"Baik mah. Aku mengerti." Ujar Arata menjawab perkataan sang ibu dari seberang telepon.
"Kamu jangan hanya mengatakan mengerti. Kamu harus benar-benar menjalani kencan buta dengan benar, Arata!"
Arata menganggukan kepalanya, meski dirinya tahu jika sang ibu sama sekali tidak dapat melihat dirinya menganggukan kepala.
"Aku sudah melakukannya dengan benar. Hanya saja mereka langsung pergi setelah mendengar tentang pekerjaan aku." Bela Arata yang tidak ingin disalahkan oleh sang ibu.
"Kenapa begitu? Mereka menyetujui kencan buta dengan mu karena menerima dengan sangat baik pekerjaan yang sedang kamu geluti saat ini."
Arata mengangkat kedua bahunya acuh. "Aku tidak tahu, bahkan mereka mengatakan jika aku ini pembohong dan penipu. Padahal aku mengatakan dengan jujur tentang pekerjaan ku."
"Astaga, ada apa dengan perempuan jaman sekarang? Kenapa mereka menolak mu? Jelas-jelas pekerjaan mu itu sangat menguntungkan."
Arata yang saat ini berada di dalam minimarket dan sedang memilih bumbu masakan mengerutkan dahinya heran.
"Tunggu, memangnya apa yang ibu katakan pada mereka tentang pekerjaan ku saat ini?"
"Tentu saja aku mengatakan kepada mereka jika kamu adalah direktur utama perusahaan keluarga kita."
Arata menghela nafas panjang, meski dirinya sudah menduga jika sang ibu akan mengatakan hal seperti itu.
"Bu, aku kan hanya pekerja di cafe. Kenapa ibu harus bilang jika aku direktur utama? Aku belum menyetujui itu."
Terdengar suara decaakan dari seberang sambungan, Arata menjauhkan sedikit ponselnya saat sudah berada di meja kasir.
"Tsk! Cepat atau lambat kamu akan mengambil alih perusahaan itu. Tidak mungkin kami memberikannya pada kakak perempuan mu. Suaminya sudah memiliki perusahaan lain."
"Ya, ya, ya terserah ibu. Aku tidak akan pulang kerumah sampai aku ingin mengambil alih perusahaan dengan sendirinya."
"Kau ini. Dasar anak menyebalkan!"
Arata terkekeh pelan mendengar umpatan yang sang ibu layangkan kepadanya.
"Meski begitu, ibu tetap menyayangiku bukan?"
"Ya! Menyebalkannya kamu dan kakak mu adalah dua orang anak yang sangat aku sayangi!"
Arata menganggukan kepalanya saat sang kasir minimarket sudah selesai memasukan semua barang yang di belinya.
"Terimakasih, silahkan datang kembali."
"Kamu sedang di luar?"
"Ya, aku sedang membeli beberapa keperluan dapur."
Arata melangkahkan kakinya menyusuri trotoar jalan yang mengarah menuju rumahnya.
"Chi-chan kamu tinggal sendiri??!"
Arata sedikit menjauhkan ponselnya saat mendengar suara pekikan milik sang ibu.
"Tidak, Keiko malam ini menginap. Sepertinya dia bertengkar lagi dengan adiknya."
Suara helaan nafas terdengar dari seberang sana. "Syukurlah. Yasudah kalau begitu ibu sudahi dulu. Nanti jika ada pertemuan kencan buta lagi, ibu akan kabari."
"Hmm."
"Sampaikan salam ibu untuk Chi-chan dan Keiko."
"Ya baiklah. Selamat malam nyonya besar."
Arata langsung memutuskan sambungan begitu saja secara sepihak. Setelahnya dia memasukan ponsel kedalam saku celana trainingnya.
Baru saja Arata ingin berbelok melewati jalanan yang menuju kerumahnya, namun dia urungkan saat melihat siluet orang yang dirinya kenali tengah berjalan seorang pria paruh baya menuju sebuah jalan gelap yang jarang di lewati banyak orang.
"Naoki-kun?" Gumam Arata dengan sorot mata masih mengarah pada punggung orang yang sedang berjalan dengan seorang pria paruh baya.
"Bukan kah rumahnya tidak berada di daerah ini?" Gumam Arata lagi yang kali ini sambil berjalan mengikuti kemana sosok dua orang itu pergi, sampai akhirnya mereka berdua berhenti di sebuah perempatan yang sangat minim penerangan.
Arata yang tidak ingin keberadaannya diketahui pun memilih untuk bersembunyi di belakang sebuah mobil yang terparkir. Setidaknya dia berharap dapat mendengar percakapan kedua orang tersebut.
