***
Keinginanku terkabul di kuil hari ini. Julukan sebagai bujangan sudah ku lepas sepenuhnya pada pagi hari yang sangat cerah. Hari di mana aku dan Anindya berjanji di depan pendeta dan Para Dewa Dewi untuk saling mencintai, melindungi, dan menghabiskan waktu bersama selama hidup kami.
Aku duduk di atas pelaminan dan tak pernah bosan memandangi wajah Anindya yang tersenyum malu saat digoda oleh teman-temannya yang berkumpul di tengah-tengah ruangan. Bibirku terus membentuk bulan sabit dan memandangnya dengan penuh cinta.
Jika sejak tadi teman-teman Anindya menggoda kalau dia sangat beruntung karena mendapatkan ku, berbeda lagi dengan ibu yang menggoda jika aku lah yang beruntung mendapatkan Anindya. Dan aku lebih setuju dengan godaan ibu dibanding teman-temannya.
Pertemuan pertama kami yang terkenang membuatku berubah. Dengan kurun waktu kurang dari satu malam, dia mampu mengubah dan membuat pria brengsek ini jatuh cinta, bahkan sampai menikahinya. Aku tersenyum saat dia berjalan mendekati pelaminan karena teman-temannya yang sudah pergi untuk menikmati pesta. Dia membalas senyumku, lalu duduk dan bertatapan dengan manik indahku.
"Semua orang mengatakan kalau aku beruntung mendapatkan mu."
Aku menggeleng, menyanggah ujaran dari orang-orang yang ditujukan pada Anindya. "Lalu menurutmu?" Daripada aku menyanggah, lebih baik aku mendengar apa yang dipikirkannya.
Dia menggenggam tanganku lebih dahulu dan disaksikan oleh para tamu di sana. Beberapa orang memandang kami untuk menunggu kelanjutannya. Tapi, sayang mereka tidak bisa mendengar apa yang Anindya ucapkan.
"Aku merasa kita sama-sama beruntung mendapatkan satu sama lain," ujar Anindya sambil menatap dan mengelus tanganku dengan lembut.
Aku dibuat terpana olehnya. Ku kira Anindya akan setuju dengan godaan ibu, tapi pemikirannya berbeda.
"Apa alasannya?" tanyaku pada Anindya. Sebuah pernyataan harus ada alasannya, bukan?
Dia mengerutkan kening, lalu tersenyum geli dan membuatku kebingungan. Memangnya ada yang lucu?
Dia menepuk punggungku dengan cukup kencang sambil terkekeh. Aku berani bersumpah, hanya dia dan ibu yang berani memukul seorang pangeran pewaris takhta.
"Tentu saja karena kita saling mencintai. Dan karena saling mencintai, kita sama-sama beruntung," jawab Anindya masih dengan kekehan kecilnya, "tidak ada yang dirugikan jika sepasang kekasih saling mencintai."
Hatiku menghangat. Aku tidak pernah salah pilih kekasih hidup.
Lihat, Ayah! Keputusanku untuk menikahi Anindya adalah kebenaran dan membuat kami bahagia.
***
Flashback satu minggu lalu
Ayah mengajakku berbicara di ruang kerjanya setelah pulang melamar dari rumah calon istriku.
Aku mengikutinya sampai di ruang kerja dan langsung bertanya pada ayah.
"Ada apa, Yah?"
Ku lihat ayah menatapku dengan serius sampai membuat tubuhku menegang.
"Kau serius ingin menikahi Anindya?"
Aku mengerutkan alis. Tentu saja setuju, aku kan sudah melamarnya hari ini.
"Aku melihat sihirnya tidak cukup kuat untuk mengandung calon pangeran yang akan mewarisi sihir kita," kata Ayah menatap dengan sedikit kesedihan yang terpancar. "Kau sudah kuat untuk menanggung resiko jika meneruskan pernikahan ini?"
Aku mengangguk mengiakan. Aku tahu bahwa Anindya kuat, sihirnya juga tidak selemah yang ayah pikirkan.
"Baiklah, kalau kau setuju. Aku tak mampu berbuat lebih jauh lagi karena kau sudah dewasa." Ayah keluar dari ruang kerja meninggalkan aku yang menatapnya sambil bergeming.
Ayah, apa yang sedang kau khawatirkan saat ini?
***
Satu bulan kemudian setelah menikah
Aku meletakkan pena bersulur hitam di atas meja sambil menatap terkejut pada pintu yang berada di depan sana.
Anindya?
Aku kehilangan kontak batin dengannya. Perasaanku langsung khawatir dan memilih untuk meninggalkan pekerjaan yang diberikan ayah untuk berteleportasi ke tempat terakhir sebelum batin kami terputus.
Sesampainya di tempat terakhir Anindya, aku menemukan para dayang yang berkerumun cukup ramai.
"Itu Pangeran Jahankara!"
