[LUCY]
"Kau ke mana saja? Aku membutuhkanmu!"
Ternyata bos kerja sambilanku.
"Kenapa kau menghilang beberapa hari ini? Oh...,"
Dia terdiam melihat wanita ini.
***
[APRIL 2019]
Sudah setahun ini aku bekerja sambilan di tempat ini untuk mendapatkan uang. Mereka membayarku dengan uang yang cukup banyak. Karena, aku bisa mengerjakan sesuatu dua kali lipat lebih banyak dari manusia biasa.
"Apa kubilang, dia bisa mengerjakan semua ini seorang diri."
"Bagus. Aku tak perlu banyak orang untuk mengangkut semua bahan makanan ini."
Kudengar pembicaraan bos dan kliennya, saat aku melewati mereka.
Aku sering dihina oleh mereka, karena aku mengaku sebagai keturunan manusia iblis. Tapi, aku tidak peduli. Yang terpenting, aku dapat bayaran yang pantas buat pekerjaanku.
"Hey, anak iblis. Ini bayaranmu hari ini."
"Terima kasih," jawabku datar.
"Anak iblis seperti kalian, memang pantasnya jadi pekerja seperti ini. Jabatan kalian tidak boleh lebih tinggi dari manusia biasa."
Aku hanya tertawa dalam hati. Padahal, mereka juga sama. Keturunan manusia iblis. Bisa kurasakan dari aura hitam yang mereka keluarkan.
***
[LUNA]
[MASA KINI]
Aku merasa beruntung sudah ditolong oleh Lucy, dan dibolehkan tinggal bersamanya. Aku sudah menawarkan diriku, untuk membalas kebaikannya itu. Tapi, ternyata dia tidak menginginkannya. Laki-laki yang aneh.
Lucy orangnya cuek, dan sedikit kasar. Tapi, dia cukup peduli padaku. Buktinya, meski aku selalu membuatnya kesal, ia mau menuruti hampir setiap keinginanku. Salah satunya jalan-jalan di dekat pelabuhan. Yang sedang kami lakukan saat ini.
Hanya saja, tiba-tiba Bos Lucy datang. Ia meminta Lucy untuk bekerja. Kami pun pergi ke tempat kerjanya.
"Pacarmu ini. Apa dia juga keturunan Hybrid?"
"Iya."
Eh? Kenapa Lucy mengiyakan kalau aku keturunan Hybrid?
"Aah, pasangan yang serasi."
Aku hanya tersenyum.
***
"Ya sudah, kau tunggu di sana selama aku bekerja."
Lucy menunjuk ke arah bangku yang ada di salah satu sudut gudang.
"Bukan begitu cara memperlakukan seorang wanita."
"Terserah padaku."
"Kau ini."
***
Ini sudah hampir sore, tapi Lucy masih terus bekerja tanpa henti. Apa dia tidak lapar? Aku saja yang tidak melakukan apa-apa sudah merasa lapar.
"Tangkap."
"Eh?"
"Roti itu buatmu. Lucy memintaku untuk memberimu makanan. Tenang saja, dia baik-baik saja. Dia memang jarang istirahat, jika hanya satu truk saja barang yang harus diangkut."
***
"Ini bayaranmu."
"Apa ini tidak salah?"
"Ambil saja. Aku sedang senang hari ini. Dan belikan pacarmu itu pakaian yang bagus. Jangan kaos biasa seperti itu."
Kesempatan buatku untuk manja pada Lucy.
"Ayo kita pulang."
"Mmm..."
"Ayo, pulang!"
"Apa kau, tidak mau membelikanku baju baru lagi?"
Lucy tampak kesal, tapi mengiyakan keinginanku.
"Besok saja. Aku sangat lelah hari ini."
"Yeeey!"
***
"Hey, hari ini kau datang bersama pacarmu lagi."
"Sebenarnya, aku sebal dia ikut. Tapi, dia memohon-mohon padaku buat ikut. Ya sudah, apa boleh buat."
"Kau ini. Punya pacar, tapi kau perlakukan seolah dia orang lain."
"Terserah padaku."
"Iya, terserah kau saja."
Aku hanya tersenyum menanggapi penuturannya terhadap sikap Lucy padaku.
***
Aku menghampiri Lucy, di saat dia terlihat kelelahan, untuk memberinya minum. Dan Lucy tampak lucu jika sedang minum.
"Kau kenapa tertawa?"
"Ada, deh."
"Hhaaahh. Menyebalkan."
***
Karung demi karung Lucy angkut hingga menggunung. Sekarang Lucy tidak bekerja sendirian. Ada beberapa kuli angkut lain yang bekerja. Mungkin, karena bahan makanan yang datang lebih banyak dari biasanya.
Lucy menghampiriku buat mengambil minum. Aku tersenyum ke arahnya.
"Bisa tidak, kau berhenti tersenyum seperti itu? Menggelikan, tahu."
Aku malah semakin berseri padanya.
