Chereads / Gibranku / Chapter 6 - Masih Kamu

Chapter 6 - Masih Kamu

Pembicaraan Gibran dan kedua sahabatnya masih sangat berpengaruh. Nyatanya Rio dan Rian ikut terdiam tak percaya meskipun sekarang mereka sudah berada di cafe tujuan reoni mereka. Entah kenapa kedua lelaki itu sangat ikut peduli dengan keadaan Gibran. Mereka tau betul perasaan Gibran, tatkala Kanaya meninggalnya kala itu.

Rio dan Rian dulu berusaha keras membuat sang sahabat melupakan perempuan itu. Jadi, mereka tentu tidak akan terima jika Kanaya membuat sang sahabat terluka untuk kesekian kalinya.

"Cari cewek sana, bro!" suruh Rio.

"Iya, Gib. Ngapain mikirin dia lagi. Kamu ingat kan dia sudah pernah lukain kamu. Lagi pula dia sudah menikah," tambah Rian.

"Hmm...." Gibran hanya bergumam. Ia tidak tau harus merespon apa untuk ucapan sang sahabat.

"Hai ... Gibran," sapa seorang perempuan sexy nan cantik. Tentu perempuan itu adalah teman SMA mereka.

"Hai," balas Gibran tanpa senyum.

Perempuan itu bernama Vionita. Ia memang sudah menyukai Gibran sejak SMA. Meski menyukai Gibran, perempuan itu tetap menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Tau kalau cintanya tak terbalas, tetapi Vio tidak menyerah begitu saja. Ia sangat semangat mengejar cinta sang pria idaman. Semenjak kesuksesan Gibran, bukan hanya satu atau dua perempuan yang sibuk mengejarnya. Siapa yang tidak mau dengan laki-laki pintar dan berhasil seperti Gibran. Bahkan semua wanita menginginkanya. Apalagi ketampanan pada diri Gibran sangatlah di agung-agungkan oleh mereka.

"Ayo kita berdansa," ajak teman Gibran yang lain.

"Maaf, aku lagi ada perlu." Gibran segera mengambil kunci mobil dan berjalan keluar. Kedua sahabat berteriak, seolah tidak mau di tinggal Gibran tanpa rasa tanggung jawab.

"GIB ... WOIIII ...."

"LO KEMANA?"

Kedua lelaki itu berteriak dengan tatapan tajam ke arah laki-laki rapi itu yang semakin menjauh dari tempat itu.

"Benar-benar ya, Gibran," omel Rian dengan kesal.

"Nggak ada adab emang."

****

Kanaya tengah bediri menanti taxi datang. Ia menatap sang rembulan yang nampak terang dari biasanya, rasa senang seolah tergambarkan dengan terangnya langit malam ini. Hari ini tempat foto copynya sangatlah ramai, membuat taget uang yang ia cari hari ini terpenuhi.

"Nay ...," sapa seseorang yang membuat perempuan itu terkejut.

"Eh, Gibran."

"Kamu ... mau pulang?"

"Iya. Kamu darimana, kok rapi?" terlihat kemeja rapi yang sedang laki-laki itu kenakan.

Kanaya menepuk jidatnya pelan. "Kamu tentu dari kantor lah. Kenapa aku bodoh," guman Kanaya dengan tersenyum kecil.

Gibran hanya ikut tersenyum, seolah mengikuti saja apa yang Kanaya katakan.

"Mau temani aku makan?" tawar Gibran. Gibran sebenarnya merasa bodoh, kenapa masih saja menganggu  hidup Kanaya. Sedangkan Kanaya adalah seorang istri saat ini, itu yang Gibran tau.

Kanaya menoleh dengan menatap kedua bola mata yang masih sama seperti dulu, terlihat jelas ketulusan itu masih sama untuknya. Perempuan itu menggelengkan kepalanya pelan. Kenapa ia harus sangat percaya diri tentang perasaan Gibran.

"Ini sudah malam, Gibran. Aku harus pulang," kalimat tolakkan lembut itu benar-benar terdengar sangat nyaman Gibran dengar.

Gibran masih diam, seolah tengah menikmati alunan setiap kalimat yang sangat ia rindukan. Tatapan harapan sangat jelas terlihat di kedua mata laki-laki tampan tersebut. Entah kanapa rasanya kedua telinganya seperti sedang mendengarkan sebuah lantunan lagu dari Once (Kangen).

"Sebentar saja, Nay," cegah Gibran saat perempuan itu hendak melangkah.

Perempuan itu menatap tangan sang mantan dengan teliti, wajahnyapun tidak bisa di tebak sedang memikirkan apa. Mungkin rasa bimbang yang sedang menyelimuti hati Kanaya saat ini.

