———
Selamat Bulan Februari^^
Semoga bulan ini lebih baik daripada bulan kemarin~
***
Happy Reading, All!
***
Dua orang prajurit kepercayaan Balges memasuki ruang kerja Jahankara dengan membawa surat-surat laporan selama misi yang berlangsung di Urdapalay.
Mata mereka langsung menemukan sang raja yang sibuk mengurus laporan lain untuk diperiksa dan ditanda tangani. Seperti biasa, Jahankara selalu sendiri di dalam ruangan yang sangat besar itu. Menghabiskan berpuluh-puluh tahunnya di dalam sana semenjak sang ratu meninggal.
Jahankara tak menghentikan kegiatannya walaupun tahu ada dua prajurit yang sudah berada di depannya untuk melapor. Di dalam hati, dia bertanya-tanya kemana Gasendra dan Balges? Kenapa bukan mereka yang melapor?
"Semoga keberkahan dan keselamatan selalu diberikan oleh Para Dewa dan Dewi untuk anda, Raja Agung Mahaphraya, Yang Mulia Jahankara."
"Ya, letakkan saja di atas sana," kata Jahankara menunjuk sisi kosong di mejanya. Dua prajurit itu langsung meletakkan surat laporan sesuai dengan tempat yang diperintahkan oleh sang raja.
Kini meja Jahankara penuh dengan surat laporan dan pajak yang bertumpuk sampai membuat matanya sakit hanya dengan melihat saja.
Dua prajurit itu masih berdiri di hadapan Jahankara sambil melirik satu sama lain. Mereka menunggu saat yang tepat untuk memberikan tiga surat penting lainnya dari Pangeran Gasendra yang harus diterima langsung oleh raja. Jika tidak diterima langsung, maka nyawa lah taruhannya.
"Ada apa? Kenapa tidak langsung pergi?" tanya Jahankara tanpa melihat wajah mereka.
"Berikan saja," bisik salah satu prajurit pada temannya. Temannya itu mengangguk, lalu maju dan memberikan tiga surat penting itu pada Jahankara.
Jahankara menghentikan kegiatan saat melirik tiga surat yang diikat dengan benang, berada di atas mejanya. Dia mendongak dan bertanya, "Apa ini?"
Prajurit itu menunduk, lalu menjawab, "Maafkan hamba, Yang Mulia. Pangeran Gasendra menitipkannya pada kami dan harus langsung diterima oleh anda."
"Anak itu menitipkan laporan sepenting ini?" Jahankara mengangkat pena tulisnya sambil menatap prajurit itu, "kemana dia?"
Sontak prajurit itu langsung menunduk dan berkata, "Maaf, Yang Mulia. Kata Pangeran, semuanya ada di dalam surat itu."
Jahankara meletakkan pena bersulur itu di tempatnya, kemudian menopang kepala sambil menatap dingin pada pria di hadapannya.
"Aku rajanya."
Dua prajurit itu langsung berlutut sambil menunduk ketakutan. Situasi mereka saat ini jadi serba salah. Mereka harus mematuhi perintah dari Gasendra, namun juga harus mematuhi peringatan dari Jahankara.
"Tidak mau menjawab?" tanya Jahankara, kemudian dia menghela napas dan mengambil tiga surat penting yang dititipkan langsung untuknya.
"Apa anak itu mengancam akan membunuh kalian jika buka mulut?"
Dua prajurit itu hanya diam sebagai jawaban tersirat dari mereka. Jahankara pun mengangguk-anggukan kepala paham dan mengerti dengan keadaan.
"Kembalilah ke barak dan istirahatlah! Aku tau kalian lelah setelah berperang hampir satu bulan." Jahankara mengibas-ibaskan tangan untuk mengusir keberadaan dua prajurit yang masih berlutut.
Dua prajurit itu saling menatap, kemudian mengangguk dan berdiri. Mereka menyampirkan tangan sambil menundukkan kepala.
"Semoga keberkahan dan keselamatan selalu diberikan oleh Para Dewa dan Dewi untuk anda, Raja Agung Mahaphraya, Yang Mulia Jahankara," pamit mereka, kemudian melenggang keluar dari ruang kerja Jahankara dengan hormat.
Setelah memastikan dua prajurit tersebut keluar, Jahankara melirik tiga surat yang diikat oleh benang putih, kemudian membukanya satu persatu.
"Cuti untuk Eros?" Jahankara bertanya-tanya dengan judul surat yang dibukanya pertama kali. Setelah membaca keseluruhan isi surat, dia mengambil cap resmi milik kerajaan, lalu dibubuhkannya di atas kertas.
