"Selamat sora paman Bento." Sapaku pada sang pemilik café yang sangat baik hati itu.
"Selama sore nak. Bagaimana hari pertamamu kuliah?"
"Sangat menyenangkan." Jawabku sumringah. Aku segera kea rah pantry untuk menemukan celemekku. Setelah itu aku berjalan menuju meja bar untuk bergabung dengen Zee dan beberapa rekan kami.
"Meja 13." Kata Zee dan aku segera mengangkut baki berisi satu cangkir espresso itu ke meja nomor 13. Aku sangat terkejut saat melihat yang duduk di sana. Jantungku bahkan mendadak kehilangan kemampuannya untuk berdetak dan itu membuatku sesak nafas. Entah berapa lama aku mematung, tapi kurasa lama sekali. Aku bahkan baru tersadar saat pria itu menoleh dan menatap ke arahku kemudian tersenyum. OH . . . . kurasa udara di tempat ini semakin tipis, hingga rasanya aku mulai sesak bernafas. Bagaimana mungkin dia ada di tempat ini? Kedai ini kecil dan tidak cukup mewah untuk di kunjungi orang dengan kaliber seperti dirinya.
Dengan kaki yang mendadak terasa seperti jeli aku memaksa lahkahku maju. "Bersikap sewajarnya Bell." Gumamku dalam hati. "Kau pasti bisa, ayo terus maju dan bersikap wajar." Aku terus menyemangati diriku sambil terus merangsek maju ke arah meja nomor tigabelas dibawah tatapan pria itu, maksudku Mr. Christ, dosenku.
"Your coffee sir." Kataku gugup, dan saat dia Tersenyum ke arahku sambil mengatakan "Thanks" Kurasa aku mendadak menjadi semacam eskrim yang terkena terik mata hari, meleleh.
"Bisakah kau duduk sebentar di sini?" Tanyanya.
"Maaf Sir, saya tidak bisa. Kami tidak di ijinkan mengobrol terlalu lama dengan pelanggan." Tolakku.
"It's ok. Get back to work." Senyumnya dan aku segera bergegas pergi dari meja itu dengan perasaan yang campur aduk. Padahal paman Bento tidak akan marah jika tadi aku mengiyakan untuk duduk di meja itu.
***
Beberapa pekerja mengenalnya sebagai pengusaha kaya raya pemilik Morrow Ltd dan Hudson Corp. Kedua perusahaan raksasa di bidang IT dan Telekomunikasi itu rupanya sering berseliweran di televise untuk berbagai acara penghargaan, tapi aku tidak pernah melihatnya.
"Kau tahu, pria yang duduk di meja nomor tigabelas itu?" Tany Zevanya, rekan kerjaku sambil menunjuk ke arah dosenku.
"Ya." Jawabku ragu.
"Dia pengusaha kaya raya, pemilik Morrow Ltd dan Hudson Corp."
"Aku hanya tahu dia dosenku." Jawabku singkat.
"Kau beruntung karena mendapat beasiswa." Ujar Ze, dan itu benar sekali. Jika tidak, aku akan berakhir seperti teman-temanku di sini, dengan pendidikan dasar yang standard dan menjadi pelayan di kedai kopi seumur hidupku. Tapi mimpiku, suatu saat mungkin aku akan memulai membuka kedai kopiku sendiri, dengan namaku mungkin. Ah . . . seandainya ini bisa berakhir sebagai kenyataan dan bukan hanya mimpi.
"Pria itu dari tadi mengawasimu." Ujar Paman Bento saat aku sedang membersihkan meja bar.
"Tidak, dia sedang menikmati kopinya paman." Jawabku sementara itu paman Bento melirik arlojinya. "Sudah dua jam dia duduk di sana, mungkin kopinya juga sudah dingin."
"Kalau begitu dia pasti akan memesan yang baru." Akut tersenyum dan kembali membereskan meja.
"Pergi dan temui dia, mungkin dia ingin membicarakan sesuatu denganmu."
Aku menghela nafas, menoleh ke arahnya dan dia tampak sedang sibuk melihat ke layar ponselnya.
"Apa aku harus menemuinya?" Aku bertanya lirih kea rah paman Bento dan pria tua itu mengangguk dengan senyum di bibirnya. Setelah mempertimbangkan beberapa detik aku menghentikan pekerjaanku dan menghampirinya, dia tampak terkejut saat aku berdiri di depannya tanpa suara.
