+62833200×××××
Assalamualaikum, Nay ....
Pesan itu berhasil membuat kerut di dahi Kanaya semakin bertambah, pesan Whatapp dengan foto profil bangunan itu tidak berhasil juga Kanaya tebak siapa pemiliknya.
+62833200×××××
Waalaikumsalam. Ini siapa?
Aku, Mas Toni.
Oh, Mas Toni. Ada apa?
Aku hanya ingin mengecek nomor yang kamu berikan tadi.
Iya, Mas, ini nomorku.
Aku menganggumu tidak?
Tidak, Mas
Sudah makan atau belum?
Sudah, Mas Toni sendiri sudah atau belum?
Sudah juga
Dan masih banyak lagi percakapan mereka, Kanaya bukan tipe perempuan yang tega membiarkan pesan dari seseorang yang di kenalinya, sebisa mungkin ia akan tetap menghargainya meski hanya sebuah sapaan.
Setelah larut malam, Kanaya berpamitan untuk tidur agar besok tidak terlambat bekerja. Toni juga sangat mengerti maksud Kanaya, ia sendiri juga tidak ingin membuat Kanaya terlambat hanya karena terus membalas pesan darinya.
Kanaya meletakkan ponselnya di meja kecil dekat tempat tidurnya dengan pelan, ponselnya juga ia matikan agar tidak membuat batrai miliknya semakin kembung. Ingin rasanya ia membeli ponsel baru agar ponselnya tetap nyala dan mudah di hubungi, hal itu nampaknya harus ia urungkan terlebih dahulu agar kebutuhan hariannya tidak bertambah bengkak. Perempuan itu hendak mematikan ponsel, tapi ternyata masih ada satu pesan Toni yang belum terbaca olehnya.
+62833200×××××
Jangan lupa berdoa.
Kanaya tersenyum dan membalas pesan Toni dengan kalimat 'Iya'. Setelah itu ia bergegas mematikan ponsel dengan pelan dan berusaha mengingat-ingat doa tidur yang sudah lama tidak ia ucapkan.
"Kalau sampai mas Toni tau aku lupa doa tidur, pasti dia akan menertawakanku." Perempuan itu malu sendiri membayangkanya saja.
****
"Eh." Betapa Kanaya terkejut bukan main saat tau ada Gibran di depan pintu rumahnya dengan tiba tiba saat dirinya hendak keluar rumah untuk bersiap ke acara reuni yang kemarin ia rencanakan.
"Kamu mau kemana?" Niat Gibran sebenarnya ingin menjemput Kanaya, agar ia dan Kanaya pergi ke kantor bersama.
"Tentunya bukan urusanmu," ujar perempuan itu dengan menutup pintu rumahnya.
Gibran menghela nafas berat. "Kalau kerja kenapa tidak pakai seragam?"
"Bukan urusan kamu." Kanaya menekan setiap kalimatnya.
Gibran membiarkan Kanaya melenggang begitu saja dari hadapanya, ia tidak ingin terlalu mencegah agar Kanaya tidak tertekan olehnya, tetapi ada satu hal yang terlintas di pikiran Gibran, mengapa Kanaya hanya sendirian tanpa suaminya.
Gibran segera mengejar Kanaya untuk mencari tau yang menganjal di fikiranya. "Eh, Nay. Kamu kok tidak dengan suamimu?"
Kanaya di buat bungkam dengan pertanyaan Gibran yang di luar angan anganya. Kanaya juga lupa kalau setahu Gibran ia sudah bersuami.
"Dia sudah berangkat kerja sejak pagi," sentak Kanaya dengan judes.
"Tapi kenapa setiap aku kerumahmu kamu sendirian?" Curiga Gibran.
Kanaya sepertinya kehabisan kata kata untuk mencari alasana yang tepat.
"Kamu kesini juga baru dua kali, dan waktu kamu datang selalu jam kerja, wajarlah dia tidak di rumah." Kanaya menyeringai. "Seharusnya kalau kamu tau aku sudah menikah, kamu tidak lagi datang kesini untuk menemuiku, apakah kamu tidak malu dengan sikap murahanmu." Rasa kesal Kanaya serasa sudah di ubun ubun, usahanya untuk membuat Gibran menjauh masih saja belum membuahkan hasil.
"Siapa yang berniat menemuimu, aku sedang lewat dan aku hanya berniat baik untuk memberimu tumpangan."