Dia membuka surat ke dua yang berisi kenaikan jabatan dan tanda jasa bagi nama-nama yang tertera di dalam surat. Jahankara mengangguk setuju, karena memang setelah peperangan atau pemberontakan, pasti ada kenaikan jabatan dan tanda jasa. Dia langsung membubuhkan capnya di atas sana.
Kini giliran surat terakhir yang dia buka. Baru saja membaca judulnya, urat-urat mata dan leher Jahankara sudah menegang sampai dia langsung berdiri dan meninggalkan ruang kerja menuju kamar pribadi.
***
Suara decapan dan geraman rendah terdengar memenuhi telinga dua insan yang duduk di atas batu. Sitar yang berada di pangkuan Gasendra seakan tidak mengganggu aktivitas dewasa yang dilakukan oleh keduanya. Pantulan sinar matahari yang akan tenggelam menambah kesan romantis tercipta di taman pribadi Arunika.
Baik dari pihak perempuan maupun pria, mereka sama-sama menikmati kelembutan yang membelai secara perlahan. Menyicip dan membelai satu sama lain sampai oksigen yang berada di sekitar habis, kemudian melepaskan pagutan lembut tersebut dan menempelkan kening dengan napas yang memburu.
"Apa boleh seperti ini?" cicit Arunika memecah kesunyian yang tercipta di antara dua insan yang sedang jatuh cinta.
Gasendra terkekeh kecil sambil membenarkan rambut Arunika yang berantakan karena ulahnya.
"Kita sudah melakukannya, Arunika."
"Hmm, iya." Tatapannya terpaku pada dua kancing teratas Gasendra yang terbuka. Dia menunduk malu sambil menyembunyikan rona merah yang muncul di pipi.
Apa itu hasil perbuatannya tadi?
Oh, astaga ... kenapa dia jadi liar begini?
Uhh, hancur sudah citra polos yang diberi tahukan oleh Ayahnya selama ini pada pangeran.
Arunika memundurkan tubuh ke posisi semula. Dia tak lagi menempelkan kening pada Gasendra dan bungkam sambil memainkan kuku panjangnya.
"Ada apa, Arunika?"
Gadis itu melirik sekilas pada Gasendra, kemudian menghela napas panjang. Melihat itu, membuat Gasendra bertanya-tanya perihal suasana hati Arunika.
"Jika saya menikah dengan Pangeran ... itu artinya, saya harus tinggal di istana, kan?"
'Oh, ini yang dikhawatirkannya ....'
Gasendra mengangguk seraya tersenyum simpul. "Ya, kau harus ikut denganku dan tinggal di istana."
"Apa saya akan menghabiskan waktu di sana?"
"Ya, seperti janjiku tadi." Gasendra mengambil tangan kiri Arunika, kemudian dielus dan dikecup perlahan.
"Tidak ada yang perlu kau takuti selama ada aku di istana," kata Gasendra memberikan pengertian pada calon istrinya.
Arunika menoleh dengan senyuman yang mengembang. Senyuman khas itu, membuat Gasendra pun ikut tersenyum karena merasa berhasil mengurangi kekhawatiran Arunika.
"Kalau begitu, ceritakan tentang Putri Agni dan Pangeran Narasimha."
"Kau serius ingin diceritakan?" Mata Gasendra membola karena terkejut dengan permintaan gadis itu.
Setahu yang dia baca dari buku romansa, para wanita akan menghindari pembicaraan tentang rivalnya. Tapi yang ini berbeda, Arunika malah meminta untuk diceritakan tentang istri pertama dan juga anaknya.
Arunika mengangguk dengan mata yang memancarkan sinar keingin tahuan.
"Bagaimanapun juga, kami tidak akan bisa mengelak dan pasti akan bertemu. Saya harus mempersiapkan diri sebelum bertemu dengannya."
Gasendra terkesima dengan Arunika yang sudah memikirkan jangka panjang dalam hidupnya. Dia menghela napas, kemudian membela lembut puncak kepala Arunika.
"Jika kau bertemu dengannya, jadilah dirimu sendiri. Jangan jadi orang lain atau siapapun itu ketika bertemu dengannya."
Selama hampir lima tahun menikah dengan Agni, hanya sedikit informasi yang diketahuinya. Salah satunya adalah Agni yang tidak suka dengan orang bermuka dua, tapi masalahnya ... dia terkadang suka bermuka dua juga. Itulah yang membuat Gasendra muak melihat kelakuan Agni.
"Baiklah, lalu apa lagi?"
Gasendra memejamkan matanya, kemudian menjawab, "Sudah itu saja."
Kening Arunika mengerut, dia menghela napas kecewa. Padahal Arunika ingin mendengar kisah cinta di antara pangeran dan sang putri. Dia melirik pada Gasendra sambil menggigit bibir bagian dalamnya.
