Minggu pagi yang cerah. Ara dan Rian bersama-sama lari pagi. Baru putaran pertama mengelilingi stadion GOR, nafas Ara mulai tersengal-sengal. Betisnya mulai mengeras, perutnya sakit, juga dadanya. Pandangannya berkunang-kunang. Dia merasa persiapan untuk mendaki gunung lebih berat dari latihan taekwondo dan karate yang di berikan kakaknya.
"Rian… kita istirahat… sebentar," pintanya, terbatuk-batuk, melambatkan laju larinya. "Aku…, eh, aku…agak…capek sedikit…"
Rian sontak berhenti. Air mukanya cemas. "Kita pulang aja ya?"
Ara menggelengkan kepala.
Rian tercekat. "Ara…" bujuknya sia-sia, karena Ara berkeras kembali melanjutkan lari pagi.
Baru lari beberapa meter, Ara mulai kepayahan lagi. Dia berhenti, dan memuntahkan isi perutnya. Sebelah tangannya memegang rusuk kiri sambil meringis, sedangkan tangan kanannya gemetar berpegangan pada batang pohon. Dia ingat kata-kata dokter yang di temuinya kemarin. Meskipun boleh beraktifitas tapi harus dalam kadar normal tidak boleh berlebihan. Efek samping dari obat yang dia konsumsi mulai menunjukkan gejala.
Ara terduduk lunglai di atas trotoar, di sangga kedua tangan Rian yang sigap memegang badannya, meluruskan kedua kaki dan memijit-mijit tengkuk seraya menyandarkan kepala Ara ke dadanya.
Sesaat, Ara merasa malu dengan keadaannya. Dia tidak pernah terlihat lemah seperti sekarang. Dia mencoba bangkit.
"Ssshh…," cegah Rian lembut, menyandarkan lagi kepala Ara di dadanya.
Karena terlalu lemas, Ara terpaksa membiarkannya. Termasuk ketika Rian mengusap keringat yang mengucur deras di wajah dan lehernya dengan handuk kecil.
Untuk beberapa menit yang terasa sangat lama, Ara memejamkan mata. Mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa kekuatan sambil merenungi dirinya sendiri.
'Aku memang bodoh' akunya dalam hati seraya tersenyum pahit.
"Rian…" suara halus Ara terdengar jauh di telinga cowok itu.
"Kenapa, Ra? Udah agak enakan?" Rian menatap mata Ara yang terbuka pelan-pelan dan menyodorkan sebotol air minum ke mulutnya.
"Kita tetap naik gunung kan?" tuntut Ara.
Rian menghela napas berat. Mulai goyah oleh sikap keras kepala cewek ini.
"Bukan maksud aku untuk ngeremehin kesungguhan mu. Tapi sebaiknya kau pikir-pikir lagi." Dia meminum habis air mineral yang tertinggal setengah, kemudian memutar-mutar botol yang sudah kosong dengan jari-jarinya.
Ara mengamati diam-diam jari jemari Rian. Kuku-kukunya bersih, tidak terlalu panjang atau pendek, sedikit kapalan di ujung jari, tapi sama sekali tidak mengurangi kebersihannya. Tangan yang kuat dan mencerminkan ketangguhan. Ingin sekali rasanya Ara menggenggamnya erat-erat untuk mencari penghiburan dan kekuatan. Sekedar di belai oleh tangan ini juga boleh.
Mendadak mukanya merah padam. 'kok jadi mengkhayal yang aneh-aneh sih? Ah, apakah ini juga efek samping dari obat yang di minumnya?'. Cepat-cepat Ara memejamkan mata kembali.
"Kau setuju kan?" Tanya Rian, menunduk memandangi wajah pucat itu.
"Tidak."
"Anak bandel!," gerutu Rian halus.
Ara tersenyum dalam hati, menikmati perhatian Rian sambil tetap bersandar di dada bidangnya. Memutuskan membuang jauh-jauh rasa rikuhnya. Dia juga baru menyadari jika berada di dekapan Rian sangat nyaman apakah karena Rian telah berpengalaman dalam menenangkan gadis-gadisnya. Ara sendiri tidak tahu.
***
Beberapa hari kemudian, akhirnya Ara sukses menyelesaikan dua putaran keliling lapangan stadion GOR. Ia duduk-duduk di bawah deretan pohon sembari meminum air mineral, sementara Rian terus jogging. Ara kembali hanyut dalam pikirannya. Seandainya dulu dia lebih membuka hati untuk Rian apakah bisa melihat sisi lain dari sifatnya. Apakah Rian juga menunjukkan sifat penyayangnya pada gadis-gadis yang dulu menjadi kekasihnya.
Setelah tiga puluh menit, Rian berhenti lari dan melakukan gerakan pendinginan. Keringat mengucur, membasahi kaos olahraga merah tua yang di kenakan cowok itu sementara Ara diam-diam memperhatikannya dengan teliti.
Entah kenapa, di mata Ara semakin hari cowok itu semakin menarik, juga ganteng. Padahal banyak cowok yang lebih keren, tapi Rian berbeda. Dia terlihat natural tanpa sok maskulin sebagai cowok, baik itu dulu maupun sekarang.
"Heh, ngelamun!" tegur Rian yang tiba-tiba sudah berdiri di depan Ara.
"A-apa?" ucap Ara agak gelagapan. "Eh, gimana latihan fisik ku? Udah lumayan kan?" sambungnya cepat-cepat.
