Chereads / My ice boss / Chapter 21 - Dua Puluh Satu

Chapter 21 - Dua Puluh Satu

Hari ini sudah tepat seminggu sejak aku diberi ijin untuk istirahat dirumah. Dan besok aku akan kembali bekerja. Tidak ada yang spesial selama seminggu ini. aku hanya berdiam di kost sesekali keluar hanya membeli sesuatu yang diperlukan.

Tok...tok...tok...

Berjalan menuju pintu, saat terbuka aku terkejut dengan sosok seorang.

"Pak Steven". Aku heran mengapa beliau berada di sini.

"Ada keperluan apa Pak?".

"Saya hanya ingin menjenguk kamu". Pak Steven menyodorkan sekeranjang buah-buahan segar kearahku, aku menerima pemberian Pak Steven dengan sopan.

"Terimakasih Pak, silahkan duduk Pak". ucapku sambil menunjuk kearah kursi plastik yang berada di teras kost ku.

Pak Steven mengangguk lalu duduk di kursi plastik itu.

"Sebentar Pak". aku masuk kedalam mengambil sebotol minuman dingin yang tadi kubeli di minimarket.

"Ini Pak".

"Terimakasih".

Aku melongo melihat minuman dingin itu habis dalam sekali teguk.

"Bapak masih haus? Kalau ia saya masih ada sebotol lagi Pak, sebentar saya ambilkan".

"Davina".

Aku menghentikan langkah ku, berbalik menghadap Pak Steven.

"Saya ingin mentraktir kamu makan malam, sebagai bentuk permintaan maaf saya atas kejadian yang menimpa kamu".

"Saya tidak apa-apa Pak, saya sudah sehat jadi Bapak tidak perlu meminta maaf apalagi harus merasa bersalah".

ucapku menjelaskan sambil tersenyum.

"syukurlah kalau begitu, tapi saya tetap mengajak kamu untuk tetap menemani saya makan malam sebagai sekretaris saya".

Aku menarik nafasku sebentar.

"Maaf Pak, tapi saya udah ada janji bareng Sesil malam ini". ucapku sengaja berbohong, untuk menghindari ajakan Pak Steven.

"kalau begitu ajak Sesil sekalian saya yang akan mentraktir, kebetulan teman kamu itu adalah karyawan saya juga".

" kalau begitu sebentar Pak, saya hubungi Sesil terlebih dahulu".

Aku permisi, lalu merogoh ponsel, berjalan kedalam.

"Davina". Langkahku terhenti.

"Ia Pak". Sahutku sambil mengarahkan ponsel tepat ketelingaku.

"Disini saja, saya ingin mendengar jawaban Sesil".

aku tersenyum masam, sepertinya Pak Steven mencium aroma kebohongan ku.

'Angkat Sil..angkat...ayo...'.

Aku hampir menyerah, sudah panggilan kelima tapi Sesil tak kunjung menjawab panggilanku.

Kucoba memanggilnya sekali lagi, hasilnya masih sama panggilanku tak kunjung diangkat, aku akhirnya menyerah ponselku kembali kumasukkan kedalam saku celana.

"Maaf Pak, Sesil tidak menjawab panggilan dari saya".

Pak Steven hanya mengeluarkan smirknya kemudian bangkit berdiri.

"Saya tunggu kamu setengah jam di mobil saya". Pak Steven melangkah menuju mobilnya.

"Tapi Pak bagaimana dengan teman saya Sesil. Pak....Pak.".

Bukannya menghentikan langkahnya saat mendengarkan teriakanku Pak Steven malah semakin menjauh.

Saat sedang mencari sebelah sepatuku, ponselku berdering.

Rupanya itu dari Sesil.

"Kenapa Vin, lo ada perlu apa sampai nelpon gue berkali-kali?".

"Sil, tolongin gue".

"Sorry Vin, sekarang gue nggak bisa, kerjaan gue lagi numpuk nih".

"lo sekarang dimana? bantuin gue dong kali ini, kalau masalah kerjaan lo gue janji bakalan bantuin deh. Malam ini gue kerumah lo".

"Gue masih dikantor, sekitar sejam yang Lalu Bapak Steven limpahin beberapa tugas lo sama gue dan juga kebeberapa teman kita yang lain".

Aku diam mencerna omongan Sesil, berarti Pak Steven sudah tau aku berbohong sejak awal.

Astaga.

"Halo Vin, lu masih dengerin gue kan? Sorry banget ya gue nggak bisa bantuin lo".

"Eh ia Sil nggak apa-apa, kalau gitu lo lanjutin kerjaan lo aja, sampai jumpa besok dikantor, bye"

Aku mengambil sepatuku memakainya cepat dan keluar menemui Bapak Steven.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, takut Pak Steven memarahiku karena telah berbohong perihal Sesil.