Gasendra menyadari cahaya keingin tahuan pada manik cokelat Arunika yang belum padam pun menghela napas, kemudian menegaskan hal yang membuat Arunika terkaget-kaget di tempat.
"Tidak pernah ada rasa cinta di antara kami," jelas Gasendra dengan pandangan lurus yang meyakinkan, "oh, lebih tepatnya aku yang tidak mencintai Agni."
"Hah?" Kalau tidak cinta, bagaimana caranya Pangeran Narasimha lahir? Masa iya datang begitu saja ke kasur bayi yang ada di salah satu kamar istana?
Gasendra menoleh pada Arunika yang menampakkan wajah terkejut dengan belasan pertanyaan di atas kepala.
"Jangan menatapku seperti itu. Pernikahan kami dan hadirnya Narasimha hanya aturan yang dibuat Yang Mulia sedemikian rupa." Gasendra menuturkan cerita dengan membeberkan intinya saja. Terlalu panjang jika diceritakan, mungkin akan sampai besok pagi karena terlalu ruwet.
"Pernikahan kami hanya untuk kepentingan politik."
"Lalu Pangeran Narasimha?" tanya Arunika lagi. Dia benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keingin tahuannya yang besar.
Tidak apa-apa, kan? Dia juga harus mengetahui bagaimana keadaan calon suaminya selama ini.
Gasendra berdecak sebal mengingat kejadian lima tahun lalu, saat dirinya yang terbangun tanpa sehelai benang di atas kasur dengan Agni yang tertidur pulas di sampingnya.
'Sialan!'
"Ah, kalau itu buruk, tidak usah diceritakan." Sepertinya Arunika harus menghentikan rasa ingin tahunya di sini. Dia melihat gerak-gerik Pangeran yang sudah tak nyaman, mungkin karena hal buruk yang menimpanya.
"Tidak apa-apa. Kau berhak untuk tau," tolak Gasendra sambil tersenyum. Tidak boleh ada rahasia lagi di antara mereka karena akan menjadi sepasang suami istri beberapa hari lagi.
"Malam pertama kami diatur juga oleh Yang Mulia dengan sebuah ramuan sialan. Kau tau, kan? Aku tidak mau menjelaskannya kalau kau tak tau."
'Ya Dewi ... jadi ...?' Arunika bergeming di tempat dengan memikirkan garis takdir yang dituliskan untuk Pangeran Gasendra dan Putri Agni.
"Dan setelah itu ... jadilah Narasimha." Gasendra menutup penjelasannya, kemudian berdiri sambil meregangkan tubuh yang cukup pegal bertahan dalam posisi duduk.
"Itu gara-gara si sialan itu!" umpat Gasendra mengingat wajah pria tua yang mungkin sedang kesal di istana karena membaca surat cuti miliknya.
Arunika berdiri, kemudian mengambil sitar cokelat yang disandarkan pada batu oleh Gasendra saat mereka mengobrol tadi. Dia berjalan mendekat pada sang pangeran.
"Saya kaget mendengar cerita bagaimana Yang Mulia mengatur semua itu. Pasalnya bagi rakyat, Yang Mulia itu ...."
Arunika menggantung ucapannya dan menatap Gasendra dengan sedikit tak percaya.
"Bijak dan adil pada rakyat, tapi tidak denganku. Dasar pria tua sialan!" kesal Gasendra sambil menendang batu kecil yang berjajar di jalan taman.
Ctas
Gasendra tersentak saat menyadari Balges yang ingin bertelepati dengannya, namun terputus karena ketidak sengajaan.
"Dia ayah anda, Pangeran," kata Arunika mengingatkan.
Gasendra berbalik menghadap Arunika dan menyuruh gadis itu untuk diam sebentar.
"Sebentar, Arunika. Balges ingin bertelepati denganku."
Arunika pun langsung terdiam saat melihat Gasendra yang memejamkan mata untuk fokus bertelepati.
'Pangeran, Pangeran!'
'Ada apa, Balges?' Kening Gasendra mengerut mendengar panggilan cemas dari prajuritnya.
'Yang Mulia ... Yang Mulia ada di sini!'
'Di mana?' jawab Gasendra masih dengan wajah dan pertahanan yang santai.
'Ru–rumah Bangsawan Arya!'
Sontak Gasendra langsung membuka matanya lebar-lebar. Dia menoleh panik pada Arunika yang jadi ikut panik juga.
"Ada apa, Pangeran?"
"Pria tua sialan itu ada di rumahmu!"
———
Jahankara dan Gasendra, contoh pria yang gercep dalam segala urusan 0.0