Chapter 2 - Bab 01 : Reinkarnasi.

Pagi cerah seperti biasa. Suasana damai membuat burung-burung berkicau riang. Angin dingin membelai lembut. Menerpa dedaunan pohon hingga seorang lelaki berpakaian pelayan yang sedang menyirami tanaman. Tubuhnya menggigil sebentar lalu bersin kecil setelahnya. Dia mengusap hidung itu dengan jarinya dan kembali beraktifitas seperti biasa.

Di lantai 3 sebuah mansion, tepatnya di dalam sebuah kamar bergaya ala eropa barat abad pertengahan. Seorang anak kecil terbangun di atas tempat tidur dengan tergesa-gesa. Nafasnya naik turun tidak teratur. Wajahnya penuh keringat seakan-akan dia baru saja lari puluhan kilometer jauhnya.

Dia tampak terdiam sebentar untuk mengatur nafasnya. Badannya masih menggigil dan basah oleh keringat. Namun dia mencoba untuk bersikap tenang. Matanya kemudian menelaah sekeliling mencoba mengenali situasi yang terjadi. Tapi bukannya mendapat jawaban, kebingungan justru melanda diri anak itu.

Ada di mana dia? sebuah kata klise yang mungkin tengah terbersit di dalam pikirannya sekarang. Tapi hanya itu kata-kata yang tepat jika mengingat situasi yang dialaminya sekarang ini. Dia tidak pernah melihat semua barang-barang itu sebelumnya. Semua terlihat baru dimatanya. Semua perabotan itu, lemari itu, dan semua hal yang ada di kamar ini, tidak pernah dilihat oleh anak itu.

Apa dia ada di rumah sakit? jika iya rumah sakit mana? selama dia hidup, tidak ada rumah sakit dengan desain kamar ala Eropa abad pertengahan. Lagipula kamar ini terlalu mewah untuk dibilang sebagai kamar rawat inap pasien. Sudah jelas jika sekarang dia tidak berada di dalam rumah sakit.

Tapi tunggu sebentar! Ada hal yang lebih penting daripada sekedar membahas kamar asing ini. Jika dipikir-pikir lagi, untuk apa juga dia ke rumah sakit!? seseorang dengan tubuh yang telah hancur berkeping-keping tidak perlu ke rumah sakit. Apalagi jika hancurnya diluar angkasa.

Kebingungan besar melanda diri anak itu. Berbagai pertanyaan berseliweran di dalam kepalanya. Tentang tempat ini, kamar ini, segalanya. Ini bahkan sampai membuatnya melupakan sesuatu yang penting. Saat dia melihat tangannya, saat itu juga dia tersadar.

"K-kenapa tanganku menjadi kecil?!" Tanyanya penuh tanda tanya. Tangan itu meraba kepalanya, lalu seluruh tubuh. Sesuai dugaannya, bukan hanya tangannya saja yang berubah kecil, tapi seluruh tubuhnya juga ikut mengecil. Dia menyibak selimut tebal itu. Turun dari tempat tidur besar dengan tergesa-gesa dan segera menuju cermin yang menyatu dengan lemari.

"Haha... kau pasti bercanda." Ucapnya pelan saat melihat pantulan dirinya di cermin tersebut. "Ini tidak mungkin terjadi, kan?"

Dugaannya ternyata benar. Dia adalah seorang bocah yang berusia sekitar 10 tahunan. Dengan rambut pendek cokelat dan kedua mata dengan dua warna berbeda. Yang satu berwarna hijau jamrud dan satu lagi berwarna merah rubi. 3 bekas luka memanjang tercetak jelas di sekitar mata kanan. Seperti tebasan yang mengarah langsung pada mata itu.

Dia mundur kebelakang dan terjatuh duduk. Tangannya memegangi kening itu lalu tersenyum kecil dengan terpaksa. Apa yang dia lihat sudah sangat jelas jika itu bukan dirinya. Seharusnya dia adalah seorang kakek tua yang sudah berumur. Jika memang dia kembali menjadi dirinya saat dia masih kecil, itu tidak terlihat seperti pantulan di cermin. Jauh beda malah.