"Hei . . ." Dia tersenyum ke arahku.
"Anda ingin bicara denganku?" Tanyaku dengan ekspresi datar.
"Em . . . aku sedang menikmati kopiku."
"Kopi anda sudah dingin sejak berjam-jam yang lalu."
"Aku menikmati duduk di sini dengan secangkir kopi sambil mengurus pekerjaanku."
"Tapi kata paman Bento anda memperhatikanku sejak tadi." Desakku.
Dia meletakkan ponselnya, kemudian mengalihkan perhatiannya ke arahku secara penuh "Apa itu mengganggumu?"
"Ya." Anggukku.
"Kau berjalan mondar-mandir di sekitarku, jadi wajar jika aku memperhatikanmu sesaat. Itu juga tidak kusengaja."
"Ok, silahkan nikmati kopi anda." Kataku dan segera berbalik, tapi aku hampir terlonjak saat merasa tanganku di pegang olehnya.
"Oh ya." Dia seperti baru saja mengingat sesuatu. "Bawakan aku secangkir espresso lagi." Imbuhnya.
"Baik Sir, silahkan menunggu sebentar." Jawabku sopan. Tapi aku tidak kembali dengan secangkir espresso panas untuknya, melainkan Zee, aku memintanya untuk mengantar espresso itu. Zee tampak beberapa saat berbincang dengannya, tapi kemudian dia kembali dengan nampan dan selembar kertas yang di gulung.
"Dia ingin aku memberikannya padamu.
"I'll take you home when you finish your job." Tulisnya, dan sesaat setelah aku membaca tulisan tangannya, aku menatap ke arahnya tapi dia tampak sedang menelepon.
"Oh . . . apa yang sebenarnya dia ingikan?" Gumamku dalam hati. Zee tampaknya sudah penasaran dari tadi, hingga dia memutuskan untuk bertanya langsung padaku. "Apa yang dia tulis?"
Aku cepat-cepat menggulung kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku celemekku. "Oh, ini tugas kuliah."
"Dasar pria kejam, bagaimaan dia bisa memberikanmu tugas kuliah selagi kau tidak berada di kampus."
"Entahlah." Aku segera membawa baki berisi cangkir kotor ke wastafel belakang untuk di bersihkan oleh Susan.
"Kau perlu bantuanku?" Aku bertanya pada Susan dan dia mengangguk. "Jika kau tidak sedang sibuk."
"Untuk sementara ini tidak." Aku tersenyum lega, tentu saja bersembunyi di belakang akan membuatku tidak melihat pria itu setidaknya untuk beberapa saat.
***
Shiftku berakhir, dan aku bisa pulang. Kupikir pria itu sudah pergi karena meja nomor tigabelas sudah berganti orang.
"See you tomorrow." Ujar Paman Bento dengan senyuman khasnya.
"See you."
Aku berjalan keluar dari kedai itu dengan memegangi selempang tasku dan tiba-tiba suara klakson mobil mengejutkanku. Aku menoleh dan kaca mobilnya turun.
"Come in." Ujar pria di dalam mobil itu dengan mobil yang berhenti di sisi trotoar tempatku berjalan, sementara mesin mobilnya masih menyala.
"I'll take you home."
"Aku . . . tinggal di dorm." Jawabku singkat, dan tentu saja itu akan membuatnya berpikir untuk mengantarku pulang. Dia dosen dan aku mahasiswa, kami tidak boleh terlihat bersama dimanapun jika ingin tetap hidup normal dan jauh dari rumors apapun.
"Dorm?" Alisnya bertaut, tampaknya dia tidak menyukai mendengar jawabanku.
"Ok I'll take you there."
"Mahasiswi yang mengenalmu akan tahu jika anda mengantarku."
"So what?" Jawabnya acuh.
"Anda akan terkena gossip murahan."
"I don't care with that, come on in."
Aku mempertimbangkan beberapa saat sampai akhirnya aku masuk kedalam mobil pria itu, maksudku Mr. Christ, dosenku. Rasanya gila, seumur hidupku aku tidak pernah menumpang mobil mewah, apalagi semewah ini.
"It's nice to see you again."
"We will meet every Saturday. " Mengapa dia mengatakan senang bertemu denganku lagi padahal kami akan bertemu setiap sabtu sebagai dosen dan mahasiswa.