"Maaf, Gibran," lantunan lembut itu kembali terdengar merdu di kedua telinga Gibran.

Kanaya melepas tangan Gibran dengan pelan, "Tolong, jangan pegang saya. Maaf, Gibran."

Hanya tatapan nanar yang bisa Gibran lakukan. Sayatan itu kembali hadir dalam dirinya. Rasa sesak benar-benar memenuhinya saat ini. Mungkin ini salah dirinya yang terlalu berharap dengan keadaan yang sudah berubah.

****

Kanaya masuk ke rumah dengan senyum yang masih setia ia kembangkan. Tatapanya tertuju ke arah kakak sepupu yang sudah lama tidak datang ke rumah Kanaya. Tentu badan Kanaya gemetar hebat saat melihat laki-laki itu duduk di sofa dengan tersenyum tipis ke arahnya.

"Hallo, adikku yang cantik," laki-laki berotot itu berdiri untuk mendekat pada Kanaya. Tubuh Kanaya semakin gemetar hebat, wajahnyapun mendadak pucat.

"Kamu punya uang?" laki-laki itu berkata lembut sembari mengusap kepala sang keponakan layaknya adiknya yang ia sayang.

"Aku --- aku belum gajian," dengan nada gemetar Kanaya berusaha menjawab pertanyaan laki-laki bertubuh kekar tersebut.

"Kamu jangan bohong anak manis," Brandon tetap saja kekuh dengan tujuanya datang ke tempat Kanaya.

Brandon merupakan anak dari kakak orang tua Kanaya. Sudah hampir dua tahun Kanaya tidak berjumpa Brandon. Namun, nampaknya laki-laki itu sudah keluar dari penjara. Ya, Brandon baru menikmati tahanan selama dua tahu karena narkotika, merampok dan ada beberapa kasus yang Kanaya kurang tau itu apa. Betapa Kanaya terkejut dengan kehadiran Brandon yang secara tiba-tiba tersebut, yang Kanaya tau ia masih berada di bui dan sekarang ia tiba-tiba di depan mata.

"Iya, Bang. Beneran," Kanaya berusaha mempertahankan uang yang ia dapat hari ini. Apalagi angsuran sudah menumpuk tiga kali, membuat Kanaya harus angsur tiga kali secara bersamaan.

Kanaya memiliki hutang saat kedua orang tuanya sakit akibat kecelakaan dua tahun yang lalu. Ia berusaha keras untuk mencarikan obat kesana kemari dengan uang pinjaman rentenir. Tentu Kanaya tidak ingin berhubungan dengan peminjam lintah darat tersebut. Namun, apa daya, orang biasa tentu tidak akan memilik uang yang mencapai ratusan juta tersebut kalau bukan dari seorang rentenir. Demi keselamatan orang tuanya, Kanaya memilih jalan pintas. Apalagi itu berurusan dengan nyawa orang tuanya, ia pasti akan berpikir singkat agar Tuhan menyelamatkan kedua orang tuanya.

Saat usahanya menyelamatkan kedua orang tuanya ia lakukan dengan segakan upaya, tetapi Tuhan berkehendak lain. Orang tua Kanaya tidak berhasil terselamatkan. Setelah kepergian orang tuanya, Kanaya masih menanggung hutang yang berjumlah Rp.250.000.0000. Sedangkan pekerjaan Kanaya hanya seorang foto copy dengan hasil yang tak pasti. Namun, Kanaya tetap bersyukur dengan segala nikmat yang Tuhan berikan padanya. Kanaya yakin ia mampu menyelesaikan segalanya tanpa harus membebani orang lain.

"Kamu jangan bohong," ujar Brandon lagi lebih menagih.

Kanaya semakin merasakan tubuhnya  gemetar, ia tidak tau harus menjawab apa lagi agar Brandon percaya.

"Bang, aku punya uang ini," Kanaya menyodorkan uang 500 ribu yang ia dapat hari ini. "Tapi, Bang ... apa Abang tega ambil uang dari aku yang sebatang kara ini? Aku berusaha keras untuk hidup, aku juga berusaha untuk melunasi hutang Bapak dan Ibu, tetapi jika Bang Brandon ingin mengambilnya juga tidak apa-apa. Jika itu membuat, Bang Brandon tidak akan menyakiti aku. Uang masih bisa aku cari. Sedangkan kalau aku sakit tidak ada yang merawat, karena aku hanya sendirian selama ini."

BACA TERUS KISAH GIBRAN

NANTIKAN PART SELANJUTNYA

JANGAN LUPA SUBSCRIBE DAN VOTE YA ...

SALAM

NURKHUSNA.