Sekali lagi aku memperhatikan penampilanku di cermin. Setelah kurasa tidak ada yang aneh dari penampilanku, aku berjalan keluar lalu menutup pintunya kembali.
Tinnn...tinnn...tinnn...
Aku berbalik saat mendengar suara klakson, ternyata ulahnya Bapak Steven.
'Untuk apa dia kemari? Astaga aku sedang kesal dengannya'.
Walaupun begitu aku dengan profesional tetap berjalan mendekati mobilnya.
"Selamat pagi Pak".
Sapaku sok ramah.
"Masuk".
Aku mematuhi ucapannya berjalan masuk dan duduk di kursi penumpang lalu dengan cepat memakai seatbelt.
Pak Steven melihatku sekilas, lalu menjalankan mobilnya saat aku sudah duduk tenang.
"Bagaimana?".
Aku memandang kearah nya dengan tatapan bingung.
"Maksud Bapak?". tanyaku lebih memperjelas ucapannya.
Bukannya menjawab ucapanku Pak Steven kembali diam dan kembali fokus kedepan kearah jalan.
'Apa-apaan maksudnya ini?' Aku menggerutu kesal sendiri didalam hati.
Kami sama-sama terdiam hingga sampai di parkiran kantor, mobil yang dikendari Pak Steven berhenti.
"Terimakasih atas tumpangannya Pak".
Pamitku lalu keluar dengan cepat dari dalam mobilnya. Dan dengan langkah besar berjalan memasuki gedung kantor lalu melanjutkan langkah kearah lift.
Aku menduduki kursi tempat kerjaku.
Baru saja ingin bekerja, tanpa sengaja aku menyenggol pulpen hingga terjatuh. Aku menunduk mengambil pulpen itu.
Saat kembali duduk tegak aku dikejutkan dengan Sosok Pak Steven yang berdiri tepat di depan meja kerjaku.
"Astaga". Ucapku pelan sambil memegangi dadaku terkejut melihat kehadirannya.
"Kenapa meminggalkan saya diparkiran berjalan begitu terburu-buru?".
"Maafkan saya Pak, saya hanya merasa tidak nyaman kalau pegawai lain melihat saya berada dimobil yang sama dengan Bapak". ucapku cepat.
"Bukannya mereka semua, para karyawan yang berada disini sudah biasa melihat pemandangan seperti itu? Kenapa harus merasa takut? Lagian kita tidak melakukan hal yang aneh sampai sejauh ini".
Tegas Pak Steven sambil melipat tangannya di depan dada.
Aku hanya diam, dalam hati aku meruntuk kebodohanku. Alasanku sungguh tidak masuk akal. Karena memang sebenarnya melihat aku dan Bapak Steven berada dalam satu mobil yang sama adalah pemandangan hampir setiap hari.
"Kamu marah?". Aku langsung menatap Pak Steven lekat. Cara dia menegurku seakan-akan kami begitu akrab.
"Marah? Ada hak apa saya harus marah kepada Bapak?".
Tanyaku lalu ikut berdiri, sehingga kami saling berhadap-hadapan sekarang. Pak Steven tersenyum miring sambil menggeleng pelan.
"Kamu pintar, kamu pasti tau maksud saya".
Setelah mengatakan hal itu Pak Steven berbalik lalu memasuki ruangannya.
Aku menghela nafas, kesal dengan sikapnya yang arogan.
Aku merogoh ponselku, menghubungi Sesil.
"Sil, makan siang ini kita bareng ya. Ada yang mau gue omongin sama lu".
"Ok Vina sayang".
Setelahnya aku langsung menutup panggilan teleponku.
Kembali duduk dan mengerjakan pekerjaanku.
Aku dan Sesil lebih memilih duduk di meja yang paling pojok. Tujuannya hanya satu, supaya sesi curhat kami tidak diganggu oleh pihak lain.
"Kenapa Vin, Lu ada masalah apa?" tanya Sesil penasaran sambil mulai mengunyah makan siangnya
.
Aku meminum air putih yang ada di hadapanku, lalu mengalirlah semua ceritaku, mulai dari saat Pak Steven tak sengaja berjumpa dengan ku dan juga Daniel di salah satu Restoran. Hingga aku yang tertidur di rumah Pak Steven sampai pagi.
"Hah, beneran? Pak Steven sampai manggil Satpam kompleks buat gendong lu?"
Sesi menganga tak percaya.
Aku mengangguk mengiayakan.
"Itu pengakuan dari Bapak Steven langsung. Sejauh gue kerja bareng dia, gue masih belum pernah lihat dia berbohong walau sekecil apapun itu".
jelasku dengan nada lesu sambil mengaduk makan siang ku.
