Terlebih dahulu merapikan rambut dan memastikan penampilannya 'oke', Sudah menjadi bagian dari profesinya untuk selalu terlihat segar dan menarik. Laki-laki berperawakan tegap dengan badan berisi tetapi tidak berlebih dan kulit terang eksotis, Reza selalu tampil dengan mengenakan pakaian kekinian.
Meski terkesan santai dia melangkah dengan sangat yakin tanpa memedulikan kiri-kanan, tepatnya orang-orang yang tengah sibuk dengan aktifitas masing-masing.
Sambil sesekali memastikan penampilannya tetap terjaga, tujuan utamanya adalah segera menemui wanita yang sedang menunggunya dengan penuh keinginan. Tentu saja keinginan untuk bertemu dan berdekatan dengannya.
Menggunakan kacamata kemerahan membuatnya semakin terlihat semakin cool.
Dari jarak beberapa meter, senyum tersungging dari bibir seorang wanita tua untuknya.
Membalas dengan senyum ramah yang sedikit lebih lebar dari biasanya, Reza semakin mendekat lalu berhenti tepat disamping wanita itu kemudian membungkukan badan untuk mencium keningnya sambil berbisik mesra,
"Maaf, membuatmu menunggu!"
Setangkai mawar merah diberikan sebagai peluruh hati yang mulai resah.
"Aku pikir kamu tidak jadi datang,"
"Aku memang pantas menyesal, karena telah melewatkan waktu untuk bertemu wanita anggun, pujaan hati, sepertimu!"
Malu-malu tersipu, wanita itu menyelipkan helai-helai rambutnya yang tersapu angin.
"Apa aku harus tetap berdiri, sebagai penghukuman atas keterlambatanku?"
"Tentu saja.., tidak. Silahkan duduk!"
Reza duduk sambil mengaitkan kaca mata pada kancing kemejanya. Memanggil pelayan dan meminta secangkir arabika kesukaannya.
Layaknya seorang kekasih yang selalu ada dikala dibutuhkan. Bahkan setiap kali bicara, Reza tidak pernah sekalipun lepas dari menatap lembut wajahnya. Senyum kharismatik yang dia sajikan seolah memberi bukti jika perhatian serta kasih sayangnya tulus.
Wanita tua itu benar-benar jatuh hati dan terbawa dalam permainan sandiwaranya.
Tentu saja itu terjadi bukan karena dia tidak sadar, melainkan lebih memilih untuk tidak mau memikirkannya.
Baginya, perasaan dan kesenangan lebih penting dari segalanya. Bagaimanapun, dirinya hanya seorang yang pernah mendambakan kekasih baik hati, romantis serta memahami perasaannya. Itu saja, tak lebih.
Di hari yang cerah, angin sepoi berembus dari sekeliling ruang terbuka, terasa begitu menyegarkan.
Meski sesekali muncul, Reza selalu dapat menangani rasa canggung kemudian mengubahnya menjadi sosok yang tidak peduli terhadap pandangan orang-orang atas kemesraan yang dia tujukan pada wanita berumur jauh lebih tua di hadapannya.
Sementara wanita itu, hatinya semakin berbunga karena dapat mengencani pemuda tampan sepertinya.
Terlena oleh rayuan gombal hingga mabuk kepayang. Setidaknya itu bisa membuatnya senang walau hanya sesaat.
"Kamu sudah makan?"
"Tentu saja. Aku harus mempersiapkan banyak energi setiap kali harus bertemu kamu!"
Meski hanya dimulut saja, tetapi cukup membuat rasa ingin wanita itu semakin menjadi. Kemudian dia mengeluarkan credit card dan mengangkat tangan pada pelayan.
"Aku tak punya banyak waktu. Bisa kita jalan sekarang?" Ucapnya pada Reza.
"Tentu!" Jawan Reza.
Seolah memberinya perhatian, Reza
beranjak sambil menawarkan satu tangannya.
*
Berjalan dengan membiarkan wanita yang lebih pantas menjadi neneknya itu, Reza menggandeng lengannya menuju apartement yang lokasinya berseberangan langsung dengan tempat awal bertemu.
