"Hy Kak, hari ini kita jadi pergi kan ?"
Septia menghubungi Rania, Rania mengingat sesuatu tentang janjinya beberapa waktu yang lalu.
Menuju pengadilan agama dan berkonsultasi tentang masalahnya.
"Oh iya, jadi." Rania menjawab dengan cepat.
Bersiap ia demi menuntaskan janjinya, sudah pukul tujuh waktu Indonesia tengah. Kalau berangkat terlalu siang nanti antriannya panjang dan Rania malas dengan antrian yang panjang itu. Rania tidak suka menunggu, itu sebabnya ia malas sekali berhubungan dengan urusan birokrasi. Sering berbelit-belit dan banyak persyaratan.
Rania memilih baju yang pantas untuk ia kenakan. Celana panjang hitam dengan atasan panjang selutut, berwarna hijau lumut model baju anak jaman sekarang di padu dengan jilbab warna senada namun bermotif bunga. Rania mematut dirinya di cermin. Mengoleskan bedak dan lipstik tipis di wajahnya. Rania nampak yakin bahwa penampilannya sudah sedikit mendekati sempurna.
Ia keluar kamar,
"Nggak makan dulu, Mbak ?"
"Nggak usah deh, aku buru-buru." Jawab Rania sambil mengunci pintu kamarnya.
Pembantunya buru-buru mengambil kotak bekal kemudian meletakkan nasi, bali telor tahu dan tempe serta tumis kangkung sekalian buah jeruk yang telah di kupas dan di masukkan ke dalam kantong plastik bening, semua di jadikan satu dalam kotak bekal.
"Mbak, ini bekalnya." Teriak pembantunya dari belakang.
Rania merasa bersyukur memiliki pembantu yang baik dan menyayanginya, menjaganya juga menganggapnya bukan hanya majikan tapi juga saudara. Saat hidup sendirian dan berada di perantauan seperti sekarang, mempunyai orang yang memperhatikan dan sayang pada dirinya adalah sebuah anugerah luar biasa.
"Terimakasih ya, mbak." Ucap Rania saat menerima bekal tersebut.
Rania menuju mobil dan mulai mengemudikannya.
Septia menunggu Rania di depan rumahnya, gadis ceria yang menyukai warna hitam dan putih ini begitu cantik dan menarik. Saat ia melihat mobil Rania datang maka serta merta ia berlari mendekat. Kemudian melompat di mobik itu dan duduk tepat di samping Rania. Rania menyapanya.
"Sudah mandi, Tia ?"
"Menghina, ya sudah dong."
"Kita langsung ke Pengadilan Agama ya ?"
"Iya deh."
"Ntar kita ngomongnya mau konsultasi saja ya, Tia."
Tia mengangguk-anggukkan kepala setuju.
Memasuki gedung dengan pilar megah berwarna coklat muda. Mobil Rania ia parkir tepat di ujung. Kemudian mereka berdua turun. Mencari tempat untuk konsultasi. Deretan orang sudah berjajar di ruang tunggu dengan niat dan kepentingannya masing-masing.
Rania mendekat, mencoba meringsek orang yang banyak tadi, mendekati seorang petugas.
"Mohon maaf Pak, kalau mau konsultasi dimana ya tempatnya." Rania bertanya pada seorang lelaki yang nampak perlente, wajahnya ke bapak an, kumis tipis menghias wajahnya, rambutnya ikal, tubuhnya berisi, nampak kharismatik diantaranya senyumnya yang tipis. 'Wahyu' namanya tertulis di dada beliau.
Pak Wahyu menatap Rania sekilas kemudian sambil beralih pandang beliau bertanya.
"Konsultasi tentang apa ?"
"Perceraian, Pak."
Dengan sopan beliau mengajak Rania dan Septia menuju ruangannya.
Rania duduk di ruangan tersebut. Sekilas Rania memandang sekeliling, beliau ternyata Kepala Dinas Pengadilan Agama.
'Berarti aku salah orang tadi nanya nya, 'Rania mendesah.
"Bisa mulai diceritakan perceraian yang bagaimana yang kamu maksudkan ?"
"Begini Pak, lima tahun yang lalu, atau hampir enam tahun bila di hitung sampai hari ini, saya pernah menikah 'sirri' dengan seorang lelaki, lelaki tersebut datang ke rumah untuk meminang saya bersama seorang wanita yang ternyata adalah istrinya. Awalnya semua baik-baik saja hingga kemudian pertengkaran sering terjadi antara saya dengan istrinya. Saya pergi karena tidak tahan. Saya sering sekali sakit, Pak. Saya tinggalkan suami saya ke Jawa. Kami benar-benar tidak pernah bertemu dan saya tidak menerima nafkah lahir batin. Hanya yang menjengkelkan adalah, setiap saya hendak menikah lagi dengan lelaki lain bila suami saya tahu dia pasti akan bilang saya adalah istrinya. Tahun berganti ternyata dia masih menganggap saya istri. Apa yang harus saya lakukan, Pak ?"
"Minta di ceraikan secara agama juga."
"Sudah ratusan kali, Pak."
"Apa jawabannya ?"
"Dia tidak mau menceraikan."
"Mungkin suami mbak masih cinta," ujar Pak Wahyu bicara panjang lebar.
"Terserah dia cinta atau tidak yang pasti saya tidak." Rania berkata tegas dan jelas. Kemudian menunduk, membaca luka di hatinya yang nyaris berdarah lagi.
Pak Wahyu memandang Rania dengan pandangan iba.