Mereka sontak membungkuk padaku dan memberikan salah penghormatan.
"Ada apa ini?" tanyaku yang maju perlahan menghampiri kerumunan.
"Pangeran, Putri Anindya pingsan."
Deg!
Hatiku mencelos dan raut wajahku langsung berubah menjadi panik bukan main.
"S–sekarang ... dia ada di mana?" Aku gugup dengan tubuh yang sedikit gemetaran.
"Putri Anindya sudah dibawa oleh ratu, Pangeran."
Sontak saja aku langsung berteleportasi mengikuti aliran mana ibu yang berada di kamar tidurnya.
"Anindya!" pekikku saat sampai di kamar tidur ibu. Aku menghampiri Anindya yang berada di atas ranjang tergeletak tak sadarkan diri dengan beberapa tabib di sampingnya. Sementara ibu berdiri melihat para tabib bekerja dengan tatapan yang sulit ku artikan. "Ibu, Anindya kenapa?"
Ibu hanya menatapku dengan senang, bibirnya terkulum, tapi ada secercah kesedihan tersirat di dalam sana.
"Kau lebih tau apa yang terjadi pada istrimu."
Aku melihat Anindya, kemudian melihat ibu lagi. Aku naik ke ranjang dan menatap Anindya dengan khawatir. Beberapa tabib yang mengobatinya menjauh sementara karena perintah dari ibu.
Tatapanku terpaku pada perut ratanya. Mataku menelisik saat mendapatkan pergerakan campuran mana kami dan aku tak bisa berkata-kata lagi selain air mata kebahagiaan yang meluruh mewakili perasaanku.
Anindya, terima kasih kau telah memberikan banyak kebahagiaan padaku.
***
Dua bulan kemudian
Ku lihat Anindya masuk tergesa-gesa ke dalam ruang kerjaku dengan para dayang yang ikut berlari di belakangnya.
Dia mengatur napas saat berada di depanku sambil menunduk. Aku langsung berdiri menghampirinya dan membantu istriku untuk duduk di kursi tunggu. Namun, dia menolaknya.
"Bukan itu, Jahankara," tolaknya dengan tersengal-sengal.
Aku mengerutkan alis. Lalu apa yang diinginkannya sampai berlari ke kamarku dalam kondisi mengandung?
"Pokoknya cepat ke kamar ratu," titah Anindya mengibas-ngibaskan tangan padaku.
Aku mengikuti permohonan Anindya dalam keadaan masih bingung.
"Kau mau ikut tidak?"
Dia menggeleng dan menjawab, "Nanti akan menyusul, aku mau mengatur napas dulu."
Aku berdecak, kemudian ikut membawanya teleportasi bersama ke kamar ibu.
Sesampainya di kamar ibu, aku dan Anindya sama-sama tercengang melihat banyak orang yang sudah berada di sana. Aku melihat ayah yang memangku ibu sambil menangis tiada henti.
"Anindya, apa ini?" tanyaku menatap lurus ke arah ayah dan ibu dengan tubuh menegang.
Aku melirik pada Anindya yang menutup mulutnya dengan wajah terkejut pula.
"A–aku juga tidak tau. Se–sebelum ke ruang kerjamu, aku ha–hanya diminta oleh raja dan perdana menteri untuk memanggilmu ke kamar ratu."
Aku langsung berlari menghampiri ayah dan ibu dengan tangis yang pecah sambil menciumi tubuh ibu yang mulai membiru.
Hari itu, ibu terkena serangan jantung. Ibu benar-benar meninggalkanku setelah mendapatkan kebahagiaan berupa istri dan anak.
Hari itu adalah hari kehancuran bagiku dan ayah untuk pertama kalinya.
***
Tiga hari kemudian setelah ibu meninggal
"Apa? Kenapa Ayah mengambil keputusan seperti itu?" Mataku melotot dengan tubuh gemetar menahan amarah.
Tidak! Aku tidak ingin kehilangan keluargaku lagi!
Ayah menatapku dengan tatapan sendu, kemudian berubah menjadi kosong.
"Ayah, jangan lakukan itu!"
Ayah menggeleng sambil tersenyum tipis. "Itu adalah pilihan, Nak. Kau harus mengerti. Jika salah satu dari pasangan meninggal, maka ada dua pilihan : Bergabung dengannya atau mengembara meninggalkan hal duniawi." Ayah menelan saliva dengan berat. "Aku tidak akan memilih hal ke dua karena duniaku sudah hilang. Aku ingin bersatu lagi bersamanya, tolong mengerti Ayah."
Persetan dengan pilihan yang ditetapkan Para Dewa dan Dewi itu!
Aku tidak mau Ayah meninggalkanku! Cukup ibu, jangan ayah juga!
"Aku tidak mau! Aku tidak mau Ayah meninggalkanku!" Aku mengepalkan tangan dengan napas memburu menatap ayah.