"Sudahlah, aku tidak perlu bantuanmu, aku juga tidak perlu belas kasihanmu. Jangan datang ke tempat ini lagi, aku mohon." Kanaya menyatukan kedua tangan di depan Gibran.
Gibran tidak suka dengan peristiwa seperti sekarang, peristiwa yang membuat wanita tercintanya memohon terhadapnya. Tatapannya masih memandang Kanaya yang semakin menjauh. Mengejar juga tidak mungkin Gibran lakukan, hal itu tentu akan membuat Kanaya risih terhadapnya.
****
"Kamu ini apa apaan sih, Gib. Cinta jangan sampai membuat pikiranmu tidak sadar, cinta juga jangan sampai membuatmu lupa diri." Rio tidak habis fikir sikap Gibran hari ke hari semakin di luar nalar.
"Bro, masih banyak wanita yang jauuuuuuhhhh lebih cantik dan lebih baik darinya," tambah Rian yang ikut greget.
Gibran yang memang sudah di gilakan oleh cinta itu tentu tidak akan setuju maupun suka dengan pendapat mereka.
"Kamu aku bayar bukan untuk protes dengan perintahku, aku minta bantuan kalian bukan untuk menasehatiku."
Kedua sahabatnya seperti sudah jengah menasehati Gibran agar paham dengan maksud dan tujuan mereka. Apalagi tujuan mereka benar, tidak ada maksud menjeruskannya.
"Lebih baik kita diam, percuma juga kita banyak bicara kalau dia tidak juga mengerti. Kita cari bukti kalau Kanaya sudah bersuami, kita cari bukti juga tentang anak Kanaya, siapa tau dia sudah punya anak," bisik Rian mencari aman.
"Kamu benar, kita kumpulkan buktinya dulu. Percuma banyak bicara dengan Gibran, hatinya sudah membatu."
****
Kanaya mencari-cari teman reuni yang dulu dekat dengannya di kelas, ia juga berharap dapat bertemu Putri, teman sebangkunya dulu saat kelas 12.
"Nay," sapa seseoarang dari belakang punggung Kanaya.
"Eh, iya." Kanaya membalikkan tubuh untuk melihat sosok di balik tubuhnya.
"Ini Kanaya, ya?" Perempuan itu memperhatikan tampilan Kanaya dari mulai kaki sampi ujung kepala Kanaya.
"Niken ya?" Kanaya tentu masih ingat dengan wanita judes itu.
"Masih aja ya sama. Sama sekali tidak berubah penampilanmu," celetuk Niken sembarangan.
"Bodoamat, tu mulut juga masih aja sama, suka tajem kayak jarum."
Niken kemudian tersenyum, lalu ia merangkul Kanaya dengan penuh belas kasih. Kanaya cukup terkejut dengan sikap Niken yang tiba tiba.
"Nay, aku cuma bercanda kok. Kamu apa kabar?" Ujar perempuan modis itu di balik pelukkan Kanaya.
Kanaya tersenyum ia tidak percaya akan perubahan Niken yang semakin membaik. "Baik."
Niken melepaskan pelukkannya pada Kanaya, lalu ia masih membentuk senyum tipis di bibirnya yang di tujukannya pada Kanaya.
"Aku dulu memang nakal, Nay. Waktu itu karena masih jamanya gengs gengs an. Sekarang aku sudah tua, tidak mungkin aku masih begitu. Maafin aku yang dulu dan yang tadi." Senyum itu begitu manis dan mengemaskan, setiap laki laki pasti akan suka dengan senyum Niken.
"Iya Nik, tentu." Kanaya membalas senyum Niken dengan tulus.
"Kamu memang selalu baik. Oh iya, aku sekarang punya usaha butik, kapan kamu mampir ya, pasti aku akan bantu kamu memperbaiki penampilan." Perempuan itu menyodorkan sebuah kartu nama butiknya.
"Iya, terimakasih." Kanaya menerimanya dengan baik. Datang kesana? Tentu hal itu akan Kanaya pikirkan sampai ribuan kali agar setelahnya ia tidak menyesal. Mengingat kebutuhanya yang masih banyak, tidak terfikirkan bagi Kanaya untuk membeli pakaian mahal di butik.
"Ayo kita cari yang lain," ajak Niken dengan semangat.
"Ayo ...."
BACA TERUS KISAH GIBRAN
JANGAN LUPA MASUKKAN RA YA
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
SALAM
GIBRANKU.