Tengah malam. Di mana jarum jam dan jarum pendek saling tertindih dan tertahan di angka dua belas. Selepas menghantar Damian keluar dari rumahnya, Luna membersihkan semua yang berserak di atas meja. Dua cangkir kopi dengan ampas yang bersisa di dasarnya dan beberapa piring bekas camilan yang masih ada isinya. Semua dibawa gadis itu masuk ke dalam dapur. Mengelap meja kemudian menyeka wajahnya sebab panas dirasa meskipun hawa dingin Kota Amsterdam sedang ganas-ganasnya malam ini.
Luna melepas kemeja yang dikenakan olehnya. Menyisakan satu tank top tipis berwarna hitam legam yang membentuk lekuk tubuh milik Luna. Berjalan masuk ke kamar pribadinya untuk menyambangi sang kekasih yang masih terbaring dengan selimut tebal menutupi separuh badan kekar milik William Brandy.
Luna melepas rok pendek yang dikenakan olehnya. Menggantinya dengan gaun tidur tanpa mau membasuh dirinya terlebih dahulu. Malam sudah terlalu larut. Tak baik jikalau ia menghabiskan waktunya hanya untuk membasuh diri di dalam kamar mandi tengah malam begini. Toh juga, William akan tetap menyukai aroma tubuh Luna sebab gadis itu bukan tipe gadis yang mudah berkeringat.
Tatapan sepasang lensa indah milik gadis berambut pendek dengan ujung yang ikal itu kini menerawang segala hal yang ada di atas tubuh William. Berjalan mendekat kemudian menarik selimut dan masuk ke dalamnya. Tidur berjajar dengan sang kekasih adalah hal yang paling disukai oleh Luna Skye kalau malam tiba begini. Luna tak suka sendirian dan merasa sepi juga bosan. Kehadiran sang kekasih yang datang menjadi teman seranjang untuk menyambut pagi datang esok hari adalah hal teristimewa mengapa Luna begitu mencintai William Brandy.
Gadis itu tersenyum ringan. Mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi merah padam milik kekasih hatinya itu. Membuat William menggeliat kasar sembari menjejak-jejakkan kakinya bak anak bayi yang merasa risih sebab sepatu dan kaos kaki masih menempel di kedua kakinya.
Luna kembali bangkit. Membuka selimut kemudian sigap melepas kedua sepatu dan kaos kaki yang membungkus kaki milik William. Melemparnya asal agar menjauh dari sisi ranjang.
"Dia sudah pulang?" lirih nan samar suara menginterupsi. Dari balik cahaya remang lampu kamar tidur Luna menatap paras William yang baru saja membuka matanya. Tersenyum ringan pada Luna yang hanya mengerang sembari menganggukkan-anggukkan kepalanya setuju.
"Dia Damian bukan? Mahasiswa seusia denganmu dari jurusan psikologi?" tanya William perlahan bangkit. Memberi tatapan pada gadis yang terlihat begitu menggoda dengan gaun tidur berwarna silver.
"Kau tahu?" Luna menyahut. Mengusap pipi lelaki yang hanya mengerang sembari menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana bisa dia mampir sampai selarut ini?" William mengimbuhkan. Menarik tangan Luna yang sedari tadi mengusap pipi kirinya dengan lembut.
Gadis di depannya tersenyum. Sedikit menggeser tubuhnya untuk mendekat pada sang kekasih. "Dia menolongku untuk membawamu dari tepi jalanan tadi. Mengendong tubuhmu hingga sampai dan masuk ke dalam kamarku. Kau harus berterima kasih padanya kalau bertemu." Luna menjelaskan. Dengan singkat tak mau banyak berbasa-basi sebab bukan hanya William saja yang lelah, namun juga dirinya.
Perasaan Luna sedang tak baik ditambah dengan pikirannya yang sedang 'semrawut' sekarang ini. Besok adalah hari pertama dirinya magang. Membuatnya was-was sekaligus takut. Luna bukan tipe gadis yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia masuk ke dalam golongan orang-orang introvert yang tak suka berinteraksi dengan orang baru.