"I know." Jawabnya singkat.
Aku tertunduk tidak berani menatapnya, dia benar-benar seperti dewa yunani yang sempurna apalagi dibalik kemudi mobil mewahnya itu, dengan blazer dan kemeja yang jauh lebih formal dan juga jam tangan super mewah yang dia kenakan.
"Kau membuatku penasaran sejak kuliah kita pagi ini nona Bell."
"Me? Why?" Alisku bertaut, dan pada akhirnya aku berani menatapnya.
"Kau terlihat berbeda dengan teman-temanmu yang lain."
"Oh . . ." Aku tertunduk. "Aku memang lebih tua dari mereka."
"Bukan soal itu."
"Lalu?"
"I don't know how to describe this thing." Ujarnya, dia bahkan tidak tahu bagaimana mendeskripsikan apa yang dia maksud dengan "berbeda".
"Is it different on a good way or bad way?" Aku bertanya ragu. Dan dia menjawab singkat. "Good way."
"Mungkin karena aku adalah satu-satunya mahasiswi di kampus itu yang kuliah dengan beasiswa." Aku tertunduk. "Dan aku satu-satunya yang tidak dilahirkan dari keluarga pengusaha, atau setidaknya aku yatim piyatu."
Dia menatapku meski aku tidak berani membalas tatapannya, tapi dari sudut mataku aku bisa melihat dia menatapku.
"Kau punya kompetensi dibandingkan anak-anak yang lahir dari pengusaha, bahkan konglomerat."
"Hanya karena aku berhasil menebak apakah anda sudah menikah atau belum?" Tanyaku polos, dia benar-benar tidak bisa mengatakan aku berkompeten sedangkan kami bahkan baru bertemu beberapa jam.
Dia tersenyum. "Kau sangat polos, bahkan terlihat sedikit pemalu."
"Apakah itu bisa dibilang kompetensi?" Tanyaku ragu, karena jelas itu bukan kompetensi sama sekali.
"Orang sepetimu sangat mudah dibentuk, karena kau sangat murni. Berbeda dengan orang yang merasa dia mampu, merasa dia punya banyak hal hingga tidak memerlukan proses lagi." Ujarnya ambigu. Kurasa aku bahkan tidak menangkap maksud kalimatnya.
"Anda sedang membuang waktu anda mengobrol denganku Sir." Aku menatapnya, entah mengapa aku merasa harus mengakhiri obrolan tidak seimbang ini.
"Ini hari sabtu, aku punya banyak wakntu untuk dibuang."
"Oh ya, aku butuh asisten untuk merapikan perpustakaan di rumahku. Apa kau masih membutuhkan pekerjaan paruh waktu?" Tanyanya dan ini tampak seperti obrolan yang masuk akal dibandingkan semua yang kami bicarakan sejak aku masuk kedalam mobilnya.
"Apa anda serius?"
"Ya . . . perpustakaanku sangat berantakan, aku tidak sempat merapikannya. Aku bahkan harus menemukan beberapa buku untuk membuat materi perkuliahan. Kurasa kau bisa membantuku."
Aku tidak langsung mengiyakan, karena sejujurnya aku masih bingung mengapa dia memilihku, padahal banyak mahasiswa lain yang jauh lebih pintar dariku untuk membantunya.
"Bukankah banyak mahasiswa lain yang jauh lebih berkompeten dariku Sir."
"Sudah kubilang aku melihat kau berbeda, tapi jika kau banyak bertanya mungkin aku akan mengubah penilaianku tentangmu." Dia menoleh ke arahku. "Aku suka karena kau tidak banyak bicara." Ujarnya lagi dan aku tidak bisa mengatakan apapun.
"Kapan kau bisa mulai bekerja?" Tanyanya.
"Aku akan lebih suka jika kau bisa bekerja secepatnya." Imbuhnya. "Apa sekarang bisa?" Tanyanya lagi, padahal pertanyaan sebelumnya belum kujawab.
"Jika anda menginginkannya."
"Good, kita akan kerumahku sekarang." Ujarnya dan mobil mewah itu memutar arah.
"Aku suka bekerja dengan orang yang tidak banyak bicara dan tidak menunda pekerjaan." Dia mengatakan kalimat itu dalam perjalanan kami ke rumahnya, dan sepanjang sisa perjalanan aku tidak mengatakan apapun.