Pagi yang tidak begitu cerah, tetapi burung-burung berkicau dihalaman belakang rumah. Embun pagi telah membasahi tumbuhan juga rerumputan ditambah jalanan yang basah karena bekas hujan semalam.
Laura terbangun dengan kondisi kepala berat, ia merasa sedikit pusing. Dan juga hidung yang tersumbat sehingga ia mengalami flu. Namun Laura memaksakan dirinya untuk pergi ke sekolah. Dengan memakai jaket juga masker untuk menutupi hidungnya yang terkena flu.
Setibanya dikelas, Laura disambut oleh Melani yang langsung mengajukan beberapa pertanyaan padanya. "Laura, elo kemana aja? Gue khawatir sama elo?" tanyanya antusias.
"Halah, bulshit elo!" cibir Nadin.
"Kemarin gue sama Rafa cari elo sampai ke taman pusat kota." lanjutnya yang membuat Laura sedikit terkejut seraya duduk dikursi miliknya. "Tapi elo nya udah bareng Rafi."
Laura masih bungkam dan tak ingin merespon ucapan Melani. "Apa? Rafa juga mencari gue? Tapi kenapa harus bareng dia?" pikirnya penasaran.
"Gue minta maaf ya, gue gak tahu kalau kejadiannya akan seperti ini." ucap Melani membual. "Gue udah bilang ke semua orang, kalau elo itu gak bersalah."
"Heh, Watermelon! Elo tuh gak usah dekat-dekat sama Laura deh." ketus Nadin lagi yang kesal dan muak mendengar semua ocehannya.
"Apa sih? Heh, gue lagi bicara sama Laura ya. Bukan sama elo."
Rasa pusing dikepala Laura pun semakin berat mendengar perdebatan antara Melani dan Nadin. Terlihat Laura memegang kepalanya. Nadin pun auto panik. "Ra, elo kenapa? Sini, biar gue antar ke ruang UKS." ucapnya sambil membantu Laura berdiri dan berjalan. Mereka berdua pun berlalu pergi.
Melani yang merasa terabaikan sedikit kesal. Laura sama sekali tidak respect padanya. Padahal dirinya sudah berbicara panjang lebar agar dapat perhatian darinya. "Sabar Melani, sabar." gumamnya pelan. "Setidaknya gue sudah membuat dia sedikit cemburu."
***
Sepeninggalnya Nadin dari ruang UKS, Laura berbaring diranjang pasien dan memejamkan matanya sejenak.
Satu jam kemudian, Laura sudah merasa lebih baik usai tidur dan memakan obat. Ia beranjak dari ruang kesehatan, lalu pergi ke toilet terlebih dahulu sebelum masuk kelas.
"Laura?" ucap Melani yang sudah berada ditoilet lebih dulu. "Gimana, udah baikan?" tanyanya yang hanya mendapat sedikit anggukan dari Laura. "Syukur deh."
Selesai mencuci tangan, Laura lekas keluar. Tetapi langkahnya terhenti saat Melani memanggil namanya kembali. "Tunggu Laura!" ucapnya. Laura pun berhenti melangkah tanpa menolehnya. "Apa, elo asli orang sini?" tanyanya lagi.
Lalu Laura membalikkan badannya dan menatap mata Melani seraya melipat kedua tangannya didepan dada. "Apa urusan elo menanyakan hal itu?" tanya balik Laura.
"Oh, tidak!" timpal Melani sedikit kaget melihat tatapan mata Laura yang tajam. "Tidak apa-apa. Gue cuma lagi rindu sama teman lama gue. Soalnya dia mirip banget sama elo." alibinya. "Dia pernah tinggal di kota Bekasi dan satu SMP bareng gue." ungkapnya.
Pernyataan Melani sedikit membuat Laura tersentak dan membulatkan matanya. "Sudah gue duga." umpatnya dalam hati. Namun Laura mencoba tetap tenang.
"Nama dia Lara Sidqia, sayangnya penampilan dia berbeda dengan elo." jelasnya lagi. "Rambut dia panjang dan suka dikepang dua. Dia juga suka pakai kacamata bulat. Aahh, gue jadi rindu." ucap Melani lebay.
Dengan mimik wajah yang terlihat sombong, Laura tersenyum sinis. "Didunia ini ada jutaan bahkan miliyaran manusia yang diciptakan. Wajar saja jika gue mirip sama teman elo itu." tukas Laura. "Lagian, kalau disatukan mungkin ada banyak Laura atau siapa tadi ? Larva ya? Oh bukan, Lara."
"Sial! Dia memang betul-betul berbeda dengan Lara." rutuk Melani dalam hati.
"Apa ada pertanyaan lain?" tanya Laura datar. "Kalau tidak, gue pergi dulu."
***
Laura merasa lega bisa bertindak seperti itu dihadapan Melani. Meskipun jantungnya berdegup sangat kencang seperti marching band sedang perform.
Tetapi dalam hati, Laura menyadari sesuatu. Ia tahu bahwa ini tidak akan lama. Suatu saat semuanya akan terbongkar. Dan ia juga tahu, seberapa lama ia menyembunyikan bangkai, tetap saja seseorang akan berhasil mencium bau busuknya dan menemukannya.
