"Assalamualaikum, apa kabar ? sudah sampai di mana ?"
Rania tampak tersenyum melihat pesan masuk di ponselnya.
Meski hanya sekilas senyum itu nampak seperti senyum bahagia.
Rania meraih ponselnya kemudian membalas pesan tersebut dengan cepat.
"Di rumah makan Wong Solo, di sini ada Pak Leo bersama keluarganya."
Begitu penjelasan Rania melalui pesan singkat kepada seseorang yang mengirim pesan lewat ponsel nya. Orang tersebut ternyata Pak Wahyu yang tadi di temui oleh Rania dan Septia di Kantor Pengadilan Agama.
"Bagus dong."
"Kok bagus ?"
"Ya, kan bisa berbincang,"
"Berbincang apaan ?"
"Kamu baik-baik saja kan ?"
"Aku ingin marah tapi berusaha menahan."
"Perlu aku ke sana?"
"Kalau tidak merepotkan, silahkan."
"Share lokasi ya,"
"Oke."
Rania pun sigap mengirimkan permintaan Pak Wahyu. Hanya selang beberapa menit dari perbincangan itu Pak Wahyu telah berada di rumah makan tersebut.
Pak Wahyu menghubungi Rania,
"Kamu dimana?"
"Meja 31"
Pak Wahyu mendekati meja tersebut, mengulum senyumnya, ia duduk di samping Rania berhadapan dengan Septia.
Mereka berbincang ringan. Sepertinya Pak Wahyu orang yang baik, hal itu nampak dari betapa berwibawa nya beliau saat berbincang. Tidak ada kesan nakal dari caranya memandang. Ah, seperti sosok lelaki idaman.
Sebuah pandangan sampai pada tempat mereka berbincang, pandangan itu mengajak bibir berteriak
"Pa, itu teman papa yang waktu itu jumpa di mall, ya ?"
Pak Leo mengalihkan pandang ke arah yang di tunjuk, begitu juga dengan Laela. Mereka serempak memandang pada satu tempat yang sama.
Nampak oleh mereka sosok Rania, Septia juga seorang lelaki.
"Lelaki baru kayaknya, pasti suami orang lagi." Laela membuka suara.
"Jangan mulai, " Pak Leo mengingatkan.
"Mulai apa ? Memang faktanya lelaki baru kan ?"
"Kita sedang bersama mamah, Abah dan anak-anak, tidak usah memancing keributan." Sekali lagi Pak Leo memberikan peringatan.
Namun dasar Laela yang tidak pernah berubah, dia tetap saja memancing keributan. Mungkin itu adalah cara bagi dirinya membiaskan luka.
Ketika Rania, Septia juga Pak Wahyu melangkah hendak menuju kasir tiba-tiba sebuah suara mampir di telinga mereka. Suara yang kalimatnya sangat tidak sopan. Suara yang membuat mereka sontak berhenti dari langkah nya.
Rania berhenti kemudian mengarahkan pandangannya pada wanita berwajah tidak cantik itu. Ia benar-benar geram.
"Kamu ngomong dengan siapa ?"
"Dengan kamu !"
"Maksud kamu apa ?"
"Pertanyaan ku sudah jelas, mangsa baru ya ?"
"Kamu bisa nggak sih berhenti mengurusi kehidupan ku."
"Aku hanya nanya, salah ?"
"Nggak salah cuma omongan mu itu yang tidak benar. Belum tahu rasanya mulut mu di sobek ya ?"
"Duh, duh, duh." Suara Laela menyebalkan.
"Ayo Ran, kita pergi saja dari tempat ini. Nggak usah dihiraukan. Menghiraukan orang gila nanti kita bisa ikut gila."
Pak Wahyu melingkarkan lengannya di bahu Rania hendak membawa Rania keluar dari tempat itu. Septia masih terpana dengan apa yang baru saja dilihat.
Mereka menjauh dari meja tempat Pak Leo dan keluarganya duduk. Pak Leo berusaha membuat istrinya berhenti bicara namun gagal.
Saat Rania dan Pak Wahyu hendak melanjutkan langkah mereka menuju kasir, tiba-tiba.
Sesuatu terlempar ke baju bagian belakang Rania. Septia panik. Rania mendekati Laela.
"Mau mu apa ?" Tanya Rania sambil mendorong tubuh kurus Laela, Laela berdiri.
"Aku mau kamu pergi yang jauh dari Banjarmasin ini. Kamu disini hanya merusak pemandangan dan membuat keluarga ku hancur."
"Emang ini kota punya mama mu ?" Rania bicara lantang, Pak Leo, Pak Wahyu juga orang tua Laela berusaha melerai.
"Kamu disini hanya untuk membuat suami ku terpikat lagi kan ?" Laela menangis, drama Koreanya muncul lagi.
"Huekkk!! " Ucap Rania.
"Aku disini justru ingin suami ku menceraikan aku. Kamu memang wanita bodoh, ya." Rania menambahkan. Beberapa pasang mata nampak melihat. Pelayan resto memperingatkan agar mereka tidak membuat keributan di dalam rumah makan. Pak Wahyu menarik lengan Rania keluar, Septia di minta membayar makanan yang tadi mereka makan.