Pria yang memakai baju serba putih itu menatapku sambil tersenyum.
Jangan tersenyum! Aku benci kau tersenyum! Kau seperti mengejekku! Kau mengejekku kalau aku tidak bisa ikut bersama kalian, kan?!
Dia seolah tuli dengan semua larangan dariku. Tubuhnya perlahan memuai menjadi cahaya yang berterbangan di balkon kamar utama Istana Gading.
"AYAAAAHHH!!" Aku berlari ke arahnya, berusaha menghentikan ritual penyatuan dirinya pada mendiang ibu.
"AYAH! APA YANG KAU LAKUKAN?!" Aku menggenggam setengah tubuhnya yang belum memuai dengan napas memburu. Sihirku keluar untuk menghentikannya, tapi tak ada yang bisa ku hentikan.
Ayah menghilang.
Aku terduduk lemas dengan tatapan kosong. Air mataku meluruh tanpa isakan. Dadaku naik turun menahan emosi yang bercampur.
"Jahankara!" Dengan mata yang dipenuhi air, samar-samar aku bisa melihat Anindya menghampiriku sambil berlari. Mungkin dia mendengar teriakan dari kamar utama di Istana Gading. Dia memelukku dengan erat dan aku menumpahkan kesedihan di ceruk lehernya.
"Anindya ... mereka jahat! Mereka meninggalkan ku," aduku dengan terisak-isak. Anindya hanya mengelus kepalaku, ku rasakan dia mengangguk mengerti.
"Ayah pergi tanpa meninggalkan apapun, Anindya." Aku menggeleng dalam pelukannya dan lagi-lagi dia memenangkan ku.
Dia mengucap puncak kepalaku. Dia tak memintaku untuk menghentikan tangis.
"Tidak apa-apa, aku ada di sini untukmu."
***
Berita ayah yang melakukan ritual penyatuan diri dengan ibu tersebar seperti virus di Mahaphraya. Keadaan yang sedang berduka, membuat istana dan sekitarnya bertambah duka dan suram, tak terkecuali diriku.
Kantung mataku menghitam dan membengkak. Bibirku yang biasanya merekah, berubah menjadi pucat seperti orang sakit. Anindya membantuku memakai pakaian kebesaran Mahaphraya dalam diam.
"Sudah." Dia mundur beberapa langkah melihat aku yang pasti terlihat berkali-kali lebih tampan dan gagah, namun terlihat rapuh juga.
"Kau lebih tampan saat tersenyum. Ayo tersenyum," kata dia dengan senyum tipis.
Oh, ayolah sayang ... bagaimana aku bisa tersenyum jika keadaannya sedang berduka seperti ini?
Namun, Anindya memang afeksi terbesarku. Pikiranku menolak untuk melakukannya, tapi bibirku merekah untuk menuruti perintahnya. Dia tersenyum puas menatap senyum pertama kaliku sejak ibu dan ayah meninggal.
"Ayo, pergi ke aula utama. Mereka semua sudah menunggu kita," ajak Anindya menggenggam erat tanganku. Aku menarik tangannya dan memeluknya dengan erat, tapi masih menjaga jarak agar bayi kami aman.
"Ada apa ini?"
"Berjanjilah padaku setelah kita menjadi raja dan ratu mulai hari ini, kau akan selalu ada untukku."
Dia menengadah, lalu sedikit berjinjit dan mengecup sekilas bibirku.
"Aku berjanji, Yang Mulia."
***
Lima bulan kemudian
Anindya datang ke ruang kerjaku ditemani dengan para dayang. Perutnya yang sudah membuncit, tidak menghentikan semangatnya untuk bertemu denganku. Aku langsung menghentikan pekerjaan dan membantunya untuk duduk di kursi khusus untuknya.
"Kenapa tidak memanggilku saja?"
Dia menggeleng sambil bersandar pada kursi yang ku pesan khusus dari Caledonia. Dia memang seperti ini, bandel dan tak pernah menuruti ucapanku.
"Aku maunya menghampiri dan melihat wajah tampan kau."
Aku tersenyum, sedetik kemudian aku tersadar ada yang aneh dengan istriku. Kenapa wajah Anindya terlihat lebih pucat?
Aku memegang dahi, leher, kemudian lengannya. Semua tubuhnya yang ku periksa berkeringat dingin.
"Anindya, kau sakit?" tanyaku bersiap untuk membopongnya ke kamar.
Dia menggeleng, menahan tanganku. "Tidak, aku tidak sakit. Dia ... Gasendra akan segera datang di antara kita."
Tepat saat Anindya berkata seperti itu, dia mengerang hebat di atas kursi.
Dan aku? Aku panik seketika dengan raut wajah kebingungan.
Gila! Istriku melahirkan bayi kami di atas kursi favoritnya!
———
1639 kata. Padahal cuma cuplikan longkap-longkap doang hahaha :D