Reza tetap bersikap manis pada petugas lobby yang dia yakini dalam hati sedang mencibir dan menertawai opera murahan tentang romantisme seorang lacur laki-laki bersama wanita tua. Bahkan sikap manjanya, melebihi gadis remaja yang sedang dimabuk asmara.
Reza sengaja mencium tangan client-nya di depan petugas lobby hingga membuat mereka menjadi canggung.
Menerima kunci kamar yang telah dia pesan untuk sehari ini, dengan kuasanya wanita itu membawa Reza masuk kedalam. Mengunci pintu seolah dirinya tak akan membiarkannya pergi. Seperti menahan hasrat setahun lamanya, wanita itu langsung menciuminya.
Tanpa memberi kesempatan untuk
Reza bersiap atau berfantasi terlebih dahulu menaikan hasratnya, wanita itu terus mencumbuinya. Bersama nafsu yang semakin memuncak, kemudian wanita itu menarik dan mendorong tubuh Reza keatas ranjang.
"Kamu.., adalah kelinci kecilku", dan dirinya adalah macan betina yang siap mencabik mangsanya.
Reza yang hanya binatang jalang tak berdaya, hanya memasrahkan diri. Dengan memalingkan wajah, Reza membiarkan wanita itu terus mencumbui tubuhnya. Bagaimanapun, dia sadar dirinya hanya seorang budak nafsu yang menginginkan uang.
Meski tersiksa, Reza hanya bisa melakukan kemauan wanita tua itu. Walau sebenarnya dalam hati menjerit dan menangis.
Setelah permainan berakhir, tanpa membuang waktu, wanita tua itu lantas pergi meninggalkan Reza seorang diri. Menikmati sisa-sisa waktu dengan ditemani sebatang kretek, sekilas matanya melihat sejumlah uang yang dia tinggalkan di atas kasur.
Reza beranjak. Sambil mengenakan pakaiannya kembali, dia memasukkan uang itu kedalam dompet.
Saat akan pergi, Reza menoleh pada ponselnya yang kembali bergetar. Sebuah panggilan tertuliskan nama yang membuatnya tak menunda waktu untuk langsung menerimanya.
"Hi", ucapnya mengawali perbincangan. "Apa kamu sedang sibuk?" seorang wanita bertanya dengan suara manja namun tegas.
"Tidak", jawab Reza.
"Aku sedang di Jakarta. Kamu bisa datang kesini?"
Tentu saja dirinya selalu ada waktu dan tidak keberatan jika harus menemaninya.
"Ya, aku kesana dalam 30 menit!"
"Oke. Aku kirim alamatnya sekarang!"
Sejenak terdiam.
"Honey..", panggil Reza. "I miss you..,"
"I miss you too!" balas Nadjwa.
"I miss you so much!"
"I know..,"
Panggilan berakhir begitu saja, dan sebuah pesan berisi alamat salah satu hotel ternama di Jakarta, masuk. Reza tahu jalan tercepat untuk bisa sampai kesana tanpa membuang banyak waktu.
Melepas kembali sepatu yang baru dipakai, Reza diam dengan kepala menunduk. Sebenarnya ia merasa sangat lelah saat itu.
Menghubungi bagian pelayanan untuk
meminta jasa dryclean kilat karena tak mungkin dia menemui orang spesial dengan pakaian kusut dan bau parfum wanita lain.
Melihat jarum jam di tangannya, masih tersisa cukup waktu untuknya beristirahat. Bersantai sambil menyaksikan acara televisi hingga membuatnya mulai mengantuk.
Sebentar saja tertidur, ketukan pintu kembali membangunkannya.
Petugas jasa dryclean datang untuk mengantar pakaian serta parfum pesanannya.
Sedikit membuka tirai dan melihat sisi luar jendela, tampak hari mulai gelap.
Setelah rapi kembali dengan pakaian yang sama, Reza turun untuk menemui Nadjwa. Pergi dengan menggunakan taksi, sedangkan motor yang dia bawa tetap berada diparkiran apartement.
Di depan sebuah hotel berbintang, Reza turun. Langsung masuk menemui petugas lobby, memberitahukan jika
dirinya sudah ada janji dengan salah satu tamu di room 507 atas nama Nadjwa. Dengan diantar petugas hotel, Reza melewati pintu kaca lalu naik dengan menggunakan lift menuju kamar nomor 507.