"Sungguh apa yang sedang terjadi di sini...?" Tanyanya penuh kebingungan.

Di saat kritisnya itu, secara tiba-tiba kepalanya di serang rasa sakit yang sangat luar biasa. Dia berteriak begitu keras. Rasa sakit yang terasa bagaikan disetrum dengan listrik tegangan tinggi. Dia tahu itu karena dia pernah mengalaminya. Di tengah rasa sakit itu, ingatan asing demi ingatan asing mengalir tanpa henti. Memberitahu berbagai informasi. Tidak terkecuali informasi dari identitas si anak di pantulan cermin tadi.

Reynold von Videlltta. Itulah namanya. Seorang anak bangsawan dari keluarga Videlltta. Reynold adalah anak kelima dari enam bersaudara. Lahir di keluarga yang punya nama besar tidak serta merta berpengaruh pada dirinya. Keluarga Videlltta dikenal sebagai keluarga penyihir yang telah menghasilkan banyak keturunan hebat. Termasuk keempat Kakaknya dan satu adiknya. Di umur yang terbilang muda mereka berhasil meraih banyak gelar dengan bakat sihir yang mengagumkan. Apalagi si bungsu Teressa. Umurnya baru 6 tahun tapi dia punya kolam Mana yang begitu besar dan diberkati langsung oleh Dewa Matahari, Sunna.

Reynold layaknya anak angkat di keluarga itu. Benar-benar hanya dia seorang yang tertinggal dibelakang. Dia memiliki energi sihir yang lemah. Kolam Mana di dalam tubuhnya saja hanya sebesar tetesan air. Karena kelemahannya ini banyak yang mencemooh dirinya. Memanggilnya sebagai keturunan gagal keluarga Videlltta. Ayahnya hampir tidak mau berbicara lagi pada Reynold. Mungkin akibat dari rasa malu pada bangsawan lain yang memandang rendah setiap kali mereka berkunjung.

Untungnya Reynold masih memiliki kelima saudara dan seorang Ibu yang senantiasa mendukungnya. Nyonya Gulma adalah pribadi yang baik. Dia menyayangi Reynold apa adanya. Selalu mendukungnya di setiap anak itu mendapat masalah. Dia bagai secercah cahaya surga bagi Reynold. Secercah cahaya yang membuat dirinya bisa terus hidup hingga saat ini.

Tetapi insiden tidak menyenangkan terjadi saat Reynold tengah melakukan latihan berpedang dengan Stella, seorang wanita tomboy dan juga Kakak keduanya. Seekor Dark Bear muncul entah dari mana. Menyerang kedua saudara itu dengan membabi buta. Dark Bear adalah ancaman nyata dengan tingkat bahaya yang berada di level AAA. Wajar saja jika kedua saudara itu bukan tandingan bagi Dark Bear.

Pertarungan tak dapat dihindari. Stella bertarung dengan segala yang dia punya. Meski wanita, kemampuannya sanggup mengimbangi serangan Dark Bear. Dia berusaha keras untuk mengusir makhluk itu dari Reynold yang ketakutan. Namun naas, di tengah-tengah pertarungan, makhluk itu berhasil mengenai dirinya. Sabetan tajam dari cakar besar itu sebenarnya diarahkan ke Stella. Tapi karena serangan itu menggunakan sihir yang dahsyat, tidak hanya mengenai si Kakak kedua, tetapi juga kumpulan pohon di belakangnya. Tidak terkecuali Reynold yang bersembunyi di sana. Akibatnya mata kanan dan dadanya terluka cukup parah. Serta beberapa tulang rusuknya juga patah. Menyebabkan lelaki malang itu berada di ambang kematian.

Stella melihat kejadian itu. Begitu ada celah, dia segera mundur dan membopong Reynold yang terluka kembali ke rumah. Berbagai pengobatan dijalani Reynold. Tuan Doglas, Ayahnya, mengumpulkan banyak tabib untuk mengobati Reynold. Sepertinya orang itu tidak benar-benar membencinya. Jika iya, mana mungkin dia rela mengumpulkan tabib dari seluruh benua hanya untuk menyelamatkan anak gagal seperti Reynold.