"Mau makan kemana? Ada rekomendasi?".

Aku menoleh kearah Steven.

"Saya ngikut Bapak saja,".

Pak Steven mengangguk, lalu mengemudikan mobilnya hingga berhenti tepat di restoran mewah.

"Ini, pesanlah semua makanan sesuai seleramu".

Aku menatap Pak Steven bingung, tanganku terulur menerima buku menu dari Pak Steven.

"Nasi goreng satu, dan orange juice nya satu".

Ucapku kepada pelayan.

"Itu saja?"

Ekspresi Pak Steven terlihat tak percaya saat melihat ku mengangguk mengiakan pertanyaannya.

Sambil menunggu pesanan kami datang, aku pamit ketoilet sebentar. Mengulur waktu merasa canggung saat berdekatan dengannya.

Entah aku yang terlalu kepedean , tapi perasaanku hari ini Pak Steven menatapku dengan cara yang berbeda, hari ini sikapnya berbanding terbalik dengan biasanya.

Hampir sepuluh menit aku berdiam dikamar mandi sambil memainkan ponselku, hanya ingin mengulur waktu.

Drrrtt...drrrtt....

Ponsel di dalam tas kecilku bergetar. Kulihat pemangilnya dari Pak Steven.

Sambil menghela nafas kasar, aku berjalan keluar tanpa mengangkat panggilan telepin Pak Steven.

"Kenapa lama sekali? Dan kenapa panggilan dari saya tidak dijawab?".

"Maaf Pak".

Ucapku singkat, lalu duduk kembali. Dan tidak lama kemudian pelayan datang membawa makanan pesanan kami.

"Tidak mau memesan yang lain?".

"Tidak Pak, terimakasih ini sudah cukup untuk saya".

"Uang pengobatan kamu yang kemarin maksud saya pengobatan luka dipelipis kamu apakah kurang? Kalau memang kurang kamu bisa berbicara langsung kepada saya".

"Uangnya sudah lebih dari cukup Pak. Terimakasih banyak".

"Orang tua kamu, apakah mereka tidak ada niatan untuk melihat keadaanmu disini?".

Tanyanya Pak Steven menatapku penuh arti, membuat jantungku berdebar tidak karuan.

"Sebenarnya orang tua saya dikampung sudah memaksa ingin datang, namun saya larang Pak. Mereka sudah terlalu tua jika harus mengunjungi saya, lagipula saya tidak merasakan cedera yang serius."

"Sebentar Davina, maksud kamu luka kamu itu tidak serius?"

Aku mengangguk.

"Ini hanya luka kecil".

"Astaga, apa yang kamu pikirkan sebenarnya"

Pak Steven menatapku heran.

"Sudahlah, mari kita alihkan topik pembicaraan. Untuk surat pengunduran itu, apakah kamu serius ingin mengundurkan diri dari perusahaan?".

Aku terdiam, takut salah paham menjelaskannya.

"Davina, kamu mendengar saya?".

"Maaf kan saya Pak kemarin saya salah. Awalnya saya berpikir Bapak pasti akan memecat saya begitu saya tiba dikantor, jadi sebelum hal itu terjadi saya yang lebih dulu memberikan surat pengunduran diri."

Aku tersenyum kecil.

"Maafkan sikap saya sebelumnya yang begitu kasar terhadapmu". Ujar Pak Steven dengan wajah bersalah.

"Maafkan saya juga yang terlalu sering lalai Pak".

Ucapku sambil tersenyum canggung dengan situasi kami saat ini.

'Kenapa jadi maaf- maaf'an sih?'

Kami terdiam setelahnya karena pelayan datang membawakan makanan pesanaan kami.

"Mari makan". Ajak Pak Steven

Aku mengangguk, lalu mulai menyuap sesendok nasi goreng kemulutku.

Sepanjang kami makan hanya hening yang menemani. Rasanya terlalu canggung jika aku yang membuka percakapan diantara kami.

Selesai membayar tagihan makanan, kami berjalan kearah parkiran.

"Bagaimana kalau kita menonton malam ini".

ajak Pak Steven, kalimat Pak Steven kembali membuatku melongo tak percaya. Ada apa lagi ini?.

"Maaf Pak, saya bukannya bermaksud menolak tapi kepala saya sedikit pusing". Ucapku sengaja berbohong, untuk menolak ajakannya.

"Benarkah? Kamu sudah makan obatnya kan?"

Aku menggeleng

"Obat saya sudah habis sejak kemarin Pak". Jawabku tidak berbohong, karena obatnya memang sudah habis sejak kemarin.

Kulihat Pak Steven menghela nafas kasar, lalu menuntunku dengan pelan dan hati-hati berjalan kekursi penumpang seakan-akan aku sedang sekarat.

'Astaga jantungku kenapa berdetak tidak normal, jangan bilang aku baper'