Yang diinginkan Luna bukan hanya raga William Brandy untuk menemaninya tidur dan menghangatkan tubuh Luna kala dinginnya Kota Amsterdam tak bisa dilawan dengan pemanas ruangan. Luna juga ingin menjadikan William sebagai si teman baik yang bisa diajak bertukar kabar juga cerita. Bukannya Luna tak nyaman dengan bercerita bersama sang kekasih, namun beban yang ditanggung William saja Luna yang menanggungnya. Luna yang memikirkan semua pasal kehidupan laki-laki dengan pipi tirus dan garis rahang tegas yang membentuk paras tampan miliknya itu. Jadi berbicara pasal keluh kesalnya pada William tak akan berdampak apapun.
"Aku pasti memalukan untukmu." William menyahut. Merengkuh tubuh Luna dan memeluknya hangat. Meletakkan dagunya di atas puncak kepala gadis yang hanya menggeleng untuk memberikan respon.
"Kau masih mabuk? Mau aku ambilkan pereda mabuk agar merasa sedikit enakan?" tawar Luna melepas pelukan sang kekasih.
Bau alkohol yang masuk ke dalam lubang Luna kini mulai membuat Luna terbiasa. Awal hubungan mereka terjalin, Luna membenci William yang memeluknya dalam keadaan mabuk. Sebab Luna benci bau alkohol yang keluar dari tubuh seorang laki-laki, akan tetapi lambat laun gadis itu mulai terbiasa.
William menggeleng. Memejamkan rapat sejenak sembari menggelengkan kepalanya. "Bukankah mabuk adalah kondisi terbaik untuk 'bermain' denganku di atas ranjang?" goda William menurunkan perlahan gaun tidur yang dikenakan oleh Luna. Membuat area leher hingga lengan atas gadis itu kini terekspos jelas oleh sepasang mata bulat nan tajam milik William.
"Kau masih menggunakan kalung dari Tn. Jeff?" tanya William kala tak sengaja lensanya memotret kalung dengan liontin berbentuk hati kecil sebagai gantungannya melingkar apik di atas leher Luna Theresia Skye.
Gadis itu mengangguk. "Aku ingin menjualnya, tapi aku sedang tak butuh uang sekarang. Aku akan menjual kalau aku membutuhkan uang." Luna beralasan. Melingkarkan tangannya di atas leher William yang menggelengkan kepalanya ringan sembari melipat keningnya samar. Apapun yang berhubungan dengan Tuan Jeff, William tak pernah menyukainya.
"Lepaskan," kata laki-laki itu memerintah.
"Gaunku?" goda Luna tersenyum ringan.
"Itu aku yang akan melakukannya nanti. Sebelum itu, lepaskan dulu kalungnya dan aku akan menjualnya besok." Willian menunjuk. Menggoreskan ujung kukunya di atas permukaan liontin milik Luna.
"Ngomong-ngomong, mengapa kau mabuk lagi hari ini? Bukankah kau cuti kerja?" Luna mengalihkan topik pembicaraan. Menghentikan aktivitas William dengan menarik ujung jari pria itu dan meletakkannya di atas permukaan dada milik Luna.
"Aku dipecat," ucap William tegas. Sukses membuat Luna membulatkan matanya sejenak. Kembali menghentikan aktivitas William yang mulai menarik tali gaun tidur untuk membuka bagian atas pakaian milik Luna.
"Lagi? Kau dipecat lagi?" tanya Luna mengulang.
Pria di depannya menganggukkan kepalanya. "Besok aku akan mencari pekerjaan baru. Tenang saja."
Luna menghela napasnya kasarnya. Menatap William yang terus saja tersenyum kuda sembari menatap belahan gaun tidur yang dikenakan olehnya. Mengentengkan adalah sifat buruk yang paling dibenci oleh Luna dari seorang William Brandy. Selalu berakhir dengan berbincang bersama teman dan alkohol adalah hal yang dilakukan oleh William untuk melepas beban dan menganggap remeh masalah yang sedang terjadi padanya.
Luna memang mencintai William. Ingin menikah dan berakhir bahagia dengan laki-laki itu nantinya. Memiliki dua putra dan putri yang imut dan menggemaskan adalah harapannya sekarang ini. Akan tetapi dengan syarat bahwa William harus benar-benar mencari perkerjaan yang layak. Bukan sebagai seorang pengangguran yang berkerja paruh waktu dan pencandu alkohol seperti ini.
... To be Continued ...