Pengobatan untungnya berjalan sukses. Tetapi Reynold mengalami koma panjang karenanya. Semua keluarganya bersyukur. Ternyata Reynold masih disayangi para Dewa. Namun hal yang tidak mereka ketahui adalah Reynold yang asli sudah lama mati. Ya, itulah yang terjadi. Meski tubuhnya selamat, namun jiwanya sudah tidak ada pada tempatnya. Fakta kenapa Reynold bisa terbangun dari komanya adalah karena ada jiwa baru yang datang menggantikan anak itu. Dan jiwa itu sekarang tengah menempati tubuh baru yang sedang memandang pantulan dirinya kembali di cermin.

Nafasnya kembali normal kala ingatan Reynold berhenti. Dia menyentuh luka yang terdapat di mata kanannya. "Jadi begitu kejadiannya. Sepertinya aku terjebak di tubuh ini."

Lelaki itu terdiam sebentar dan duduk di tempat tidur empuk. Pikirannya melayang jauh. Rasanya agak jahat untuk dirinya mengambil alih kehidupan anak malang itu. Reynold tidak sepantasnya mendapatkan semua ini. Dia bahkan belum bisa membanggakan nama keluarganya. Dan juga Ayahnya itu. Dia juga belum tahu jika Ayahnya tidak membencinya dan malah sangat menyayangi dirinya. Seketika perasaan bersalah dan iba melanda lelaki itu bagai ombak yang menabrak karang. Hatinya di penuhi dilema dan rasa bimbang. Bimbang bagaimana caranya dia bisa menjalani hidup ke depannya.

"Prang!!!" Suara pecahan piring terdengar nyaring. Dia kaget dan menoleh kebelakang. Di sana, Seorang pelayan wanita berdiri dengan wajah terkejutnya. Tubuhnya mendadak gemetar disertai dengan lelehan air mata yang mengalir jatuh.

"T-Tuan... muda....." Katanya pelan. Dia kemudian berlari, melompat, dan menerkam anak itu layaknya harimau. Mereka berdua terjatuh bersama dengan posisi yang sangat tidak menguntungkan. Si pelayan menangis sejadi-jadinya di dada kecil bocah yang sangat kebingungan.

"Syukurlah, syukurlah.... Aku lega Tuan muda sudah bangun, huhuhu...." Ujarnya penuh rasa syukur.

Sementara itu, dia hanya bisa terdiam dalam pelukan pelayan wanita tersebut. Perasaannya campur aduk antara bingung dan juga canggung. Dia tidak kenal siapa wanita itu dan juga kenapa dia memeluknya seperti ini. Dia mencoba mengingat-ingat tentangnya. Namun seberapa keras dia berusaha, perhatiannya selalu teralihkan dengan tempelan dua benda besar yang menekan dadanya. Entah sesak atau merasa beruntung, dia tidak bisa mengungkapkannya.

Kebingungan dirinya lalu membawa sebuah ingatan baru ke dalam benaknya. Kali ini, ingatan yang datang tentang identitas wanita yang masih memeluknya sembari menangis ini.

Namanya adalah Mai. Seorang pelayan pribadi Reynold sejak anak itu masih berusia 1 tahun. Wajahnya ayu dengan kulit hitam manis. Rambutnya putih panjang diikat kebelakang dengan pita kupu-kupu besar. Telinganya yang panjang dan runcing menandakan jika dia adalah seorang Elf. Tapi karena kulitnya yang hitam, dia masuk ke dalam ras Dark Elf.

"Eng Mai...? bisa kau menyingkir sebentar? ini berat." Ujar anak itu.

Mai tersadar dan segera bangkit dari tubuh Reynold. Dia kemudian membungkukkan badannya dan meminta maaf berulang kali. "Maaf, maaf, maaf atas kelancangan saya, Tuan muda. Saya terlalu senang karena Tuan muda akhirnya telah terbangun dari koma. Maafkan saya sekali lagi."