"Menyebalkan!"
***
"Kau sudah lama bekerja seperti ini?"
Lucy menatapku dengan tajam.
"Baik. Aku diam."
Bosnya Lucy datang.
"Mulai besok tidak ada pengiriman lagi. Tapi, jika ada, kau akan kuhubungi."
"Baiklah."
"Hey, kulihat-lihat kalian semakin mesra saja."
"Terima kasih!"
Lucy tampak tidak senang saat aku bilang terima kasih.
***
[LUCY]
"Kali ini kau jangan ikut."
"Kenapa?"
"Karena pekerjaan ini terlalu berbahaya."
"Memangnya pekerjaan apa yang kau kerjakan kali ini?"
"Kau tidak perlu tahu."
Aku keluar apartemen dan langsung menutup pintu. Aku tidak ingin mendengar lebih banyak pertanyaan darinya.
***
"Ah, kau datang tepat waktu. Mobil truknya baru saja sampai. Jadi, kau bisa langsung bekerja."
"Baiklah."
Pertama-tama aku mengangkut puluhan sak semen. Lalu, beberapa balok kayu. Setelah itu, pipa paralon dan besi baja. Semua itu selesai dalam waktu singkat.
"Apa hanya itu saja pekerjaanku hari ini?"
"Kenapa? Kau masih ingin melakukan pekerjaan?"
"Iya, karena waktuku masih banyak."
"Baiklah. Lihat tumpukan sampah di sana? Kau bereskan dan kau masukkan ke bak sampah itu. Bisa?"
"Tidak masalah."
Saat sedang bekerja, ada yang memanggilku dari belakang.
"Hey, anak iblis. Kau bekerja di sini juga?"
Ternyata mereka rekan kerjaku di pekerjaan sebelumnya.
"Memangnya kenapa?"
"Tidak. Aku hanya mau bilang, kau pantas dengan pekerjaan itu. Sampah ketemu sampah. Hahaha."
Cih!
***
"Bos, aku sudah selesai."
"Nah, ini bayaran untukmu. Kau tak usah pikirkan kata-kata mereka tadi."
"Apa aku terlihat sedang memikirkannya?"
"Ah, kau benar. Kau memang tidak pernah peduli dengan omongan jelek orang lain soal dirimu."
Setelah itu Bos pergi dari hadapanku.
Ah, iya. Aku lupa beli makanan buat Luna. Eh, maksudku wanita itu. Sial! Kenapa aku jadi menyebut namanya?!
***
"Aku pulang."
Ke mana dia? Dan tumben pintu apartemen tidak dikunci.
"Hey, kau di mana?"
Dia tidak ada di kamarku, di kamar mandi pun juga begitu. Tunggu, jangan-jangan!
Aku langsung bergegas keluar dan ternyata...
"Hhaaahh, kau ke mana saja?"
Dia tampak memelas.
"Maafkan aku. Aku tadi keluar membeli ini."
Dia menunjukkan sebuah kotak kecil padaku.
"Apa ini?"
"Buka saja."
Wajahnya kembali berseri.
Dan ternyata isinya gelang karet warna hitam dengan tulisan namanya berwarna putih di sisi bagian dalam.
"Kau keluar hanya untuk ini?"
"Iya. Apa kau suka?"
"Kau ini!"
Aku berlalu dari hadapannya.
"Hey, apa kau menyukainya atau tidak?"
Aku melempar gelang itu ke atas meja depan TV.
"Cepat masuk dan kunci pintunya."
Wajahnya cemberut saat menutup pintu apartemen. Dia duduk di sebelahku.
"Ini, makanan buatmu. Kau pasti lapar."
"Aku tidak mau makan."
Kenapa lagi dengan wanita ini?
"Makan. Nanti kau sakit, aku juga yang repot."
"Biar saja."
"Maumu apa, sih?"
"Pikir sendiri."
Sial! Semakin ke sini sikapnya semakin menyebalkan saja.
"Oke. Aku menyerah."
Untuk beberapa saat kami saling diam dan saling memalingkan muka.
"Baiklah, aku mau makan."
"Baguslah."
"Tapi, kau harus memakai gelang ini dulu."
"Tidak. Aku tidak suka memakai gelang seperti itu."
"Kau pilih yang mana? Memakai gelang ini agar aku mau makan, atau membiarkanku sakit karena aku tidak mau makan."
Hhaaahh, apa boleh buat.
"Sini."
Aku merebut gelang itu dan memakainya di tangan kananku.
"Nah, begitu, dong, kalau jadi pacar."
"Eh! Aku membiarkan orang-orang menganggapmu pacarku, bukan berarti aku mengakuimu sebagai pacarku."
"Terserah. Yang penting kau peduli padaku."
Ya ampun! Aku jadi merasa menyesal, sudah menolong wanita ini.
***
"Lucy, apa kau punya mimpi?"
"Huh?"
"Aku ingin bercerita, boleh?"
"Cerita apa?"