Kohaku mengusap air matanya, ia berdiam di samping sumur. Kembali memompa agar airnya keluar dan mengisi ember kayu yang saat ini ada di bawah mulut corong sumur.
Ia terus tenggelam dalam pikiran-pikiran kalutnya. Tentang kebodohan luar biasa yang Kanae dan Takahiro lakukan semalam. Membayangkan bagaimana mereka melewati malam panjang mereka berdua, berbagi futon yang sama, berbagi nafas dalam cumbuan yang menenggelamkan mereka berdua. Semua pikiran itu membuatnya marah.
Kanae bukan lagi gadis polos yang ia sayangi, Kanae bukan miliknya lagi.
Ia kembali terisak. Perasaan kecewa yang saat ini terasa begitu menyesakkan dadanya. Ia telah kehilangan, meski Kanae masih di sini. Tapi ia sudah tak memiliki harapan!
Kohaku membenturkan kepalanya pada pengungkit sumur pompa air di hadapannya. Berulang-ulang, semakin keras, semakin kuat, hingga memar menghiasi dahinya tapi tak membuatnya berhenti. Ia terus membenturkannya luka memar di dahinya kini terbuka, mengeluarkan darah.