Deg! Jantung Dhena kembali berhenti berdetak. Dunia seakan berhenti berputar dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya seakan menghilang. Pikirannya melayang pada kenangan empat tahun yang lalu.
Darah di wajah Dhena kembali berdesir panas. Mendadak salah tingkah tak keruan. Segera ia menguasai diri.
"Rizal, kemana aja. Kamu kerja, kuliah atau sudah berumah tangga?" tanya Dhena dengan jantung yang makin berdebar. Tak sadar matanya kembali menatap area salah satu bagian tubuh Rizal.
Oh my God, desahnya dalam hati.
"Alhamdulillah saya masih singel, Bu, hehehe." Rizal mengelus bagian tubuhnya yang jadi pusat perhatian Dhena. .
Dhena segera mengalihkan pandangannya menatap wajah ganteng lelaki di depannya. Ia merasa malu hati terciduk oleh Rizal, terlalu fokus menatap bagian tubuhnya yang sensitif. "Saya kerja sambil kuliah di Magelang. Kerja udah tiga tahun, kalau kuliah baru semester empat," balas Rizal. Suaranya terdengar lembut, mantap dan jantan seperti yang dulu Dhena dengar.
Dhena tertegun, bingung harus bagaimana.
Dia bahkan masih belum tersadar saat tiba-tiba Rizal menarik tangannya, menuntunnya dan berhenti di balik pohon besar yang agak gelap dan sepi.
Pikiran Dhena mendadak kalut.
"Kenapa ke sini?" tanyanya dalam pikiran yang berkecamuk. Kaget, bahagia, takut dan tak percaya.
"Biar gak ada yang lihat," bisik Rizal. Mata terus menatap wajah Dhena dalam cahaya yang sedikit remang-remang.
"Masih ingat Toilet gate Anyer," tanya Rizal seraya menarik tubuh Dhena ke dalam pelukannya.
Deg! Jantung Dhena kali ini benar-benar terasa copot. Sekujur tubuhnya panas dingin. Kedua tangannya bergetar membalas pelukan Rizal. "Zal, sa..saya kangen kamu," desah Dhena terbata-bata. Suaranya nyaris tak terdengar.
Dhena menyandarkan wajah dan kepala di dada bidang Rizal..
"Sama, saya juga kangen ibu. Hampir empat tahun kita tak bertemu." Rizal mencium pipi, kening dan kepala Dhena di balik kerudungnya dengan mesra. Pelukan mereka kian hangat dan erat.
Beberapa saat dua insan, guru dan murid yang sudah empat tahun tak bertemu itu berpelukan tanpa suara dan tanpa kata-kata. Mereka menikmati indah dan mesranya suasana. Ditemani dentuman sound system' dan gemuruh tepuk tangan dari sekitar panggung yang sedang menggelar acara di kejauhan.
Dhena menghirup dalam-dalam aroma jantan tubuh Rizal. Tak terasa matanya panas dan basah. Air mata kebahagiaan perlahan menetas membasahi pipinya hingga mengenai hoodie dan dada Rizal.
Rizal kembali mencium dan menyesap pipi Dhena dengan mesra. Dia pun menjilat air mata Dhena yang mengalir di pipi gurunya yang sekaligus menjadi wanita paling dia cintai.
"I love you," bisik Rizal mesra.
Dhena tak sanggup menjawab. Hanya air matanya yang mengalir semakin deras menjadi perwakilan dari suara hatinya yang terdalam. Pelukan mereka pun makin mesra dan kuat seolah tak ingin terlepas lagi untuk selamanya.
Dhena sedikit mendongak, menatap sendu wajah Rizal. "Kamu ganteng amat, Zal. Tambah dewasa dan... I love you," balas Dhena seraya mengecup bibir lelaki muda itu dengan sangat mesra.
"Kamu kapan balik dari Magelang? Kenapa baru bertemu sekarang? Sedang libur bukan?" tanya Dhena kemudian.
"Sudah dua hari di sini sedang mengurus surat-surat di kecamatan. Lima hari lagi kembali ke Magelang. Kuliah sedang libur, tapi kerja hanya dikasih cuti seminggu," balas Rizal seraya mengusap pipi Dhena.
