menunduk.

"Ada apa sih?"  bingung Kanaya.

Gibran langsung menutup mulut Kanaya agar tidak berisik.

"Hoeee ... jangan berisik woeee ..., " ujar pemabuk itu di depan toko Kanaya.

"Kayaknya mereka duduk di emperan toko deh," kata Gibran.

"Hah, siapa?" bingung Kanaya.

"Orang mabuk."

Kanaya memandang Gibran yang masih panik, laki-laki itu masih hafal dengan sesuatu yang Kanaya takuti, yaitu orang mabuk.

Kanaya memilih duduk di lantai dengan memandang wajah Gibran dengan dekat.

Gibran ikut duduk di lantai dengan menyenderkan kepalanya di samping meja. Tidak ada jarak di antara keduanya. Gibran memandang Kanaya yang tengah tersenyum tipis ke arahnya.

"Kenapa kamu? Jangan GR?" ucap Gibran.

"Siapa yang GR? Aku cuma ingin ketawa aja kalau lihat tingkah kamu yang aneh."

"Aneh? Apa maksud kamu?" ucap tajam Gibran.

"Nggak suka nunggu, nggak mau terlambat, nggak suka bertele-tele, semua harus kembali pada tempatnya. Itu kan aneh," ujar Kanaya dengan nada meledek.

"Semua itu tertib namanya." Gibran menjitak pelan jidat Kanaya.

"Aww ..., " pekik Kanaya.

"Kayaknya, orang mabuknya sudah pergi. Aku periksa dulu." Gibran segera berdiri dan membuka sedikit pintu toko untuk memeriksa apakah pemabuk itu masih ada.

"Sudah nggak ada. Ini di buka atau enggak?" tanya Gibran.

"Buka dikit aja. Sebentar lagi aku tutup," kata Kanaya yang mulai melakukan aktivitasnya lagi.

Gibran melangkah mendekat pada Kanaya. Lalu ia mengambil kunci mobil yang berada di atas etalase. Gibran melangkah keluar untuk pulang. Namun, ia menghentikan langkahnya. Seperti ada rasa tidak tega di benak Gibran saat melihat kejadian tadi.

Gibran mengurungkan niatnya untuk keluar, ia mendekat lagi pada Kanaya.

"Kenapa lagi?" tanya Kanaya tanpa menoleh ke arah Gibran.

"Aku tungguin kamu sampai selesai," jawab Gibran.

Kanaya mengangkat sebelah alisnya, ia menoleh ke arah Gibran. Kanaya tertawa kecil ke arahnya.

"Kenapa kamu ketawa?"

"Kamu khawatir?" celetuk Kanaya.

"Enggak. Aku cuma -- cuma --."

"Ehm, susah banget bilang iya."

"Sudah malem. Nggak usah cerewet! sana kerjain tugas kamu!" kesal Gibran yang tidak bisa mencari alasan yang tepat.

Kanaya mencebikkan bibirnya, ia tidak puas dengan ucapan Gibran.

BACA TERUS KISAH GIBRAN

NANTIKAN PART SELANJUTNYA

JANGAN LUPA MASUKKAN RAK YA

SALAM

NURKHUSNA.