Mengetuk pintu dan menunggu sejenak, seorang wanita berwajah tirus menyambut dengan senyuman hangat.
"Hei..", ucapnya dengan senyum mengembang.
Reza yang membalas dengan senyum bahagia kemudian mencium bibirnya. Melirik kekiri dan kekanan seperti tak nyaman, kemudian Nadjwa menyudahi ciumannya.
"Masuklah!"
Berbeda dengan wanita sebelumnya, Nadjwa jauh lebih anggun dan menawan. Reza sangat menyukainya. Ia langsung memeluk dan kembali menciuminya.
"Wait, wait..! Aku ingin kita bersantai dulu".
Reza membuang napas karena hasratnya kini menjadi lebih tinggi. Nadjwa menunjukan sebotol wine yang khusus dia bawa untuk dinikmati bersamanya.
Sebelum membuka penutup botol, terlebih dahulu Reza membaca label dan tahun pembuatan lalu menuang wine pada dua gelas kristal.
Memberikan salah satunya pada Nadjwa yang dengan senang hati menerimanya. Mereka bersulang untuk pertemuan yang sama-sama mereka rindukan.
"Apa kabarmu? lama tidak bertemu!"
Dengan terlebih dahulu mencium aroma Wine dalam gelas kristalnya.
"Baik. Sangat baik. Apalagi setelah ketemu kamu!"
Menatap keluar sambil memainkan wine dalam gelas kristal dan menghirup aromanya, sebelum meminumnya sedikit. Sungguh nikmat rasanya.
Gedung-gedung menjulang tinggi. Jalanan memanjang dengan mobil-mobil berjajar rapi disepanjangnya. Keindahan suasana kota, dari tampilan luar.
Beralih pada Reza yang masih berdiri sambil menatapinya. Sekali menenggak wine hingga habis kemudian menaruh gelas kristal diatas meja.
Dengan tatapan sayu, dia mendekat.
Menempelkan hidung serta dahinya.
"I love you. I love you so much!"
Kata-kata lembut terucap bersama desah napasnya.
Mencium bibir tipisnya yang basah. Nadjwa sama sekali tak mengelak, melainkan mengikuti saja alur permainannya.
Bersama, mereka hanyut kedalam pusaran nafsu yang menyamarkan dosa. Jantung berdetak kencang. Aroma parfum semakin membuat mereka terlena.
Hingga sama-sama terkulai dengan posisi Reza mendekap Nadjwa dari belakang.
"Aku tahu kamu baru saja tidur dengan wanita lain,"
"Aku tak tahu kamu akan datang hari ini", Berganti dengan memeluknya. "Apa kau marah padaku?"
"Tidak. Aku tak punya hak untuk marah, apalagi melarangmu!"
Nadjwa beranjak menuju meja tempat dia meletakkan beberapa file perkerjaan yang belum dia selesaikan. Duduk untuk sekadar memeriksa kembali. Hingga dirinya merasakan tangan Reza memeluk dari belakang.
Memijat-mijat bagian pundak sembari mencium lehernya, Nadjwa membiarkan saja lidahnya bermain-main dengan bagian telinganya hingga hampir membuatnya bernafsu kembali.
Tetapi dia menganggap Reza tak lebih dari seorang lelaki bayaran yang akan datang jika diinginkan.
"Kamu berhak apapun yang ada padaku!" Ucap Reza.
Reza tahu Nadjwa masih belum bisa sepenuhnya memaklumi kondisinya.
"Aku tahu kamu marah dan cemburu padaku. Sayang, maafkan aku."
Diam, tak bereaksi, membuat Reza mengakhiri cumbuannya.
"Sudahlah. Aku tak ingin membahas soal ini",
"Oke, sekarang aku harus bagaimana?" seakan dirinya berada diposisi serba salah. "Kamu bilang sebaiknya kita seperti ini, dan aku sudah ikuti
peraturanmu. Aku mencintaimu dan kau tahu itu. Aku juga tahu kita melakukan ini bukan sekadar sex semata", tak kuat lagi untuk tetap bersabar.
"Bukankah kamu punya target yang tak bisa diganggu gugat?"
"Ya, itu memang benar. Tapi", ...