"Tidak apa-apa. Aku mengerti, hahaha...."

"Oh, aku harus memberitahukan ini pada Tuan dan Nyonya. Mereka pasti senang karena Tuan muda sudah sadar. Kalau begitu aku permisi dulu." Dan Mai berlalu dengan riang. Meninggalkan pecahan piring dan makanan panas yang berserakan di depan pintu kamar. Mungkin saking senangnya, dia menjadi lupa. Tapi biarlah, anak itu bisa membersihkannya sendiri. Kakinya baru akan melangkah menuju pintu kamar di mana sampah yang berserakan berada, sampai sebuah suara menghentikan niatnya.

"Kuatkan hatimu."

Begitulah katanya. Anak itu seketika tersentak. Matanya mencari ke segala arah. Tapi tidak ada yang orang di sekitarnya. Rasa penasaran membuat dirinya berniat untuk mencari asal suara itu. Dia melangkah dengan hati-hati. Meski dia sangat kuat, tetapi dia selalu alergi dengan yang namanya hantu atau sejenisnya. Phobia menjawab itu semua. Memang dasar teman kecilnya itu. Menakut-nakuti dirinya hingga trauma.

Kaki itu berjalan pelan. Dia menelan ludah. Ketika tubuhnya melewati cermin, suara itu kembali terdengar lagi.

"Aku di sini. Di cermin itu. Lihatlah."

Dia berbalik dan melihat cermin. Sebuah pantulan dirinya terpatri di sana. Sama seperti sebelumnya. Tetapi ada yang berbeda dari pantulan itu. Dia tersenyum dan melambai sembari mengucapkan salam. Padahal lelaki itu tidak melakukannya sama sekali.

Seketika anak itu teriak tertahan. Dia kembali jatuh terduduk dan bermaksud lari meninggalkan ruangan itu. Phobia sialannya memang membuat situasi menjadi rumit.

"Tunggu! Jangan lari Tuan. Ini aku Reynold, Tuan Keyfan." Ucap bayangan itu.

Orang yang dipanggil terhenti sesaat. Dia menoleh pelan dengan ekspresi takut. "K-kau... Reynold? tapi bagaimana...!? dan juga kau tahu namaku?"

"Para Dewa yang memberitahuku. Aku diberi kesempatan untuk berbicara padamu sebelum aku pergi." Katanya lagi. " Oh ya, asal kau tahu aku ini bukan hantu seperti yang kau pikiran. Secara teknis aku memang telah menjadi hantu, tetapi aku ini lebih daripada itu."

Lelaki bernama Keyfan itu bangun dan kembali memandang cermin. Walau dibilang seperti itu juga tetap saja dia masih merasa agak merinding sedikit. Namun dia mencoba melawan ketakutannya agar mereka dapat berbicara dengan normal.

Keyfan menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. "Sebelumnya aku minta maaf padamu. Karena aku kau jadi terusir dari tubuhmu sendiri dan harus mati."

"Itu tidak masalah Tuan Keyfan."

Kata-kata Reynold membuat Keyfan kaget. Alih-alih melihat wajah penuh kebencian, Keyfan justru menemukan ekspresi bahagia dan damai dari wajah anak itu.

"Kau tidak salah, Tuan Keyfan. Kematianku itu adalah takdir. Lagipula kalau aku masih hidup, itu hanya menimbulkan aib pada keluargaku."

"Tidak!" Keyfan berteriak hingga membuat Reynold tersentak. "Kau bukan aib. Kau sudah berusaha sekuat tenaga. Mereka saja yang tidak bisa melihatnya. Aku melihatmu! Aku melihat semuanya. Perjuanganmu untuk diakui oleh banyak orang. Aku mengerti perasaanmu karena aku juga pernah merasakannya. Rasa sakit itu aku mengerti. Jadi jangan katakan jika kau ini adalah aib." Katanya panjang lebar.

Reynold terdiam. Tanpa di duga dia tertawa dan membuat Keyfan bingung. "Kau benar-benar orang baik Tuan Keyfan. Sama seperti kata 'mereka'."