Laura memang sedang menyembunyikan sesuatu dari semua orang. Namun dirinya belum cukup berani untuk mengatakan sesuatu sebagai kebenaran. Terutama pada orang tuanya. Ia tidak punya cukup nyali, karena resiko yang menurutnya sangat berat.
Sesaat setelah dari toilet, tiba-tiba tangan Laura ditarik oleh seseorang dan dibawa naik ke rooftop saat berjalan menuju kelasnya.
"Apa-apaan sih, Fi? Apa elo gak bisa ajak gue secara baik-baik?" tanyanya kesal. Rafi hanya diam mematung. Tetapi sorot matanya yang tajam terus menatap wajah Laura. "Fi, elo kenapa?" tanyanya lagi heran.
"Gue dengar semuanya." ucap Rafi datar.
"Hah? Maksud elo?" Laura pun hanya mengerutkan keningnya, tak paham apa yang dikatakan oleh Rafi.
"Gue dengar pembicaraan elo sama Melani." kata Rafi lagi. Sontak Laura sangat terkejut, ia pun tak tahu harus berkata jujur atau mengelak dihadapan Rafi. "Jawab gue, Laura! Apa yang dimaksud elo itu, soal Lara?" Pertanyaan Rafi sontak membuat Laura bungkam dan terdiam. "JAWAB!" bentaknya.
"Iya." jawab Laura singkat dan pasrah.
"Apa Lara itu, adalah elo?"
"Iya. Lara itu gue. Lara Sidqia adalah nama gue yang sebenarnya." ungkap Laura dengan nada meninggi.
"Jadi, selama ini ?"
"Gue berbohong dengan identitas gue." kata Laura jujur. "Sebenarnya, Laura adalah nama saudara kembar gue yang meninggal dua tahun lalu. Waktu itu....
**Flashback Dua Tahun Yang Lalu**
"Adek, ayok kita main ke sungai." ajak Laura.
"Jangan kakak, nanti kita terjatuh." bantah Lara. "Apalagi kita kan gak bisa berenang." ujarnya.
"Gak papa dek, sebentar aja." Laura pun menarik tangan Lara dan berjalan mendekati sungai.
Lara melihat sebuah gelang yang melingkar dipergelangan tangan kakaknya. "Tunggu kak!" ucapnya. "Gelang kakak bagus."
"Kamu mau?"
"Mau banget kak." Seketika Laura melepas gelang tersebut dan memakaikan nya pada tangan sang adik. "Wah, lucu banget."
"Ayok cepat! Keburu papah manggil kita." Mereka berdua pun segera mendekati sungai dan duduk diatas batu dengan menjulurkan kedua kaki mereka sampai menyentuh air sungai.
Setelah puas bermain, mereka berniat untuk pulang.
Tetapi saat Lara hendak berdiri, ia terpeleset dan jatuh kesungai. Laura pun panik dan segera menolongnya dengan menarik tangan Lara. Namun sayang, Laura pun tak bisa menariknya sehingga ia ikut terjatuh ke dalam sungai.
Mereka berteriak meminta pertolongan. Untung saja, Gilang mendengarnya dan segera bergegas pergi ke sungai yang memang berada didekat rumahnya.
Tapi Gilang merasa bingung, bagaimana cara menyelamatkan keduanya? Sedangkan ia hanya seorang diri. Tak mungkin ia menarik mereka secara bersamaan.
"Laura! Lara! Pegang tangan papah sayang." teriaknya. Gilang berhasil memegang tangan keduanya. Namun, ia tak kuat menarik keduanya seorang diri. "Ya Tuhan, bagaimana ini? Saya gak kuat menarik keduanya."
Gilang pun melihat gelang yang dipakai oleh salah satu anaknya yang dipikirnya itu adalah Laura. Dengan sangat terpaksa, Gilang melepas salah satu genggaman tangan anaknya. Lalu menolong anak yang memakai gelang terlebih dahulu. Setelahnya, baru menolong anak satunya lagi. Sayangnya, nyawa Laura tak tertolong.
**Flashback Off**
"Ada apa dengan om Gilang? Kenapa dia tertarik pada sebuah gelang?" tanya Rafi penasaran.
"Bokap memang lebih sayang pada kak Laura. Dia selalu saja membanding-bandingkan gue dengannya."
"Jadi, bokap lo berpikir kalau yang memakai gelang itu adalah Laura?"
"Iya. Saat gue tersadar, tubuh Laura sudah ditutupi oleh kain putih. Dan gue dengar percakapan bokap dengan nenek. Dia berkata pada nenek untuk mengikhlaskan kepergian Lara, dan dia juga berpikir bahwa kejadian ini disebabkan oleh Lara juga."
"Apa elo gak menjelaskan yang sebenarnya?"
"Gue berusaha untuk menjelaskannya, tapi bokap tak percaya karena gelang yang gue pakai."
"Lalu bagaimana dengan nenek elo?"
"Dia malah membenci gue, karena gue sering dibela bokap. Dari situ gue mulai berpikir, jika gue terus berusaha meyakinkan bahwa yang meninggal itu adalah Laura, gue adalah satu-satunya orang yang akan disalahkan dan lebih dibenci oleh bokap."
★★★★★