... "Sepertinya kamu kelelahan", memotong perkataannya. "Sebaiknya kamu istirahat saja, karena aku juga harus menyelesaikan pekerjaanku!"
Diam selama beberapa saat.
"Oke", ...
Sekali mencium pipinya kemudian Reza kembali ke ranjang. Menyelinap ke bawah selimut.
Hingga tertidur dan seperti baru sebentar terpejam, tetapi Nadjwa membangunkanya kembali.
"Hei, aku harus kerja!"
Reza yang hanya meregang dan mengubah posisi berbaringnya.
Ternyata sudah lebih dari dua jam dia tertidur.
"Sayang, bangunlah", ucap Nadjwa berbisik sambil mengusap pipinya. "Aku harus bertemu client!"
"Aku masih ngantuk!"
Menggeliat dengan disertai suara malasnya.
"Hanya ada satu kartu akses. Kamu mau aku menguncimu disini atau antar aku ke bawah?"
Lift naik maupun turun hanya bisa dioperasikan dengan menggunakan kartu akses.
"Baiklah", dengan kesan terpaksanya.
Reza bangun dan mengantarnya ke bawah. Berbeda dengan Nadjwa yang berpakaian rapi dan formal, Reza hanya mengenakan celana pendek serta rambut acak-acakan.
"Paling cepat, aku selesai pukul delapan malam. Kalau bosan, kamu bisa keluar untuk jalan-jalan!"
Ucap Nadjwa tanpa melihat kearah Reza, seolah tak ingin orang tahu jika mereka saling kenal.
"Kamu langsung balik ke hotel kan?"
"Jika tak ada acara makan-makan!"
Menatapi Reza yang ikut masuk kedalam lift.
"Aku antar kamu sampai lobby!" Reza.
Membuat Nadjwa menertawai sikapnya yang dia anggap terlalu berlebihan. Dirinya hanya tak ingin orang yang dia kenal melihatnya sedang bersama seorang laki-laki.
"Ketakutanmu terlalu berlebihan!" Reza
"Kita sudah pernah bahas ini, kan?" Nadjwa
Menahan Reza yang akan keluar dari lift.
"Oke, sampai disini saja!" Cegah Nadjwa.
Menatapi dari dalam hingga pintu lift menutup dengan sendirinya. Reza diam selama beberapa waktu sebelum menempelkan kartu akses dan lift kembali meluncur keatas.
Setibanya kembali didalam kamar, Reza melihat sejumlah uang di atas meja kecil dekat lampu yang sengaja Nadjwa tinggalkan untuknya.
Sebenarnya Reza tak menyukai transaksi atas dirinya.
Masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan badan dan mengatur temperatur air melalui handle shower pada posisi warm. Dibawah semburan air hangat yang mengenai bagian punggungnya. Bukan hanya sedang merasakan efek pijatan kecil yang selalu disukainya, tetapi juga terus saja pikirannya tak bisa tenang.
Hampir setengah jam Reza berada di kamar mandi.
Tentang kehidupannya yang kini semakin penuh dengan sandiwara. Karena suhu hangat, hampir seluruh permukaan cermin tertutup lapisan putih, membuat Reza hampir tak melihat bayanganya sendiri.
Mengusap dengan telapak tangan, agar dapat melihat bayangannya. Reza melihat kulit mukanya tampak pucat, hingga pori-porinya terlihat jelas. Kerut pada bagian bawah kelopak matanya yang menjadi lebih tebal dari sebelumnya.
Melihat bayangannya di cermin, Reza seperti bukan sedang melihat dirinya sendiri.
Tak ingin terlalu larut dalam permainan pikirannya, Reza segera keluar.
*
Melangkah menuju jalan utama yang berjarak sekitar lima puluh meter, kemudian melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan sepeda motornya.
Berhenti dan melihat dari luar, rumah dua lantai yang dulu adalah miliknya. Rumah itu masih tampak kokoh dan terawat. Rumah, tempat dimana dia menghabiskan masa kecil bersama orang tuanya. Hingga ayahnya meninggal dan perselisihan mulai terjadi.
Saat itu Reza tak terlalu mengerti dan hanya dapat mengingat setiap kali ibunya menangis. Hingga akhirnya harus merelakan rumah itu menjadi milik orang lain.
