Chereads / ASMARA DUA DUKUN. Kumpulan cerita-cerita edan / Chapter 6 - Pohon rambutan pembawa petaka.

Chapter 6 - Pohon rambutan pembawa petaka.

Pohon rambutan ini sebetulnya tak punya salah. Cuma karena ulah oknum-oknum tertentu, membuat pohon rambutan rapiah yang buahnya begitu manis dan renyah ini menjadi petaka pahit bagi yang melintas di bawah rerimbunannya. Begini ceritanya.

Siang itu mang Gurepes dan Jul keponakannya sedang bersiap siap hendak pergi ke kebon milik keluarga besar mereka. Ayah Madroy sang ayah bagi Mang Gurepes sekaligus sang kakek bagi si Jul sudah berdahulu kesana sambil membawa peralatannya sendiri. Ketika mang Gurepes dan Jul keluar rumah melalui pintu belakang, terlihat sarang tawon yang besar tergantung santai di atas dahan pohon rambutan rapiah yang tumbuh dengan subur di belakang rumah. Pohon Rambutan itu berada di antara parit kecil pembatas rumah dan empang kepunyaan Wak Haji Edi. Terlintas niat jahil dipikiran mang Gurepes terhadap si Jul keponakannya.

" Mang, buruan." Teriak si Jul.

" Oh, kamu duluan deh Jul. Entar mamang menyusul dari belakang." Balas Mang Gurepes menyuruh si Jul untuk jalan berdahulu. Tangannya menyembunyikan batu sekepalan tangan dari balik badannya. Akhirnya Jul pun bergegas berdahulu. Sesampainya di bawah pohon Rambutan Rapiah tersebut,

Praaaaaak, terdengar suara dahan yang dipukul, dan tak berapa lama berterbanganlah beratus-ratus lebah menyerang si Jul. Jul yang merasa tidak siap mau tidak mau menyelamatkan diri dengan menceburkan diri kedalam empang Wak Haji Edi. Mang Gurepes yang melihat hal tersebut tertawa terpingkal-pingkal, kemudian langsung kabur ke kebon meninggali si Jul yang sedang basah kuyup.

" Sialaaan. Awas kamu mang, nanti saya balas." Maki si Jul dengan perasaan dongkol setengah mati. Hari demi hari terlewatkan dan tak terasa sudah seminggu. Sang lebah yang seminggu lalu kehilangan sarangnya akibat ulah Mang Gurepes, kini telah membangun lagi sarangnya di posisi yang sama dengan yang dahulu. Mang Gurepes yang sudah tak ingat dengan peristiwa yang dahulu tidak mengetahui hal tersebut. Hanya si Jul saja yang melihat sarang lebah tersebut tanpa sengaja, saat sore hari sehabisnya pulang dari pemandian air pancuran dibawah lebak sana.

" Ha.ha.ha... besok pagi adalah hari pembalasan buat kamu mamangku tersayang." Ucapnya dalam hati sambil tersenyum licik seperti komandan militer yang sedang merencanakan kudeta dinegaranya. Yah, besok pagi Mang Gurepes akan dikudeta oleh Jul dengan bantuan para lebah lebah kecil manis yang pernah sakit hati karena ulahnya.

Keesokan paginya saat pembalasan yang dinantipun akhirnya datang. Ayah Madroy seperti biasanya selalu pergi berdahulu ke kebon. Si Jul yang sudah standby dari tadi menunggu kesempatan dari balik tembok belakang yang mengarah ke pohon rambutan tersebut, sambil pura-pura mengasah golok yang sebenarnya sudah tajam. Keluarlah Mang Gurepes dengan santai sambil membawa cangkul dan arit.

" Buruan Jul, ayah sudah nungguin dari tadi tuh di kebon." Celoteh Mang Gurepes menyuruh si Jul segera bergegas jalan ke kebon.

" Entar dulu mang, lagi nanggung nih mengasah golok. Tapi kalau sekiranya kelamaan nunggu, lebih baik mamang berangkat duluan deh." Ucap si jul menyuruh mamang gurepes supaya jalan berdahulu.

" Dasar kamu, mamang jalan dulan ah. Kelamaan nungguin kamu." Ujar si mamang sewot dan langsung melangkahkan kakinya ke arah kebon.

" He.he.he... kesempatan nih." Ujar si Jul sambil menggenggam batu seukuran kepalan tangan. Sesampainya Mang Gurepes di pohon rambutan tersebut,

Praaak... berterbanganlah ratusan lebah yang pernah menaruh dendam kepadanya. Ngiiiing..., bunyi gerombolan lebah tersebut seperti memberikan komando kepada kekawanan lainnya supaya menyerang Mang Gurepes tanpa belas kasihan..

" Aaaaaargh, ampuuun. Sakiiiiit." Teriak Mang Gurepes kesakitan. Dengan terpaksa Mang Gurepes menceburkan diri kedalam empang Wak Haji Edi. Sama seperti kejadian si Jul seminggu yang lalu.

Ha.ha.ha... puas lah hati si Jul karena dendamnya terbalaskan.

Keesokan harinya sang lebahpun mulai membangun kembali sarangnya untuk kedua kalinya yang rusak gara-gara ulah dua bedebah tersebut. Dan tak terasa seminggu telah berlalu, sarang lebahpun mulai terbentuk dengan sempurna kembali. Diam-diam, Mang Gurepes dan Jul sama-sama mengetahuinya. Terbesit di pikiran mereka berdua untuk sama sama membalaskan dendam mereka atas peristiwa yang telah berlalu. Maka, mereka berdua diam-diam saling menyusun rencana masing-masing.

