Eve langsung mengayunkan tangan kepada mereka saat tahu situasi itu. "Kalian bubar. Jangan menggosip selagi pekerjaan rumah belum selesai."
"Ah! Kak Eve!"
"Maafkan kami, Kak Eve!"
Kania dan Liana langsung kembali ke kegiatan masing-masing setelah menghormat maaf kepada Eve.
Keesokan harinya, Lucas mengulangi hal yang sama. Lelaki itu bangun pagi dengan persiapan yang baik. Dia sudah mengenakan suit hitam berkelas dengan dasi bercorak garis. Tapi, dengan telaten tetap melakukan apa yang dia mau. Suapan demi suapan dicoba untuk sarapan bersama Aleta. Mereka mengobrol seperti biasa. Dan saat Lucas tidak lagi ditolak, lelaki itu menyunggingkan senyum yang teramat tampan.
Eve sampai mengaguminya diam-diam. Betapa Hendra dan Maharani tepat memilih calon suami untuk Aleta. Dan meskipun gadis itu belum mengerti, dia justru senang melihat Lucas memanjakannya dengan cara-cara tersendiri.
Seperti pagi itu, Aleta mendorong Lucas sesaat setelah dicium dua kali. Gadis itu membuang muka. Wajahnya merah dan mengomel-ngomel entah apa dengan suara pelan. Yang Eve dengar hanya kata-katanya yang terakhir. "Pergi!" Dan Lucas benar-benar beranjak dari sana setelah meletakkan piring dan menepuk pucuk kepalanya.
Eve pun mundur dua langkah di ambang pintu. Dia memberi hormat seperti biasanya sebelum Lucas menyampaikan perintah yang sama setiap pagi. "Bersihkan piringnya. Aku berangkat dulu."
"Baik, Tuan."
Lucas keluar dengan diikuti dua lelaki yang selalu menunggunya untuk bertugas. Asisten Egi dan Manajer Heru. Mereka mengikuti langkahnya dengan Raymond yang sudah menunggu di mobil untuk mengantar mereka langsung ke tempat survey hari ini.
"Eve, aku ingin mendengarkan musik yang menyenangkan," kata Aleta. Dengan suara yang gemetar. Eve pun meniti air muka gadis itu. Mungkin dia tertekan karena sentuhan Lucas lagi beberapa saat lalu. Eve pun mengangguk meskipun sangat ingin menjelaskan.
"Baik, Nona."
"Piano … mn, instrument milik Beethoveen," kata Aleta. "Apapun. Yang bisa membuatku tenang. Bawakan aku semuanya."
"Saya akan segera kembali."
Eve pun pergi. Dia segera melaksanakan perintah. Meskipun tak dapat dipungkiri, setelah meninggalkan Aleta untuk merenung, hatinya sangat sakit mendengar isakan dari gadis itu.
.
.
.
"Lucas—"
"Shh…"
"Mn—jangan cium."
"Diam untuk sebentar saja."
Musik Beethoven sudah mengalu. Tapi Aleta masih mengingat bagaimana Lucas menyentuhnya lagi beberapa saat lalu. Dia mengusap bibir dengan punggung telunjuk. Sungguh bingung. Mengapa lelaki itu terasa lebih bersemangat daripada sebelumnya. Bukankah Aleta sudah memakinya dengan kata-kata kasar juga sebelumnya?
"Hahh… hahh… hahh…"
"Kau sendiri yang memintaku menghukummu kan?" tanya Lucas. Aleta yakin setelah ciuman itu berakhir, wajah Lucas masih tepat berada di depannya. "Jadi ini bukan salahku."
"Pergi!"
Aleta berharap Lucas marah sekalian. Mungkin dengan begitu dia akan membenci Aleta dan takkan melakukan itu lagi, namun yang Aleta dengar hanya kekehan tawa kecil sebelum tepukan di pucuk kepalanya terasa.
"Jaga dirimu baik-baik selama di rumah," kata Lucas. "Aku berangkat kerja dulu, hm?"
Lucas beralalu dan Aleta hanya bisa diam hingga nafanya yang bersengalan tenang sebelum Eve mendekat.
Sungguh dia benar-benar tak bisa berpikir, bahwa ada jenis ucapan putus asa di dunia ini yang tak bisa lagi ditarik oleh takdir dan indra perasaan seseorang.
"Kau adalah Pamanku, Lucas…" gumam Aleta dengan isakan pelan. "Kenapa melakukannya? Kenapa tidak membunuhku saja?"