Setiap kali menjumlah uang tabungannya dan selalu saja masih belum cukup. Walaupun harus menjual
apartement, mobil serta menguras seluruh isi tabungannya. Menutup kaca helm kemudian Reza melajukan kembali motornya.
*
Muncul dengan membawa sebungkus makanan.
"Untuk kalian!" ucapnya pada kedua perempuan, dan seorang lelaki yang berada di meja resepsionis.
Sekadar kudapan untuk mereka yang selalu ramah dan tidak pernah keberatan setiap kali dirinya menitipkan kunci.
"Wah apa ini?" Indah bertanya basa-basi.
Seharusnya dia tinggal membuka dan melihatnya. Atau dari aromanya pun sudah dapat diperkirakan
jika itu adalah..
"Roti bakar", jawab Reza.
"Wahh, roti bakar", teriak Indah senang.
"Cokelat kacang dan strawberry. Kalian boleh berbagi!" jelas Reza.
Melihat seorang yang baru sekali ini dilihatnya. Gadis manis nan pemalu, tersipu saat Reza melihatnya.
"Siapa dia?" Reza bertanya pada Indah.
Tak semestinya Indah lupa memperkenalkan teman
barunya.
"Ya ampun sampai lupa", dengan menunjukkan wajah bersalahnya.
"Kakak, kenalkan ini Nina, resepsionis baru disini", ucapnya mengenalkan teman satu profesinya.
Beralih pada Nina.
"Nina, kenalkan ini pak Reza
yang baik hati dan tidak sombong, plus gantengnya nomor satu", ucap Indah melebihkan candaannya.
Reza tertawa sambil menawarkan jabat tangan pada Nina yang masih malu-malu menerimanya.
"Aku ada sesuatu untukmu",
Mengambil sebuah benda dari dalam tas dan memberikannya pada Nina.
"Untuk kamu".
Gelang Swarovki cristal berwarna biru.
"Pengganti roti bakar", sambung Reza.
Membuat Indah terkesimak karena gelang pemberiannya sangat cantik. Bahkan dia sangat rela bila harus bertukar roti bakar miliknya dengan gelang cantik itu.
Tampak Nina sangat senang dengan hadiah yang dia dapatkan. Walau dia tak pandai berekspresi seperti Indah.
"Terima kasih", masih dengan malu-malu.
"Semoga betah kerja disini",
Meninggalkan meja Resepsionis, Reza menuju lift.
Tiga hari ini, rasanya sangat melelahkan. Kerja keras, dan harus menyempatkan waktu untuk mengajar. Walau dengan penghasilan yang tak terlalu besar, tetapi dari sanalah Reza banyak mendapatkan client dengan menempatkan dirinya sebagai mangsa bagi mereka para petualang. Surga, tempatnya menjajakan tiket kesenangan. Setidaknya, setimpal dengan materi yang dia dapatkan dari transaksi terselubung itu.
Berlalu dengan pandangan kosong, hingga berada dalam lift yang tak hanya ada dirinya saja.
Sesekali memastikan nyala tombol hingga berhenti pada tombol angka lima belas. Keluar, melewati lorong menikung, menuju ruang miliknya yang berada di paling ujung.
Reza masuk dan melempar begitu saja tas miliknya keatas sofa. Langsung merebah diatas tempat tidur tanpa terlebih dahulu melakukan apapun.
Pandangannya tertuju pada
langit-langit kamarnya yang berwarna putih teduh. Saat itu terdengar suara perutnya seperti memanggil.
Teringat Jika dirinya baru makan sepotong roti pagi ini.
Tak yakin apakah masih ada makanan setelah tiga hari dirinya tak pulang.
Beranjak untuk menemukan sesuatu yang dapat dimakan. Dengan terlebih dahulu mengeluarkan Gaston dari dalam kandangnya. Sepertinya Gaston sudah sangat merindukan babunya.
Melihat dapur yang telah rapi, tanpa satu benda tak terpakai pun diluar tempatnya.
Membuka kulkas, seketika dirinya terkejut saat melihat isi didalamnya.
"Apa ini?"
Semangkok sup ceker dengan secarik memo.. 'Panasin dulu sebelum dimakan!'