Keesokan paginya Jul dan Mang Gurepes sama-sama saling curiga mencurigai, dan pandangan mereka pun sama-sama saling awas mengawasi. Sesekali mereka saling mencuri pandang dengan maksud sama-sama saling mencari kesempatan untuk sama-sama saling menjahili. Dan keduanyapun sama-sama saling menggenggam batu seukuran sekepalan tangan yang disembunyikan dari balik badan mereka masing-masing. Lima menit kemudian, mereka saling dorong-dorongan supaya masing-masing mau bergegas ke kebon terlebih dahulu.

" Mamang duluan deh, saya menghormati mamang yang lebih tua dari saya." Ucap si Jul menyuruh Mang Gurepes berjalan lebih dulu.

" Yeh, justru yang muda mesti duluan untuk menunjukkan semangat kepemudaan yang selalu giat berjuang dan selalu berkobar semangatnya dalam mencintai tanah airnya (lah... kaga nyambung deh mang gurepes ini bikin alasan. Hi.hi.hi... )." Cerocos Mang Gurepes tanpa nada koma, seperti orang yang sedang berpidato sambil matanya menyala nyala bak ular naga.

" Ah kaga. Biar mamang duluan yang jalan." Tolak si Jul sambil mendorong Mang Gurepes.

" Alaaah, kamu aja Jul yang jalan duluan sana." Kelit Mang Gurepes sambil balas mendorong. Akhirnya terjadilah aksi dorong mendorong bak mahasiswa yang sedang demo menuntut di turunkan harga sembako karena rakyat keberatan dengan harga sembako yang begitu tinggi ( Padahal walaupun harga sembako turun, yang namanya orang kaga punya duit tetap saja enggak bisa beli. Hi.hi.hi...). Aksi dorong mendorong pun terjadi hampir sepuluh menit lebih, dan tanpa terasa posisi mereka berdua hampir dekat di pohon rambutan tersebut. Karena masing-masing tidak mau mengambil resiko terkena amukan sang lebah, akhirnya kedua-duanya sama-sama melempar batu yang sudah mereka genggam dari tadi ke arah sarang lebah tersebut.

Tetapi,

" Alaaah, belum pada jalan juga kalian berdua." Teriak Ayah Madroy yang ternyata belum berangkat ke kebon dengan acungan goloknya sambil memaki-maki mereka berdua. Melihat beliau yang ternyata belum turun ke kebon sambil ngamuk-ngamuk, mereka berdua langsung berlari ketakutan menuju ke arah kebon untuk menghindari amukan Ayah Madroy. Lalu, dengan santai Ayah Madroypun berjalan melewati pohon rambutan tersebut, menyusul Jul dan Mang Gurepes. Ia tidak menyadari ada bahaya yang sedang mengintainya. Tanpa sadar sang lebah yang merasa di pecundangi untuk yang ketiga kalinya mulai jengkel kembali. Kebetulan orang yang mereka lihat saat itu cuma ada Ayah Madroy yang sedang berjalan dengan santai seorang diri, melintasi sarang mereka yang telah rusak karena ulah Mang Gurepes dan Jul. Maka terjadilah kejadian yang tak di kehendaki oleh sang ayah. Satu persatu gerombolan lebah tersebut mulai menyengat Ayah Madroy. Jurus silat Cimande dan kebetan sarung bututnya nyaris tak mampu melawan amukan lebah tersebut. Dan dengan terpaksa empang Uwak Haji Edi lah tempat teraman untuk menghindari amukan sang lebah. Byuuuuur, suara riak air terdengar. Ayah Madroy menyelamatkan diri masuk ke dalam empang.

" Ah... empang lagi, empang lagi." Ujar sang lebah yang merasa sewot dengan adanya empang Uwak Haji Edi. Dengan adanya empang tersebut, setiap orang yang telah merusak sarang mereka, ujung-ujungnya orang tersebut mencari selamat dengan menceburkan diri masuk kedalam empang itu. Akhirnya dengan terpaksa gerombolan lebah itu pun mengalah, dan transmigrasi mencari pohon yang lain untuk di jadikan tambatan sarang mereka.

Malamnya...

" Aduuuh, nyeriii... " Rintih Ayah Madroy di dalam kamarnya sambil ditemani Umi Santi sang istri tercinta. Dengan rasa sabar, sang istri mengobati bengkak-bengkak di wajah dan ditangan Ayah Madroy dengan penuh telaten.

" Aduuuh, pelan pelan atuh miii." Jerit Ayah Madroy kesakitan, ketika sang istri begitu asik menyapu bengkak diwajah si ayah dengan minyak angin. Mamang Gurepes dan Jul tertawa terkekeh-kekeh melihat Ayah Madroy menjerit-jerit kesakitan. Kata mereka, esok hari berarti hari bebas dari tugas yang menyebalkan. Paling tidak Ayah Madroy dua sampai tiga hari tak akan turun ke kebon dulu, menunggu bengkak-bengkak di wajah dan ditangannya sembuh. Dasar anak dan cucu bedebah. Melihat sang ayah sekaligus sang kakek merintih kesakitan, mereka malah tertawa senang.