Oke, akting di depan mama yang terlihat sok tegar itu berhasil, tapi malamnya Angela benar-benar mati kutu sendirian di rumah. Ia sudah memilih tidur dengan lampu menyala, dan masih saja ketakutan. Akhirnya ia memilih mendengarkan musik sampai larut malam, tak berhasil juga melenyapkan kecemasannya. Padahal bukan pertama kalinya ia ditinggal sendirian di rumah. Ia lalu mengobrol dengan Andrei melalui pesan chat, mengobrol sampai ketiduran menjelang subuh. Pagi-pagi, ia bangun dengan gelagapan lalu datang ke sekolah tanpa sarapan dan mata panda.
Bodoh!
"Nih, buat lo, Rein."
Angela menyodorkan sebungkus roti pizza yang dibelinya di toko roti dekat rumahnya. Andrei, yang tampak sama kuyunya langsung menyambarnya dan dalam sekejap satu gigitan besar sudah berpindah ke mulutnya.
"Keterlaluan lo, La." Andrei berkata dengan mulut penuh. "Gue jadi begadang."
"Sorry." Angela meringis. "Gue nggak bisa tidur soalnya."
Mereka duduk di bangku masing-masing, mengantuk, namun dengan mulut sibuk mengunyah. Bel sebentar lagi berdering. Angela telah menghabiskan rotinya dan duduk dengan satu kepala ditopang lengannya. Sedetik kemudian, Andrei yang masih sibuk makan terlonjak mendengar suara debam keras dari sebelahnya dan jeritan Angela.
"Adududuhhh…."
Suara tawa terdengar di sekitar mereka, sementara Angela menegakkan tubuhnya sambil sibuk mengusap dahinya yang tadi membentur meja, ketiduran tanpa sengaja. Andrei berdecak, mengulurkan tangan dan membantunya mengusap dahinya.
"Bego. Lihat tuh, merah. Benjol jidat lo, La."
"Sakit, Rein."
"Kenapa manggil gue 'Rein'? Lagi cerah tahu."
"Suasana hati gue yang gloomy. Makanya…"
"Gloomy kenapa?"
Angela menggeleng, menyingkirkan tangan Andrei dari dahinya, lalu menelungkupkan wajahnya di lipatan lengannya, masih meringis kesakitan.
"Eh, kuncir keledai. Kenapa lo?" Suara Roni mendadak terdengar di telinga Angela, lalu Angela merasakan kuncirnya ditarik.
"Ronnnn….!" Angela memekik dengan suara teredam.
"Kenapa dia, Rei?" tanya Roni cekikikan, masih dengan iseng menarik kuncir Angela, sementara gadis itu menggapai udara untuk menemukan tangan Roni, masih sambil menyembunyikan wajahnya.
"Kejedot meja sampe benjol." Andrei menjawab. "Bego."
"Mana? Coba gue lihat, La."
"Nggak!"
"Hih, galaknyaaa…. Segede apa benjol lo? Mana?"
Angela menemukan tangan Roni dan dengan kuat dicubitnya hingga membuat lelaki itu mengaduh kesakitan.
"Sakit!"
"Biarin! Biar biru-biru sekalian!"
"Heh, udah!" Andrei melerai mereka, melepaskan tangan Roni dari cubitan Angela. "La, sini gue lihat."
"Nggak mau!"
"Sepanjang pelajaran lo mau kayak gini terus?" Andrei menyingkirkan lengan Angela, lalu memaksanya mengangkat wajah. Seringai jahilnya berganti keheranan saat melihat wajah Angela yang basah. "Kenapa nangis? Hei!"
Andrei tak membiarkannya bersembunyi lagi dan menangkup wajahnya dengan kedua tangan, mengamati baik-baik. Roni yang duduk di dekat mereka bersuit nyaring.
"Nggak apa-apa." Angela melepaskan tangan Andrei dari wajahnya. "Sakit aja."
"Mana benjol? Yang ini?" Roni tanpa basa basi menyentil dahi Angela yang merah, membuat gadis itu menjerit kesakitan.
"Ron!" Andrei menegurnya. Roni tertawa keras melihat reaksi Angela.
"Lebay lo, La."
"Ada apa, La?" tanya Andrei. "Lo nggak mungkin nangis cuma gara-gara benjol segede upil itu. Ayo, jujur sama gue."
"Emang karena ini, Rein. Nggak usah berasumsi deh!"
"Bohong."
"Gue lagi PMS!"
Jawaban Angela membuat Andrei mengangkat alis, terlihat memaklumi. Ia lalu menjauh sambil menggelengkan kepala. Angela melengos dan memperbaiki posisi duduknya, menepiskan kembali tangan Roni yang mampir di kuncirnya untuk terakhir kalinya. Bel masuk berdering nyaring di koridor diikuti desahan kesal semua mulut yang ada di kelas.