Bahkan Reza melihat sop ceker itu masih lengkap dengan kuku-kukunya yang tidak dipotong.
"Sexy nail sup!" celetuknya sendiri. "Empat sehat, lima sekarat!" Bagaimana mungkin Juno tak memotong bagian kuku-kukunya.
Mengaduk untuk memastikan apakah sup itu layak konsumsi atau tidak. Tetapi dirinya terlalu lapar untuk mempertimbangkannya. Terlebih setelah sedikit menyicip kuahnya, terasa sungguh lezat.
Menikmati makan malam dengan berbagi bersama Gaston.
Setelah merasa cukup kenyang tanpa berniat mengingat kembali bentuk sup yang baru saja dimakannya, Reza menyalakan laptop yang langsung tersambung dengan signal wi-fi.
Dengan diikuti Gaston yang juga ikut naik keatas tempat tidur.
Membuka seluruh internet banking untuk melihat satu per satu saldo akhir disetiap rekeningnya. Menjumlah dan melihat total semuanya. Memang
bertambah, dan itu bukan jumlah yang sedikit. Tetapi masih terlalu jauh dari harga terakhir rumah itu.
"Fakk!" Gerutunya geram.
Menghitung ulang dengan menambahkan harga pasaran apartement, mobil serta semua benda
miliknya yang bisa diuangkan. Bahkan semua itu baru sedikit melewati setengahnya saja.
Melempar begitu
saja kalkulator ke atas kasur kemudian mengacak rambutnya.
Reza mengambil ponsel dari dalam tas kemudian menghubungi Karmila, nama asli penyanyi dangdut berdada maksimal yang selalu humoris.
Menurut Reza,
sebenarnya nama Karmila lebih terdengar indah dari pada Anggita Bohai atau si goyang ajak-ajak, yang hot menurut orang-orang.
Saat ini Karmila atau Anggita Bohai lebih sering muncul sebagai salah satu presenter acara seru-seruan remaja. Mondar mandir di infotainment karena kasus hubungannya dengan salah satu pejabat di Senayan. Tidak seperti dilayar kaca yang dia tampak seperti korban, kenyataanya dia sangat menikmati kehidupannya yang sekarang.
Sekadar memastikan apakah dia sudah menghubungi Juno yang Reza kenalkan sebagai terapis, sekaligus teman baiknya. Barang baru yang tidak akan membuatnya kecewa.
Rupanya mereka sudah membuat janji untuk hari ini. Dapat diperkirakan jika Karmila selalu cepat untuk urusan barang baru.
Karmila bertanya mengenai ukuran yang Juno miliki. Tidak langsung menjawab, melainkan hanya tertawa dan menyarankan untuk Karmila memastikan langsung bila sudah bersamanya. Dengan menjanjikan garansi jika dirinya kurang puas atas
produk yang direkomendasikan. Kenyataannya, selama ini dirinya memang belum pernah sekalipun
mengecewakannya.
Dalam hati Reza sebenarnya merasa bersalah dengan kelakuan buruk yang dia tujukan pada teman baiknya. Tetapi dilain sisi Reza merasa terhibur dengan perbuatannya hingga membuatnya tertawa sendiri.
Beralibi dengan meyakinkan dirinya sendiri, karena toh nantinya Juno akan berterima kasih padanya, atas kesenangan yang dia hadiahkan meski tanpa terlebih dahulu meminta persetujuannya.
Mengakhiri panggilan dan kembali berpikir bagaimana cara mendapatkan
uang lagi. Tak tahu berapa lama dirinya mampu bekerja, sedangkan waktu terus berjalan.
Sedikit membuka laci kemudian menutupnya kembali.
Bahkan untuk melihatnya pun kini Reza tak berani. Sungguh dirinya sangat tak berguna. Bahkan untuk sekadar menyenangkan orang tuanya saja, dirinya tak mampu.
Melihat Gaston, sang majikan berbulu yang sepertinya sudah merasa nyaman dengan posisinya. Reza meraih remot dan menyalakan musik rock ber-volume maximal, kemudian melepas baju serta celana panjangnya. Menuju teras untuk olah raga sebelum mandi lalu tidur. Mengumpulkan kembali mood baik dan melupakan kegundahan sesaatnya.