"Lumayan juga ya, bisa cuti seminggu," ucap Dhena seraya memegangi pipi dan dagu Rizal.
"Biar bisa berlama-lama nemenin Ibu. Lagi ikut pameran ya?" tanya Rizal seraya kembali mengelus pipi Dhena yang basah dan lembab. "Iya, sudah dua hari ikut pameran. Biasa acara tahunan."
"Oh, sibuk dong kalau lagi pameran."
"Gak terlalu sih."
"Bener nih gak sibuk?"
"Bener, emang kenapa?"
"Aku mau ngajak makan bakso, atau jalan kemana aja. Pokoknya pengen ngobrol berdua sama ibu, hehehe."
"Emang gak takut sama suami aku?"
"Hehehe, emang dimana?"
"Di rumah istri mudanya lah.."
"Berarti boleh dong saya main ke rumah ibu."
"Jangan sekarang, takutnya nanti dia ngedadak datang. kadang suka gak jelas datangnya kapan. Lagian sekarang kan gak enak lagi jaga stand sama anak-anak."
"Nomor kamu udah ganti, ya?"
"Udah. Aku balik dulu ke stand ya. Kasihan anak-anak, entar pada nyariin lagi."
"Oke, kalau diantar sampai stand boleh gak?"
"Jangan! Gak enak, nanti anak-anak curiga."
"Oke deh. Kalau gitu bagi nomor ibu yang baru. Nanti kita ketemu lagi di tempat tadi aja. Atau terserah ibu dimana aja. Call aja kalau sudah ready. Ibu bawa mobil atau motor?"
"Mobil."
"Oke nanti saya anter pulang, pakai mobil ibu aja, ya."
"Jangan malam ini, Zal. Gimana kalau besok aja. Hari ini gak enak sama Bayu, soalnya dia yang bawa mobil."
"Oh, siapa Rifky?"
"Alumni BM juga, sekarang dia lagi jadi SPB di stand, kebetulan kan masih tetangga. Jadi sekalian aja dia yang bawa mobil."
"Oh gitu, ya udah besok malam aja, ya."
Setelah bertukar nomor hape, mereka pun berpisah.
Jiwa Dhena serasa melayang saat berjalan menuju stand. Pikirannya berkecamuk, jantung berdebar dan hati berbunga-bunga.
Dia tak sanggup mendeskripsikan jenis, bau, dan warna perasaannya saat itu. Yang pasti dia sedang merasakan hatinya berbunga-bunga.
Rizal salah satu alumni STM BM lulus empat tahun yang lalu.
Semasa sekolah, Rizal termasuk siswa yang biasa-biasa. Sifatnya cenderung pendiam dengan penampilan dan wajah yang sangat standar. Hanya postur tubuhnya lebih tinggi dan langsing dibanding semua teman seangkatannya.
Rizal bukanlah siswa yang populer. Dhena mulai dekat dan kenal lebih dekat setelah Rizal duduk di kelas tiga. Tepatnya pada saat liburan semester pertama.
Ketika libur semester, siswa kelas satu dan dua STM BM mengadakan kemping di pantai Anyer. Hampir semua guru ikut. Kelas tiga yang berminat juga diperbolehkan. Rizal satu dari 14 siswa kelas tiga yang ikut serta.
Waktu itu senja sedikit mendung. Namun demikian hampir semua guru dan peserta berkumpul di bibir pantai menikmati indahnya pemandangan laut, walau tak ada sunset.
Pada saat kumpul itu, Dhena kebelet pipis. Dia segera mendatangi toilet dengan tergesa-gesa. Toilet umum yang sangat sepi dan agak jauh dari tempat mereka kumpul.
Karena sepi, tanpa mempedulikan kiri kanan, bahkan tak melihat lambang di pintu. Dhena langsung mendorong pintu salah satu kamar kecil yang tak terkunci.
"Aaaaaaaaa!" Tiba-tiba Dhena berteriak.
Kedua tangan menutup mulutnya yang menganga, sedangkan dua matanya terbelalak besar menatap Rizal yang berdiri dengan mata terbelalak pula.