"Pantesan aja." Angela menoleh saat mendengar Andrei bergumam. "Jangan lama-lama galaknya, La. Jangan cengeng juga. Bisa serangan jantung gue ngeliat tingkah ajaib lo."
Angela tak menjawab. Bukan sepenuhnya urusan Andrei lagi untuk tahu apa yang terjadi padanya. Andrei yang mencemaskannya adalah hal yang tak diinginkannya saat ini, karena lelaki itu sudah menjadi milik orang lain.
***
"Asyik banget lo, La."
Karina mendatangi Angela yang tengah duduk di bangkunya sambil menulis di jurnalnya. Angela meliriknya dengan enggan, masih teringat kelakuan Karina kemarin yang menjudesinya seharian.
"Asyik kenapa, Rin?"
"Duduk deket Roni dan Andrei." Karina mendesah dibuat-buat, lalu melempar rambut ikal panjangnya ke punggung. "Mau tukar sama gue?"
Angela menutup jurnalnya dan memasukkannya ke dalam tas, mengernyit.
"Lo lagi mengincar siapa? Roni lagi?" tanya Angela heran.
Karina, si cewek most-wanted di sekolah mereka, dengan tubuh tinggi langsing dan kulit pucatnya, rambut ikal panjangnya, wajah cantiknya, dan kecerdasannya, masih saja berupaya mengejar Roni yang pernah menolaknya dua kali. Bukan tanpa alasan Karina sampai mengejarnya setengah mampus. Roni memang tampan, dengan statusnya sebagai kapten tim basket dan senyumnya yang memikat, belum lagi prestasi akademisnya yang lumayan. Dia sama seperti Andrei, yang jadi atlet renang sekolah, termasuk jajaran selebriti sekolah yang punya fans tersendiri.
"Maunya." Karina mengerutkan bibir, lalu beberapa detik kemudian ia mendadak tersenyum ceria. "Eh, lo udah lihat Pak Valdy belum?"
"Siapa tuh?" tanya Angela bingung.
"Guru olahraga baru kita, Laaa. Cakep. Asli. Kayak oppa Korea. Besok kita olahraga dan lo bisa lihat secakep apa orangnya! Nah, gue mau lo perhatiin, lebih pantas mana untuk gue. Roni atau Pak Valdy? Sama-sama cool, misterius, bikin degdegan."
Roni? Cool? Bikin degdegan? Iya sih, degdegan untuk menganiayanya sampai terkapar saking menyebalkannya tingkah cowok itu, Angela membatin jengkel.
"Oke, Rin. Gue harus lihat langsung orangnya. Tapi… Kenapa gue nggak pernah melihat Pak Valdy itu dimana-mana? Habis ngajar dia langsung cabut, gitu?" tanya Angela penasaran.
"Ya, dia kan cuma kontrak, bukan guru tetap. Habis ngajar langsung pulang."
"Bu Nindy juga guru kontrak, tapi ngajar sampai siang."
"Yah, mungkin karena Pak Valdy ngajar olga doang."
"Oh." Angela manggut-manggut. Detik berikutnya ia merunduk di atas bangkunya untuk menghindari pesawat kertas yang menukik ke arahnya. Lagi-lagi….
"Ron! Jidat gue kena lagi!" Ia membungkuk untuk mengambil pesawat kertas yang dilempar Roni tadi, lalu dengan bernafsu menerbangkannya hingga berputar di udara dan menabrak kepala Roni di depan kelas. "Strike!"
"Lagi, La!" Roni menerbangkannya lagi. Karina mengawasi kelakuan mereka berdua dengan tampang masam. "Awas!" Roni tertawa cekikikan melihat pesawat itu menabrak pipi Angela.
"Ini lo sebut cool dan misterius, Rin?" tanya Angela sambil melempar kembali pesawat itu ke udara. "Menurut gue enggak deh!"
"Karena lo nggak lihat sisi lainnya, La. Lo kan nggak peka."
"Peka gimana?"
"Ya lihat aja kelakuan lo, masih kayak bocah, masih suka main. Emang lo bisa naksir ke cowok? Bisa punya rasa ke cowok dengan kelakuan lo yang kayak gini? Elo, dikelilingi cowok-cowok keren selama ini. Masa sih nggak ada satupun yang bikin lo jatuh cinta? Lo menyia-nyiakan kesempatan tahu nggak? Bego emang!"
Karina melengos pergi dengan angkuh. Angela membeku di tempat duduknya dengan tangan terkepal, tak bergerak saat pesawat kertas tadi menabrak pipinya kembali.
Aku jatuh cinta kok, batinnya sedih. Tapi, nggak usah dibilang-bilang ke orangnya. Persahabatan mereka nanti jadi taruhannya. Lebih baik diam dan pendam saja, sampai rasa itu jadi basi dan lenyap dengan sendirinya.
***