*
Dihalaman rumah dengan pagar berwarna cokelat tua, Juno memastikan dan memang sudah sesuai dengan alamat yang dia terima.
Menekan tombol bel disela pagar dan seorang pekerja wanita keluar.
"Cari siapa mas?"
"Saya ada janji dengan Ibu Karmila!"
"Sebentar ya",
Perempuan itu kembali masuk dan hanya sebentar kemudian keluar untuk mempersilakannya masuk. Ternyata bagian dalam rumah itu sangatlah luas. Rumah dua lantai dengan benda-benda antik sebagai pelengkap ruangan. Lukisan abstrak yang salah satunya berukuran sangat besar terpampang di dinding utama.
Diluar ruang yang dibatasi kaca bening, terdapat kolam renang berbentuk oval yang memanjang sepanjang sisi dengan suara gemericik air dari pancuran kecil. Di sudutnya, sebatang pohon Kamboja tumbuh menjulang, melebihi pagar pembatas. Pohon Kamboja itu berbunga warna putih yang beberapa tangkainya mengambang diatas air kolam.
Perhatiannya teralih saat seseorang turun dari lantai atas.
"Anggita Bohai, si goyang ajak-ajak!"
Pedangdut fenomenal yang langsung membuat Juno menelan ludahnya sendiri. Baru tahu jika Karmila
adalah Anggita Bohai, si Goyang ajak-ajak.
Dengan langkah yang sangat diperhitungkan ketika menuruni satu per satu anak tangga, sungguh bentuk
kaki yang indah, milik dari seorang wanita cantik. Membayangkannya yang turun sambil menunjukkan aksi goyang ajak-ajaknya.
"Halo..!"
Tersadar jika itu hanya khayalan semata. Karmila menyelipkan rambut kebelakang telinganya. Seakan
meminta untuk dirinya dipuji dan dikangumi. Jelmaan bidadari yang mampu membuat bunga mawar merasa iri. Sungguh Juno terpesona akan kecantikannya.
Wanita berkulit mulus yang kini
berdiri tepat dihadapannya, tatapannya begitu mendalam hingga menusuk jantung.
"Saya Juno, terapis yang ibu telpon!"
Dengan sedikit membungkukkan badan.
"Ya, aku tahu!"
Berjalan memutar, seperti masih mencari sesuatu darinya. Sambil mengikat rambut, Anggita Bohai
berjalan melewatinya.
"Tunggu sebentar ya",
Mengambilkan segelas air
minum sembari memberitahu jika pembantunya hanya setengah hari bekerja. Insting liar seketika muncul dan saat itu juga Juno Juno singkirkan dari otaknya.
Sepertinya Anggita Bohai menangkap reaksi dengan sangat baik. Minuman dingin yang terasa manis dan sangat menyegarkan.
"So, mau langsung atau mau istirahat dulu?"
"Hemm, langsung boleh!"
"Oke!"
"Mau dimana?"
"Di kamar saja ya, di atas!"
Mengiyakan kemudian mengikutinya yang terlebih dahulu kembali menaiki anak tangga. Masuk kedalam kamar, seketika tercium aroma pengharum ruangan khusus untuk relaxing.
"Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu!"
Menunggu sambil mengeluarkan semua peralatan dan memperkirakan posisi untuk dirinya melakukan treatment. Dengan berusaha untuk tak melihat Karmila yang menukar pakaian hanya dengan berpelindung pintu lemari sebagai penutupnya.
"Oke, sekarang bagaimana?"
Menjelaskan urutan treatment jika dia menginginkan semuanya. Diawali pada kedua kaki, tangan kemudian badan. Diakhiri pada pundak serta kepala. Sepertinya Dia langsung mengerti, dan Juno mempersilakan clientnya untuk bersandar dengan posisi setengah berbaring. Menawarkan selimut yang
dia bawa sebagai penutup. Tetapi Dia lebih nyaman bila tak memakai apapun. Bukan masalah bagi Juno untuk memulai pekerjaannya. Sudah pasti saat dirinya harus menekuk satu kakinya, dengan jelas Juno melihat sela pahanya.
"Ujian oh ujian!"