'Lelaki mana yang mau bercerai dengan mu ?' batin Pak Wahyu menggumam.
Lelaki di dunia manapun menyukai perpaduan wanita manja dan mandiri. Mandiri artinya wanita yang bisa mencari uang sendiri pasti sangat menarik, memiliki cerita tentang kesibukannya yang bisa dibicarakan di sore hari saat minum teh bersama. Yang bisa membantu saat keuangan keluarga bermasalah. Memiliki wanita seperti ini pasti membanggakan dan menambah gairah.
Namun lelaki juga butuh wanita manja, wanita yang dalam kemandiriannya ia mempunyai ruang agar lelaki bisa menolong mengerjakan hal-hal yang tidak bisa ia kerjakan. Diantara kemandiriannya lelaki mempunyai tempat untuk menyelesaikan masalah yang tidak bisa ia selesaikan sehingga lelaki menjadi berharga. Wanita mandiri namun manja atau wanita manja yang memiliki kemandirian adalah idaman semua lelaki dan Rania sepertinya memiliki hal itu saat ini.
Pak Wahyu diam, Rania dan Septia juga diam. Hening di dalam ruangan.
Kemudian Rania mengeluarkan kalimat.
"Bagaimana dengan 'Fasakh' , pak ?"
"Fasakh itu sebuah perceraian yang terjadi karena salah satu pasangan memiliki penyakit atau cacat yang tidak di sukai pasangannya. Ini harus Pengadilan Agama yang menyelesaikan.Dengan mengembalikan mahar." Pak Wahyu menjelaskan.
Rania diam,
"Kalau nikahnya sirri apa bisa fasakhnya sirri juga ?"
"Itu lah masalahnya. " Pak Wahyu menggumam.
"Tidak ada aturan yang mengatur tentang pernikahan di bawah tangan secara hukum negara. Kalau secara hukum agama jelas, bila salah satu pasangan tidak berkenan maka bisa bercerai dan caranya lelaki harus mengucapkan talak. Masalahnya bila si lelaki tidak mau mengucapkan talak ini yang susah." Pak Wahyu mencoba berfikir keras.
"Bekerja dimana suami mu?" tanya Pak Wahyu pada Rania.
Kemudian Rania menyebut salah satu nama universitas.
"ASN berarti ?"
"Iya, pak."
"Wah, kalau ASN gampang. Kita tinggal minta pimpinannya memberikan tekanan agar ia mau menceraikan. Gampang saja itu. Saya akan bantu kamu." Pak Wahyu memberikan harapan besar pada Rania.
Rania terlihat bersemangat sekali.
"Ini nomer whatsapp saya, kalau saya siap menemui suami mu saya kabar i, ya."
Rania mengangguk, ia mengucapkan terimakasih atas bantuan Pak Wahyu.
."Saya belum membantu, andaipun saya membantu itu bagian dari kewajiban saya." Pak Wahyu menjawab bijak.
"Kalau begitu saya permisi dulu." Rania berpamitan pada Pak Wahyu. Septia tahu Pak Wahyu masih ingin berbincang namun Rania yang tidak peka tidak akan tahu itu.
Mereka pun menuju mobil. Sepanjang perjalanan ada ceria yang menggantung di wajah Rania, ia seperti mendapatkan nafas baru. Harapannya yang hampir kandas kini menyala lagi. Entah mengapa sejak awal Rania memang suka terhadap orang-orang dengan usia yang jauh di atas nya. Apakah hal itu terjadi karena Rania kehilangan sosok Abah nya sejak kecil sehingga dia merindukannya dan mencari sosok itu hingga dewasa. Berada di samping lelaki yang usianya terpaut jauh membuat Rania merasa tenang dan nyaman, bahkan hal tersebut bisa membangkitkan rasa percaya diri di hatinya.
Seperti hari ini. Rasa percaya diri itu muncul lagi, merasa sebagian dari hidupnya ada yang menjaga, merasa hidupnya akan baik-baik saja. Saat seorang wanita memiliki uang dan kekayaan saat itu wanita tersebut butuh cinta dan kasih sayang namun bukan berarti mereka akan memelihara seorang pengangguran dalam kehidupannya. Tidak demikian.
Septia terdiam. Menatap Rania dengan senyumnya yang tersungging. Ia tahu sahabatnya sedang bahagia. Pun, ketika mobilnya berbelok ke sebuah rumah makan Wong Solo. Septia masih melihat senyum itu.
Mereka turun hendak makan, saat mereka telah memesan dan hampir saja menyendok kan nasi di mulutnya, Rania dan Septia melihat Pak Leo, Laela dan anak-anaknya juga orang tua mereka sedang menuju tempat yang sama.
'Ya Allah kenapa harus bertemu mereka ? ' Rania berkata lirih sambil meraba hatinya.
Perih sekali rasanya.
"Berarti Pak Leo sudah pulang dari rumah sakit ?" Tanya Septia.
Rania hanya diam melihat ayam bakar yang tetap tenang di atas piringnya. Hanya ayam bakar ini yang tidak terusik akan kehadiran Pak Leo di rumah makan ini.
Rania diam, ia ingin pergi namun tidak mungkin. Ia tidak ingin perseteruan itu terjadi lagi. Ia sangat letih.
"Berarti Pak Leo masih tetap dengan istrinya, buktinya mereka baik-baik saja. Dasar pembohong" ucap Septia kesal.
"Begitulah lelaki." Rania menjawab dengan mata menerawang
"Begitulah lelaki." Jawab Rania menerawang.