Nasib buruk ternyata Laela mengikuti langkah Rania dan Pak Wahyu. Sebagai istri pertama Laela memang sakit hati namun caranya memaki di depan umum sangat tidak elegan, tidak mencerminkan seorang akademisi. Murahan. Tidak cantik dan terkesan arogan.
Laela memukul punggung Rania, Rania marah. Pak Leo memegang tangan Laela dengan kuat.
"Wanita murahan bisanya merebut suami orang!" Hardik Laela.
"Kamu lupa diri ya, kamu dulu yang datang minta aku menikah dengan Pak Leo." Rania bicara tidak kalah keras.
"Sudah, cukup !" Pak Wahyu melerai mereka.
"Sebentar mas," Rania bicara saat ada jeda.
"Sekarang ayah buktikan, ayah lebih memilih aku atau wanita ini !" Rania bicara pada Pak Leo.
"Kalau ayah memilih aku hari ini juga kita kembali sebagai suami istri dan ayah bisa tinggal di rumah ku." Semua terhenyak, mata anak-anak Pak Leo memandang satu pada papanya, mata orang tua Laela berharap terjadi keajaiban.
"Ayo ayah, kalau ayah memilih aku tinggalkan wanita ini."
Rania memberikan penawaran sekali lagi.
Wajah Leo masih pucat pasi, beberapa detik kemudian,
"Ya pasti memilih aku lah, aku punya anak kok."
Laela bicara tanpa diminta dan di luar dugaan tangan Leo melayang ke arah ke dua pipi Laela dengan keras. Laela menjerit semua yang melihat terkejut bukan kepalang.
Rania menggandeng lengan Pak Wahyu menuju mobil. Rania sengaja mengajak Pak Wahyu menaiki mobilnya dan Pak Wahyu pun mengikuti saja keinginan Rania, namun sebelum pergi Pak Wahyu sempat berkata,
"Pak sebaiknya urusan ini diselesaikan sebelum saya ikut campur dan menjadi panjang."
Mereka pergi dari rumah makan, Rania menangis dibalik kemudinya. Hatinya luar biasa sakit.
Hingga ia menepikan mobilnya. Ia luapkan perasaannya, ia tumpahkan tangisannya. Ia sudah tidak punya cara lagi untuk bernafas bila keadaannya seperti ini.
Ia hanya ingin masalah ini cepat selesai, statusnya terbebas menjadi seorang yang berstatus tanpa suami.
Menyakitkan, berhadapan dengan lelaki tanpa ketegasan pasti banyak menghadirkan kepiluan bagi wanitanya.
Pak Wahyu bicara pelan.
"Kita ke Mall, yuk."
"Baju mu kotor. Sekali-kali kamu perlu menghibur diri."
Rania menghapus air matanya.
"Kami pulang saja, saya lelah."
"Ran, tenang saja, masalah yang diberikan Tuhan pasti akan selesai bila tiba masanya. Paling tidak Tuhan telah menentukan waktu kapan ia akan selesai. Kita hanya diminta Allah untuk sabar dan sholat." Pak Wahyu bicara bijak.
"Ayolah, Kak, kita bersenang-senang dulu, selagi ada yang mau nraktir." Septia berujar.
"Hah, mentraktir ?"
Pak Wahyu spontan tertawa. Alhasil Rania pun tertawa diantara air matanya yang masih basah.
Mereka pun meluncur menuju mall terbesar di Banjarmasin, tempat Rania dan Pak Leo pertama kali bertemu kembali setelah sekian lama berpisah.
Mereka berbelanja, membeli baju baru, juga sepatu.
Hari itu semua GRATIS karena Pak Wahyu yang mentraktir semuanya.
Sebelum berpisah Rania berujar
"Terimakasih, bapak sudah baik pada saya, saya berhutang Budi."
"Tidak usah dipikirkan, yang penting kamu sehat, bahagia dan masalah mu selesai."
Kalimat itu sangat indah terdengar, Rania berjanji akan menyimpannya sebagai kenangan yang tak terlupakan.
Langit masih cerah saat mereka menyudahi acara belanjanya. Pak Wahyu diantar kembali oleh Rania menuju rumah makan tempat tragedi tadi terjadi. Pak Wahyu turun sambil berkata, "jaga dirimu, secepatnya masalah ini akan kita selesaikan."
"Terimakasih" hanya itu yang bisa Rania ucapkan. Sebuah lambaian tangan ia berikan, senyum yang terbalas membuat bunga di hati tumbuh, merekah dan berkembang. Seperti udara segar yang senantiasa mengalirkan aroma kesehatan bagi setiap insan. Rania mengarahkan mobilnya menuju rumah Septia dan berusaha melupakan kejadian hari ini. Fakta di depan mata, Pak Leo tidak akan pernah berani meninggalkan keluarganya demi memilih Rania, dan apa yang disampaikannya hanya bualan semata.