Ujian yang nikmat. Berusaha tetap fokus dengan cara menundukkan kepala. Walau sesekali kembali melihatnya, seperti rasa penasaran yang sulit untuk ditahan. Lebih lama memijat bagian betis sebelum dilakukan reflexy pada telapak kakinya.
Untuk mencairkan suasana, Anggita Bohai mengawali perbincangan mengenai hal-hal tak penting. Bertanya
mengenai daerah asal, lamanya bekerja serta alasan dirinya lebih memilih freelance dari pada terikat pada corporate. Tentu saja alasannya karena
tidak ada aturan wajib serta uang yang lebih mudah didapat.
Sambil tetap memijat, sepuluh menit untuk tiap kaki sesuai permintaan. Setelah itu, langsung ke badan
sesuai permintaan juga. Seperti mempermudah pekerjaannya saja. Kemudian Juno mempersilakan
Karmila untuk balik badan. Menutup seluruh bagian belakangnya dengan selimut, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu.
Dimulai dengan memijat bagian tumit kaki yang sudah pasti langsung membuatnya rilex. Memijat kedua betis terlebih dahulu. Sedikit demi sedikit naik keatas hingga melewati paha atasnya. Turun kembali sampai lutut bagian belakang kemudian naik keatas lagi.
"Its just foreplay!"
Sampai pada bagian bokong bagian paling enak untuk semua pihak. Memutar kekiri dan kekanan dengan kedua telapak tangan. Memijat sela
persendian karena itu adalah bagian yang terasa pegal dan linu. Kembali naik, memijat otot pinggang hingga punggung. Karmila merintih sakit tetapi dia menyuruh Juno untuk tetap memijat. Dilanjutkan dengan memijat bagian belikat dengan menahan rasa penasaran untuk sedikit turun kebagian depan.
"Sedikit lagi, sedikit lagi ngga papa kali!"
Bujuk setan kecil dalam hati yang masih mampu Juno tahan untuk tidak melakukannya. Memastikan dari raut wajahnya yang tenang dengan kedua mata terpejam. Terus memijat dengan beberapa variasi tehnik yang membuat Karmila semakin larut dalam kenikmatan.
Menyadari dirinya tengah berada satu ruang dengan Artis fenomenal, di
dalam rumah yang juga hanya ada mereka berdua saja. Walau sudah terbiasa dengan beberapa client
wanita. Sekali lagi desah napasnya terdengar manja menggoda.
"Dan ada sesuatu yang sedang tumbuh di dalam sana",
Merasa dirinya seorang penunda
kesenangan Juno mempersilakan Anggita Bohai untuk duduk dan mulai memijat pundak atasnya dengan lembut. Tanpa berniat mengintip, Juno langsung
dapat melihat dari atas, sela dadanya yang dibiarkan terbuka. Sekali menelan air liur disaat konsentrasinya
mulai membuyar. Tanpa bermaksud kurangajar sambil memijat tangannya sedikit turun kebagian depan pundaknya.
Membuatnya semakin penasaran, ada apakah di balik sana.
__"Awas, hati-hati nanti kena!"
Menarik diri dan kembali memijat dengan sewajarnya.
"Bodoh, bodoh, bodoh!" dalam hati mengatai dirinya sendiri.
Sambil berusaha untuk tetap tenang dan kembali fokus. Mengatur napas serta detak jantungnya yang semakin berdetak kencang karena terkejut. Tetapi tak berlaku untuk Karmila yang malah menertawainya.
Menyibak rambutnya ke sisi kanan, seolah meminta pada Juno untuk memijat bagian lehernya. Disaat Juno sudah kembali pada konsentrasinya, tiba-tiba Anggita Bohai melingkarkan kedua tangannya ke badan Juno yang ada di belakangnya lalu pelan-pelan mengencang hingga menekan tubuhnya kedepan. Membuat Karmila dapat merasakan sesuatu yang mulai mengeras menempel pada bagian punggungnya.
Saat Anggita Bohai meraih leher Juno dan menariknya, ia menatap dengan sedikit senyum yang dia tunjukkan. Menatap sayu seolah memintanya untuk segera mencium lembut bibirnya yang basah. Juno pun melakukan jauh dari yang seharusnya dia kerjakan. Membuatnya menyesal karena tidak profesional dalam bekerja.
***