Wajah Rizal mendadak tegang dan pucat pasi. Terkejut bukan alang kepalang hingga dia tak sadar, baju kausnya yang tergulung sampai dada serta celana pantai dan celana dalamnya yang melorot sampai paha, dibiarkan. Sebelah tangannya memegangi batang kejantanannya yang sedang berdiri tegak. Ritual masturbasi sang murid, terganggu.
Sulit menggambarkan situasi saat itu. Mereka saling bertatapan beberapa saat sebelum akhirnya sama-sama tersadar dari keterkejutannya.
Dhena segera keluar lagi dari toilet itu. Jantungnya hampir copot, dan keinginannya membuang air kecil seketika hilang sirna. Di kepalanya terus terbayang-bayang bagian tubuh Rizal yang sangat mendebarkan. Tegang, hitam, besar dan panjang.
Malamnya sekitar jam delapan. Rizal menemui Dhena. Sambil duduk di pasir pantai, Rizal meminta maaf atas insiden yang telah terjadi. Dhena selaku guru tentu memaafkan dengan pesan agar jangan sekali kali lagi melakukan tindakan kurang terpuji, walau itu di tempat yang tertutup. Jikapun terpaksa melakukannya harus berhati-hati.
Dhena juga meminta maaf, karena telah ceroboh masuk ke toilet laki-laki. Mereka saling memaafkan dan melanjutkan obrolan dengan topik lain. Mereka bahkan sempat saling tukar nomor handphone.
Semua berjalan normal.
Mereka bersepakat untuk melupakan dan menyimpan rahasia itu.
Namun anehnya, sejak kejadian itu, pikiran Dhena mulai terganggu. Setiap malam dia selalu terbayang-bayang tubuh Rizal dengan segala keindahannya.
Rizal pun merasakan hal yang sama. Dia mulai rajin mendekati Dhena. Sikapnya mulai berubah, diam-diam dia mencari info tentang gurunya yang super cantik. Bahkan dia sering mengirimkan perhatian melalui pesan singkat.
Setelah kembali ke sekolah, Rizal dan Dhena menjadi sangat akrab. Hampir setiap hari mereka chatting via WhatsApp tanpa sepengetahuan siswa yang lain.
Dan beberapa minggu kemudian mereka sering jalan bareng dan bertemu di tempat-tempat yang mereka anggap aman dari pantauan siapapun yang mereka kenal.
Seiring perjalan waktu, Dhena dan Rizal makin akrab dan dekat. Mereka seperti pasangan kekasih beda usia. Saat berdua dan jauh dari jangkauan orang lain, mereka bersikap sangat mesra dan romantis.
Rizal yang kala itu usianya 13 tahun lebih muda dari Dhena, menjelma jadi sosok lelaki yang sangat dewasa dan pengertian. Dhena benar-benar dibuat aman dan nyaman setiap kali berada di samping muridnya.
Hubungan mereka hanya sebatas dekat, romantis dan mesra. Keduanya belum pernah mengucapkan kata cinta, apalagi melakukan sesuatu yang di luar batas.
Setengah bulan berikutnya, suamiku mulai curiga, gara-gara membaca chatting Dhena dan Rizal yang sedikit romantis.
Dia marah besar bahkan mendatangi dan mengancam Rizal.
Sejak saat itu, Dhena dan Rizal putus segalanya. Jika bertemu di sekolahpun tak ubahnya seperti tak saling kenal. Untung saja Dhena tidak mengajar di kelasnya.
Walau sakit, marah dan kecewa. Setelah berjuang sekuat tenaga mengendalikan diri melupakan Rizal. Akhirnya semua mengendap dan terlupakan.
Rizal lulus tak pernah datang lagi ke sekolah. Dhena bahkan tak ingat lagi kapan terakhir bertemu.
Dhena pun sudah kembali dengan kehidupannya yang makin gersang dan merana. Dekat dengan para muridnya namun tidak ada yang memiliki hubungan spesial.
Dhena takut ketahuan lagi sama suaminya dan murid-muridnya yang akan terkena damprat atau ancaman.
Kini setelah sekian tahun berlalu. Rizal tiba-tiba hadir dengan gaya dan penampilan yang sangat berbeda. Lebih putih, lebih ganteng, badannya lebih tegap berisi serta sikapnya lebih dewasa, makin hangat dan romantis.
Oh Lord! Apa yang selanjutnya terjadi?
^^^