Cahaya bersinar terang dari balik cermin. Perlahan tapi pasti menyelimuti pantulan anak kecil itu. Dia yang malang yang harus mati muda di tangan seekor monster. Senyum mengembang dari bibirnya. Dia tahu jika waktunya akan segera habis. Tapi dia bersyukur karena tahu akan ada orang yang menjaga keluarganya setelah kepergiannya.

Reynold menatap Keyfan. "Kurasa sudah waktunya. Aku akan pergi Tuan Keyfan. Tapi sebelum itu, bisakah aku meminta satu hal padamu? tolong jaga keluargaku. Berjanjilah kau tidak akan membiarkan mereka terluka."

Keyfan dalam tubuh Reynold tersenyum. "Aku mengerti. Serahkan saja semua padaku. Ini juga balasan karena telah membiarkanku tinggal di dalam tubuhmu."

Tubuh anak itu semakin bersinar terang. Namun Keyfan masih bisa melihat air mata itu. Perlahan mengalir jatuh melewati pipi. Dia kemudian mengusap dengan tangannya dan tersenyum riang ke arah Keyfan. "Terima kasih. Aku sangat berterima kasih. Sekarang aku bisa pergi dengan tenang. Sampai jumpa Tuan Keyfan. Aku harap kehidupanmu yang baru ini bisa bahagia."

Cahaya semakin menyilaukan. Keyfan sampai harus menghalau sinarnya dengan kedua tangan. Selang beberapa detik, cahaya menyilaukan itu memudar dan kemudian menghilang. Tidak ada yang tersisa kecuali pantulan dirinya di cermin.

Keyfan mengangkat tangannya dan bersiul. Memastikan jika pantulan bayangan di cermin mengikuti gerakannya sebagaimana mestinya. Kelihatannya semua normal. Pantulan bayangan itu mengikuti semua gerakan yang dia lakukan. Ini tandanya jiwa Reynold telah pergi.

Keyfan menurunkan tangan kanan itu perlahan. Dalam diam dia kembali berjalan menuju sampah piring dan makanan yang berserakan di depan pintu. Begitu dirinya sampai dihadapan sampah tersebut, Keyfan mengarahkan jari telunjuknya ke arah itu. Secara ajaib piring dan sampah makanan terangkat ke udara. Mereka berputar cepat dan menyatu menjadi satu. Cahaya menyinari putaran mereka. Kembali secara ajaib setelah semua cahaya itu menghilang, sampah yang berserakan tadi berubah menjadi kaleng bersoda. Kaleng itu lalu mendarat di tangan Keyfan. Tangannya menarik pin pembuka kaleng dan segera meminum isinya.

"Kurasa kekuatanku tidak hilang. Yah, ini bagus." Ucapnya sembari meneguk kaleng itu sekali lagi. Saat dirinya ingin kembali ke tempat tidur, sebuah tangan melingkari Keyfan dari belakang. Dia dengan cepat menoleh dan mendapati seorang wanita dewasa tengah menangis sembari memeluknya erat.

"Kau bangun! Terima kasih Dewa kau akhirnya bangun!" Kata wanita itu penuh rasa syukur.

Keyfan terdiam sebentar, lalu kemudian tersenyum. Dia menggenggam erat lengan wanita itu dan berkata. "Aku kembali, Ibu."

Dari lorong, langkah kaki terburu-buru terdengar jelas. Tidak hanya satu karena yang terdengar di telinganya lebih dari itu. Di balik pintu itu, keluarlah para pemilik langkah kaki tersebut. Mereka adalah kelima saudara Reynold dan tentu saja Mia.

"Mana Adikku?! Katanya dia sudah bangun dari koma!" Kata seorang lelaki di depan. Rambutnya berwarna pirang dengan bola mata merah. Dari kelima orang di sana, wajahnya terlihat lebih tua dari mereka. Itu tandanya dia adalah Kakak tertua di keluarga Videltta.

"Aku disini Kak Nolan." Kata Reynold yang tengah dipeluk oleh Nyonya Gulma, Ibunya. Wanita itu nampak tidak mau melepaskan Reynold saking rindunya yang mendalam.