Tangan Rian mengacak-acak rambut Ara sambil tertawa singkat. "Aku tahu semua yang kita lewati beberapa hari ini hanya pengulangan aja untukmu! Karena aku perhatikan fisikmu sudah kuat hanya kau malas untuk bergerak. Kau lulus. Tapi untuk kemampuan lari? Mmm… harusnya kau lari minimal tiga puluh menit lagi seperti aku tadi."
"Waduh!"
"Hehehe, becanda," ucap Rian santai, mengusap keringat di dahinya dengan handuk kecil. " Kemampuan jogging seperti itu hanya untuk pendaki yang sering seperti aku. Lagian aku melakukannya juga secara bertahap. Awalnya, aku hanya sanggup lima belas menit, terus tiga puluh menit. Nanti empat puluh lima menit, dan terakhir satu jam. Paling tidak, harus sanggup lari sejauh dua kilometer dalam waktu dua belas menit.
"Wuidiiih, berat banget ya ternyata kalau mau jadi pendaki gunung beneran? Tapi. Rian, aku belum pernah melihat dan mendengar kau mendaki gunung dulu, aku hanya sering melihatmu bergandengan tangan dengan gadis yang berbeda setiap minggunya".
Rian terdiam wajahnya menunjukan tidak enak "Tolong jangan di ingat masa kelam yang memalukan itu! Sekarang aku sedang berusaha menebusnya dengan sungguh-sungguh." Rian duduk di sebelah Ara seraya meluruskan kedua kakinya.bulu mata panjangnya terkulai menatap ujung sepatu sedih. "Kau mungkin tidak akan percaya dengan kata-kata ku sekarang tapi setidaknya kau masih mau untuk mendengarnya. Setelahnya terserah padamu untuk percaya atau tidak."
Rian mengangguk seraya memandangi wajah manis itu.
"Waktu kecil aku tinggal di luar kota bersama Bibi ku, karena dia tidak memiliki anak. Dan aku memiliki tetangga yang baik, mereka memiliki tiga orang putri. Aku seumuran dengan putri kedua mereka tapi lebih akrab dengan putri pertama. Sedangkan putri ke tiga jarang menampakkan diri selalu di dalam kamar."
Ara merasa akrab dengan cerita Rian tapi masih tidak pasti. "Lalu.."
"Beberapa hal terjadi, keluarga itu harus pergi ke kota karena masalah pekerjaan dan meninggalkan putri ketiganya bersama pengasuhnya. Aku merasa heran kenapa anaknya di tinggal sendiri? Tqpi, Sore itu aku tidak sengaja melihat putri ketiga itu sedang bermain ayunan sendirian. Aku mendekatinya tapi dia melarikan diri ke dalam rumah." Rian terkekeh saat bercerita seakan dia kembali ke masa kecilnya "Gadis kecil itu sangat manis, dan untuk pertama kalinya jantungku berdetak lebih cepat saat aku bertanya pada Bibi ku apa yang terjadi padaku. Bibi mengatakan kalau aku jatuh cinta pada pandangan pertama."
"Beberapa kali aku mencoba untuk dekat dengannya, awalnya sulit tapi lama kemudian kami menjadi akrab. Kami selalu bermain bersama menghabiskan waktu bersama. Satu tahun kemudian keluarganya kembali, aku melihat putri pertama tapi tidak dengan putri kedua, awalnya kami masih sering bermain meskipun sesekali putri pertama datang mengganggu. Tapi, Saat ulang tahun ku dia memberiku sebuah surat. Kalau dia tidak mau lagi menjadi temanku. Aku sedih saat itu tentu saja dan semenjak itu aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Tapi putri ketiga tidak tahu kalau aku selalu menatap jendela kamarnya saat malam, sampai lampu di kamarnya mati."
"Mmm… jadi kau jatuh cinta pada putri ketiga tapi sepertinya putri pertama tidak suka kau bersama putri ketiga!" ujar Ara serius.
Rian tersenyum dan mengangguk "Benar! Aku tidak pernah bertemu dengan putri ketiga lagi, sampai hari itu aku melihatnya lagi, tapi dia tidak mengingatku lagi."
"Oooh.. kasihan sekali! Sepertinya cinta masa kecilmu memang tidak tahu kalau kau menyukainya! Lalu apa kau kembali mengejarnya setidaknya kau harus mengatakan padanya kalau kau mencintainya. Terima atau tidak itu urusan lain kan?"
Rian mengangguk seraya tetap memandangi wajah Arin penuh kerinduan dan cinta. Cowok itu menghela napas, berusaha menekan perasaannya yang bergejolak di dadanya. "Jadi apakah kau siap pergi membeli perlengkapan hiking?"
Ara tahu Rian mengalihkan pembicaraan sambil berpaling dari tatapan matanya. Sebenarnya apa yang di sembunyikan Rian dan kenapa cowok itu menceritakan masa kecilnya yang tidak ada hubungan apa pun padanya.
"Aku harus sibuk untuk persiapan ujian semester, bagaimana jika setelah itu kita pergi?"
"Mmm… tidak masalah. Kita pergi ke toko tempat temanku kerja."
"Kau tulis aja barang-barangnya, nanti aku beli sendiri."
Rian menggelengkan kepala. "Aku harus ikut nentuin apa aja yang harus kau beli dan kau pakai. Jangan sampai salah."
"Duuh, segitu seriusnya," Ara tertawa geli.
"Air muka cowok itu mengeras."Banyak orang mengalami musibah di gunung karena punya sikap sepertimu. Suka meremehkan."
Wajah Ara memerah karena tersinggung, tapi dia memilih diam.