"Bagus sekali. Kamu memang anak kebanggaan ku!"
Arata dapat melihat dengan samar-samar sosok laki-laki yang dia yakini adalah Naoki memberikan sebuah amplop kepada pria paruh baya di hadapannya.
"Apa kamu yakin ini sudah semua total biaya beasiswa bulanan yang harus kamu terima dari kampus? Jika nominalnya berkurang dari bulan lalu, kamu akan tahu akibatnya."
"Tidak perlu khawatir, hari ini setelah menerimanya aku langsung memanggilmu."
Dugaan Arata benar, jika laki-laki yang bersama pria paruh baya itu adalah Naoki.
"Tapi tidak biasanya kamu mengajak bertemu di tempat lain? Apa kamu takut ayah kandung mu ini akan mengetahui rumah dan pekerjaan baru mu, huh?"
Arata tidak mendengar respon apa-apa dari Naoki. Dari penglihatannya pun Naoki tidak melakukan pergerakan apapun.
"Baiklah baiklah, selama kamu tidak mengambil uang bagian ku, aku tidak akan mengacau lagi di rumah ataupun tempat kerja mu seperti bulan lalu."
Setelahnya Arata dapat melihat pria paruh baya itu berjalan meninggalkan Naoki seorang diri dan tidak lama kemudian dirinya melihat Naoki memukul tembok di dekatnya dengan begitu kencang.
Arata sampai meringis melihatnya. Tapi dirinya tidak berniat untuk kelar dari persembunyiannya dan membuat Naoki menyadari jika sedari tadi dirinya ikut mendengarkan pembicaraan rahasa itu.
***
Keiko yang sedang menyusun gelas-gelas di atas meja menghela nafas melihat sang bos sedari tadi berdiri dibelakang meja bar dengan sorot mata terus tertuju kepada Naoki yang sedang melayani salh seorang pelanggan.
"Bos, jika kamu tidak berniat membantu disini lebih baik kamu naik keruang kerja mu." Ucap Keiko sarkas sambil masih tetap menyusun gelas-gelas.
Arata yang di lontarkan perkataan sarkas oleh Keiko sama sekali tidak merasa tersinggung. Melainkan dirinya masih tetap fokus memperhatikan gerak-gerik Naoki.
"Kei, tidak kah kamu mengingat apa yang aku ceritakan semalam?" Tanya Arata yang membuat Keiko menghentikan aktivitasnya sebentar.
"Ya aku mengingatnya. Jika kamu penasaran, kenapa tidak kamu ajak dia ke ruang kerjamu dan lihat bagaimana cara dia mengobati lukanya." Jawab Keiko sambil melanjutkan aktivitasnya.
"Tapi, bukankah itu akan membuatnya curiga?" Tanya Arata tidak yakin dengan saran yang di berikan oleh Keiko.
"Hm, biarkan aku berfikir. Kalau tidak, bagaimana jika saat jam istirahat kamu pura-pura masuk ruang ganti staff? Dia pasti akan membuka sarung tangannya disana dan kamu bisa melihat dia membalut lukanya dengan benar atau tidak." Jawab Keiko lagi memberi saran.
Arata terdiam sesaat memikirkan saran yang diberikan Keiko. "Tapi, bagaimana jika dia tidak membuka sarung tangannya juga?"
Keiko merasakan sekarang ada sebuah perempatan kecil di pelipisnya.
"Ya kenapa kamu tidak menyuruh salah satu dari Nagisa-chan dan Akira-chan untuk berpura-pura tidak sengaja menumpahkan air pada sarung tangan milik Naoki? Dia pasti akan membukanya untuk melihat lukanya."
Ctak.
Arata menjetikan jarinya menyetujui saran yang diberikan oleh Keiko. "Kau benar! Aku akan memberikan intruksi pada mereka berdua sekarang!"
Keiko yang melihat Arata sudah pergi begitu saja meninggalkan dirinya hanya menggelengkan kepala. "Bahkan kau saja tidak tahu tangan sebelah mana yang terluka."
Sedangkan itu di tempat lain, Arata sudah memberika intruksi kepada Nagisa dan Akira untuk membasahi kedua sarung tangan miliki Naoki bagaimana pun caranya. Nagisa dan Akira hanya menganggukan kepala mereka menyetujui apa yang dikatakan oleh sang Bos. Meski mereka tidak mengetahui apa tujuan dan motif sang bos yang menyuruh mereka untuk melakukan hal itu.