Nolan terpaku di tempat. Dia mencoba menahannya, tapi keharuan berhasil mengalahkan ketegarannya. Tanpa sadar air matanya keluar dengan deras. "Ya Dewa, Syukurlah kau selamat....."

"""Rey!"" Dua orang wanita berwajah sama berlari tergesa-gesa ke arah anak itu. Rambut panjang pirang mereka berkibar saat mereka berlari. Gaun berwarna merah itu cukup menyulitkan, namun mereka tidak memperdulikannya. Dengan air mata mengalir, mereka ikut memeluk Reynold. ""Huwaa... kami bersyukur kau bangun Rey. Kami pikir, kami kehilangan dirimu."" Kata mereka bersamaan.

"Kak Nila, Kak Mila, maaf membuat kalian khawatir." Ujar Keyfan.

Lalu satu orang ikut dalam suasana itu. Dia wanita tinggi putih dengan rambut pendek seleher berwarna cokelat. Saat mata berwarna biru itu melihat Reynold, ada rasa bersalah di sana. Bagaimanapun juga Stella yang harusnya melindungi Reynold. Tetapi karena kelalaiannya, adik berharganya itu harus terluka.

Keyfan melihat perasaan itu. Dia melepaskan pelukan saudari dan Ibunya lalu berjalan pelan menuju Kakak keduanya itu. "Terima kasih karena telah nyelametin Reynold. Jika bukan karena Kakak, mungkin Reynold gak akan ada di sini." Senyumannya mengembang.

Stella terkejut. Dia pikir adiknya itu akan membencinya. Tetapi justru sebaliknya, Reynold malah berterima kasih kepada dirinya. Hatinya terenyuh dan seketika memeluk Reynold.

"Maafin Kakak ya.... Karena Kakak kamu jadi harus menderita begini. Mulai sekarang Kakak janji Kakak akan selalu melindungi Reynold apapun yang terjadi." Tegasnya.

"Reynold tahu itu." Ucap Reynold pelan dengan senyuman.

Stella melepas pelukannya. Sebenarnya dia ingin memeluk adiknya itu lebih lama, tetapi ada satu orang lagi yang merindukan anak itu begitu lama. Gadis kecil itu muncul dari balik Mia. Wajahnya langsung berderai air mata kala Reynold tersenyum padanya. Dia kemudian berlari dan memeluk sang Kakak dengan erat.

"Uwaaa! Kakak! Kakak! Teressa pikir Kakak nggak bangun-bangun lagi!" Tangis Teressa.

Dia mengelus rambut adiknya lembut. "Sudah dong nangisnya. Jelek tahu."Ucapnya tertawa kecil.

"Itu salah Kakak karena udah bikin Teressa takut setengah mati." Kata gadis itu lagi. Teressa memukul manja Reynold yang dibalas dengan tawa kecil lelaki itu.

Semua orang tertawa bahagia. Suasana hangat itu sama seperti saat Keyfan dengan keluarga dan teman-temannya dulu. Matanya memandang ke arah sebalik pintu. Seorang pria berumur sekitar 50 tahunan dengan pakaian rapi melihat dengan tajam ke arahnya. Dia menghela nafas dan pergi dari sana.

Keyfan hanya tersenyum menanggapinya. Dia pria baik, dan Keyfan tahu itu. Mungkin gengsi menutupi kebaikan hatinya. Pandangnya beralih ke arah sebuah lukisan. Lukisan yang mirip dengannya. Reynold dilukis cukup bagus di sana. Entah kenapa terlihat berwibawa dan juga ceria. Senyum kecil terpatri di wajahnya.

"Terima kasih karena memberiku kesempatan. Mulai sekarang aku yang ambil alih peranmu dari sini. Aku akan tepati janji itu dan membuat namamu melambung jauh ke angkasa. Kejayaan mutan akan menerangi dunia baru ini sekali lagi."

Dan petualangan dari kehidupan baru seorang mutan di dunia lain pun dimulai!