"Tapi jujur Sil, sebenarnya gue pribadi nggak berharap banyak. Maksudnya kalau memang Bapak Steven merasa keberatan untuk menggendong gue, nggak masalah karena itu hak dia. Dirinya cukup membiarkan gue tertidur dengan posisi seperti ini di ruang tengah". Ucapku sambil menirukan gayaku saat tertidur kemarin di ruang tengah rumah Pak Steven.
"Jujur Sil, harga diri gue kayak diinjak-injak".
Mataku memanas saat mengatakannya.
"Jangan berpikiran buruk Vin, mungkin aja lo emang berat, siapa tau Bapak Steven udah coba buat ngangkat lo, tapi dianya nggak kuat karena badan lo berat. Positif thingking Vina, jadi dia manggil seseorang buat bantu mindahin lo.".
Aku tak terima dengan pemikiran Sesil.
"Apa ia kalau orang semiskin gue semenjijikkan itu ya?".
Sesil menggeleng.
"Positif thingking Vina".
"Gue udah nggak kuat Sil, setiap hari gue ditindas terus".
Sesil memperdekat kusinya, lalu memelukku.
"Hey, jangan gitu dong".
Bukannya tenang aku malah semakin sedih saat dipeluk Sesil.
"gue nggak pernah protes saat dia memberikan waktu kerja yang sangat padat hingga waktu untuk beristirahat dimalam hari sangat sulit gue dapatkan dan gue juga nggak protes saat dia nggak memberikan gaji gue di bulan kemarin bahkan uang lembur gue di bulan kemarin juga ditahan olehnya. Padahal hampir semua pekerjaan gue yang menanganinya sendiri, hampir semua pekerjaannya gue yang selesaikan. Ta..Ta..tapi..".
Sesil memelukku erat kemudian satu tangannya mengelus rambutku pelan. Membuatku semakin tak sanggup melanjutkan kalimat dari bibirku.
"Kalau memang lo udah ngerasa nggak sanggup lagi. Gapapa, itu hal yang wajar dan manusiawi. Dan kalau lo mau resign dari kantor ini, gue dukung lo seratus persen demi kebaikan lo dan gue janji bakal bantuin lo sampai dapat pekerjaan baru. Gue janji Vin".
Aku melepas pelukan kami, menatap Sesil lekat, menatapnya dengan pandangan bertanya tentang kalimat yang baru saja dilontarkannya.
"Gue serius Davina".
Aku tersenyum melihatnya, membuat Sesil juga ikut tersenyum.
"Makan yuk".
Aku mengangguk lalu melap mataku yang berair dengan tissue .
Dan kembali melanjutkan makan siangku.
"Jangan sedih-sedih lagi ya, kalau ada apa-apa langsung kabarin gue. Ok".
Aku mengangguk.
"Oh ia Vin gue lupa, si Robby kirim salam buat lo".
"Balik salam". Balasku cepat, Sesil menatapku heran aku yang ditatap seperti itu menatap nya balik, membuat kami sama-sama tertawa.
Kami telah selesai makan siang, lalu berjalan menuju lift.
Kami berpisah saat Sesil telah sampai di lantai tempatnya bekerja.
"Darimana?". Suara Pak Steven yang mengagetkanku begitu aku keluar dari lift.
"Dari kantin Pak".
Steven mengangguk lalu masuk lift dan meninggalkanku sendiri.
Aku berjalan menuju meja kerjaku.
Dan betapa kagetnya aku melihat sekumpulan map dengan memo kecil diatasnya.
"Semuanya saya tunggu besok jam dua siang di meja kerja saya".
Aku memeriksa semua map itu. Dan yang paling mengesalkan ketika Pak Steven meminta data keuangan dalam satu tahun. Laporan uang keluar dan juga uang masuk selama setahun. Dan yang benar saja, jujur aku tidak bisa menyelesaikan ini dalam waktu satu malam.
Aku membawa berkas itu digengamanku. Berjalan kearah ruangan Pak Steven, meletakkan map itu disana,
"Apa yang kamu lakukan diruangan saya?".
Suara itu seperti milik Pak Steven, langsung aku berbalik dan benar saja itu Pak Steven dengan segelas kopi ditangannya.
"Maaf Pak, saya tidak bisa menyelesaikan laporan keuangan ini kepada Bapak kalau waktu yang diberikan hanya semalaman".
Ucapku sedikit ketus sambil menunjuk berkas yang tergeletak diatas meja.
"Jadi mau kamu bagaimana? Saya yang melakukannya?".
Ujar Pak Steven sambil berjalan kearah meja kerjanya.